Sabtu, 03 Oktober 2015

Saat Mahasiswa Bersuara

Thomas CH Syufi
Thomas CH Syufi (Foto:Dok Pribadi)
Siang itu, pukul 14.00 WIB. Jumat (18/9), sekitar 500 orang yang tercakup dalam Solidaritas Nasional Pembebasan Indonesia Turunkan Jokowi-JK  tengah menggelar aksi di depan Istana Kepresidenan, Medan Merdeka Barat, Jakarta, dengan tiga tuntutan: Turunkan Jokowi-JK, Reformasi Jilid II, dan Luruskan Kiblat Bangsa. Orasi menggebu-gebu dari para mahasiswa dari  berbagai organisasi ekstra dan intra kampus: PMKRI, IMM, GPPI, APKLI (Pedagang Kaki Lima), Himma Alwasliyah, ATM, Forum Masyarakat Riau) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-kota Jakarta ini adalah meminta Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla segera untuk mundur dari kursi kepresidenan.

Tuntutan para aktivis mahasiswa tersebut sangat berkait dengan situasi perekonomian bangsa yang kini rapuh. Nilai tukar rupiah yang makin melemah hinggga mendekati level 14.100.

“Hai, Bapak Presiden Jokowi, jikaenggak mampu pimimpin negara ini mundur aja, Bapak,” kata seorang orator dari atas kap mobil komando yang sedang menepi di pinggir jalan dan disambut riuh teriakan massa aksi yang sedang mengular di sepanjang trotoar dan pendestrian pintu masuk Monumen Nasional (Monas), depan Istana Presiden, Jakarta.

Memang, Jokowi sering menggunakan politik pencitraan untuk menjadi senjata (topeng) yang mujarab untuk menutupi ketidakmampuannya memimpin Indonesia.”Ini bukan repubik trial and error untuk dijadikan sebagai tempat belajar memimpin,” kata seorang aktivis BEM UI dalam orasinya. “Masa depan Indonesia adalah masa depan kacau balau,” seloroh dia dengan berkerut dahi.
Ia menyatakan, Indonesia adalah negara yang kaya raya, tetapi masih saja berggantung pada pihak asing. “Sekitar 78 persen negara kita masih hidup dengan hasil impor,” ujar dia.

Jokowi, kata dia, sedang melakukan pengkhiantan terhadap janji-janji kampanyenya. “Jokowi belum merealisasikan Trisakti dan Nawa Cita yang menjadi visi misi kampanye capres-nya, tahun 2014 lalu,” jelas dia.
Jokowi dan JK  sebagai presiden baru yang telah memperbanyak pengangguran baru di Indonesia. “ Saat ini, banyak pekerja yang telah di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena dampak kemelut ekonomi,” kata Anthonius aktivis PMKRI Cabang  St.Robertus Bellarminus, Jakarta Pusat.

Anthonius menyatakan, para pendiri bangsa ini telah menentukan, Indonesia sebagai negara non blok. “Soekarno telah menetapkan haluan politik bebas aktif, Indonesia  sebagai negara netral dalam masyarakat global, bukan memihak ke blok timur atau blok barat sebagaimana dilakukan Jokowi saat ini,” ketus dia.

Benar adanya, perekonomian Indonesia sampai saat ini belum mengutungkan rakyat. Sebagian besar perekonomian bangsa ini  masih dikuai oleh para konglomerat dan komprador asing. Indonesia sangat tepat, jika diterapkan ekonomi kerakyatan—bukan ekonomi liberal (klasik) ala Adam Smith.
Istana yang megah

Meskipun matahari mencekik dan panas menyengat, mahasiswa bergeming (tetap) semangat untuk melakukan orasi di luar pintu pagar Istana Presiden yang megah dan hening itu. Ekspresi para aktivis mahasiswa tampak muram, karena tak ada orang (presiden atau perwakilannya) yang menemui mereka.
Namun, air mancur dengan ketingggian sekitar empat meter, yang mengalir bergantian setiap detik di halaman kosong gedung putih (Istana) Presiden itu—dapat  memberikan aura serta semangat baru bagipara pengunjuk rasa. Tak selebih-lebihnya, air mancur itu juga seperti taman oase yang dapat menyejukkan kerongkongan mereka untuk terus memekikkan suara perubahan.
Para aktivis mahasiswa ini seperti seorang musafir yang sedang melintasi padang gurun yang gersang dan tandus. Mereka haus dan lapar, tetapi tak ada yang membantunya.  Suara mereka yang bernafaskan perubahan bersama, tak ada yang mau mendengarnya. Jokowi telah mengkhianati rakyat yang berdaulat dan berusaha payah menghatar dia menuju kursi empuk, sebagai Presiden Indonesia, periode  2014-2019.

Karakter pemerintahan Jokowi yang tak bersahabat dengan rakyat— ini membuat saya tergiang dengan kata Khalifah Ali bin Abi Thalib (600-661), ”Pengkhianatan terbesar adalah pengkhianatan terhadap umat (rakyat), dan penipuan paling kejam dilakukan para pemimpin”. Menurut  Paus Leo XIII, semua kekuasaaan publik bersumber dari Tuhan. Maka, kekuasaan publik harus berpihak pada kebenaran, karena kebenaran itu sendiri adalah cinta kepada sesama dalam berbagai bentuk.

Kekuasaan bukanlah segala-galanya. Pemegang kuasa justru bertindak berdasarkan mandat yang diberikan rakyat, bukan kemauannya sendiri. Pakar politik Harold Lasswell (1902-1978) dan filsuf Abraham Kaplan (1918-1993) menyatakan, kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama. Dalam bahasa mereka, kekuasaan adalah bentuk partisipasi dalam membuat keputusan. Paksaan atau kekerasan bukanlah cara demokrasi.

Para penguasa di Istana memandang perjuangan mulia dari mahasiswa dan rakyat itu dengan sebelah mata. Mereka beraggapan, aksi demo tersebut tak berdasar dan itu hanya sebuah kegiatan abal-abal yang disposori oleh orang-orang tertentu. Dalih klasik itu kerapkali digunakan oleh pengusa mana pun di dunia ini untuk mengkriminalisasi gerakan-gerakan moral yang mengusik kepentingan mereka.

Padahal, tujuan kedatangan para aktivis mahasiswa di depan Istana negara adalah membawa pesan moral. Mereka meminta Presiden Jokowi segera mengatasi perekonomian bangsa yang tertatih-tatih, bahkan merosot saat ini.
Namun, disisi lain, air mancur juga memiki makna ganda, bahwa Presiden Jokowi bakal menuai nasib seperti air mancur yang naik setinggi-tingginya, setelah itu akan jatuh juga. Jika ia tidak segera mengambil langkah-langkah kongkrit menuntaskan persoalan ekonomi bangsa yang makin karut-marut sekarang ini.

Demonstrasi yang berlangsung hingga pukul 17.30 WIB itu  tak ada seorang pun yang bertemu dengan para pendemo. Mulai dari Presiden Jokowi hingga Satpam-nya pun tidak menunjukkan batang hidung di depan massa (pendemo).
Padahal, negara ini mau maju—semua pihak, baik presiden, rakyat, cendikiawan, dan aktivis harus saling sinergis dan topang-menopang. Jokowi harus mengombinasikan semua elemen bangsa jadi satu dan selalu membuka ruang dialog bagi siapa saja, yang ingin memberikan koreksi dan masukan demi perubahan bangsa ini—bukan sebaliknya menabuh anti-dialog.

Tiga tuntutan mahasiswa tersebut di atas, merupakan akumulasi dari semua persoalan nyata yang melanda negara saat ini. Telah 70 tahun Indonesia merdeka, tapinyatanya, Indonesia masih dijajah oleh bangsa asing. Gonta-ganti Presiden nasib bangsa tetap sama, kacau balau. Barangkali kata Aristoteles (384-322 SM), filsuf Yunani dan murid dari  Plato, “Dunia ini belum bisa baik (berubah), sebelum filsuf yang memerintah atau yang memerintah menjadi filsuf”.

“Republik ini baik, jika dipimpin oleh presiden yang bijaksan, bukan yang pandai berpidato”.

Kini, Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla—pun ikut-ikutan menjadi antek asing. Pengangguran makin bertambah, anak putus sekolah dan kuliah marak terjadi di mana-mana, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) mulai terjadi di berbagai pelosok negeri, istri cerai suami ramai terjadi di mana-mana, semua itu terjadi  gara-gara krisis dan himpitan ekonomi di tengah negara yang kaya raya dengan hasil bumi dan sumber daya alam lainnya.

Jika, Jokowi tidak segera memperbaiki kondisi perekonomian bangsa hari ini—nasibnya bakal sama dengan bekas Presiden Filipina Joseph Ejercito Marcelo Estrada (78), yang diturunkan di tengah jalan.  Pemerintahan Estrada dijatuhkan rakyat dalam revolusi people power (kekuatan rakyat) yang dikenal dengan nama Revolusi EDSA II. Dia digantikan wakil presidennya, Gloria Macapagal-Arroyo. Sebelumnya, dia juga adalah wakil presiden Filipina pada tahun 1992-1998.

Tidak pantas Indonesia mengadopsi nama “republik”.  Secara  harfiah, republik dalam bahasa Latin ialah res (kepentingan) publica (umum/banyak orang). Jadi, republik artinya kepentingan banyak orang atau kepentingan umum. Negara ini hadir untuk mengurus kepentingan semua rakyat Indonesia—bukan untuk segelintir orang di singgasan kekuasaan.

Hikuk pikuk politik yang berlarut-larut di negeri ini juga ikut menelantarkan kepentingan rakyat. Realitas politik yang penuh centang perenang dikhawatirkan memasung peluang Indonesia menjadi negara maju. Hanya satu pilihan bagi Jokowi untuk menjawab broblem bangsa ini adalah mendengarkan suara (voice), bukan mengurus kegaduhan (noise)politik.

Perekonomian negara menjadi labil, karena para pemimpin negara belum menjalankan amanat agung dari cita-cita negara proklamasi. Mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera, hanyalah sebuah khayalan belaka. 
Kebanyakan dari mereka (para elit politik), sibuk mencari kehormatan dan harta kekayaan hingga mengabaikan respubica.  “Harta kekayaan adalah tujuan sekunder dari kekuasaan,”~ kata Bonny Hargens pengamat politik UI dan kandidat doktor di  Universitas Mainz Jerman dalam kutipannya dari Athonio Gramsci (1891-1937), pemikir marxis Italia.

Sayangnya—Jokowi baru memimpin Indonesia satu tahun lebih, hasilnya negara sudah ambur-adur, bagaimana  kalau memimpin lima tahun? Biarlah waktu dan sejarahlah yang menyatakannya.“Tidak pernah bosan-bosan untuk berjuang demi perbaikan nasib negeri ini” begitulah prinsip perjuangan para aktivis mahasiswa Indonesia!Semoga.

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
*). Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Isu Strategis (LKIS) Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, Periode 2013-2015.

Sumber : Klik  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar