Kamis, 27 November 2014

KEMERDEKAAN MENYAMPAKAIAN PENDAPAT DI MUKA UMUM SEBAGAI HAK KONSTITUSI WARGA NEGARA

IlustrasiDemo AMP Solo di hadan Oleh Militer Indo dan
Masyarakat Solo (foto, Dok WK)
KEMERDEKAAN MENYAMPAKAIAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
SEBAGAI HAK KONSTITUSI WARGA NEGARA


(Membedah Implementasi UU Nomor 9 Tahun 1998 Oleh Kepolisian Daerah Papua)


Pendahuluan
Sepajang sejarah Bangsa Papua berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI,red), Hak Asasi Manusia yang disandang oleh Bangsa Papua terus dilanggar walaupun telah disebutkan sebagai Hak Konstitusi dan bahkan lebih jauh telah ada peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk menjaminnya. 

Kenyataan itu akan terus terjadi karena Indonesia memiliki Kepentingan Atas Kekayaan Alam yang terkandung dalam perut bumi Papua, selain itu Indonesia juga memiliki kepentingan atas Wilayah Papua karena letaknya sangat strategis untuk dijadikan benteng pertahanan dan sebagai jalur perdagangan yang efektif. 


Dalam kondisi Bangsa Papua masih berada dalam NKRI, tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh Alat Negara Indonesia (TNI dan POLRI) terhadap Bangsa Papua didukung sukses oleh Sistim Politik Negara Indonesia, sehingga banyak pelaku pelanggaran HAM Berat yang belum pernah disidangkan jangankan dihukum. Kenyataan perlakuan Negara Indonesia terhadap Mantan Presiden Soeharto merupakan bukti wujudnyata Negara Indonesia yang hanya menjadikan Status Negara Hukum sebagai formalitas belaka.


Dengan bersandar pada kenyataan Sistim Indonesia yang selalu melindungi pelaku pelanggaran HAM Berat dan semakin menguatkan cengkraman kepentingan ekonomi politik Indonesia melalui perpanjangan Kontrak PT. 


Freeport Indonesia (PT. Freeport Mc Morand And Gold Copper) serat penerapan Program MIFFE yang dikuatkan oleh MP3EI atas wilayah dan Bangsa Papua, artinya Sistim Politik Negara Indonesia itulah yang sedang menyuburkan penindasan dan perampokan kekayaan alam Bangsa Papua. Diatas kenyataan itu, ada beberapa dasar hukum yang bersumber dari dalam tubuh Sistim Penindasan yang dapat digunakan sebagai tameng untuk memperjuangkan hak-hak Bangsa Papua diarena perjuangan.

Memang pada implementasinya (prakteknya) di Tanah Papua, beberapa dasar hukum tentang HAM dan Demokrasi tidak berjalan secara maksimal dalam konteks perlindungan terhadap perjuang HAM Bangsa Papua, namun yang perlu dipahami disini adalah kenyataan dimana Pejuang HAM Bangsa Papua selalu diintimidasi, diteror, dianiaya, dan bahkan dibunuh mengunakan sistim penindasan yang sama. 


Setelah memahami dan melihat beberapa dasar hukum yang terdapat dalam sistim yang sedang menindas Bangsa Papua, disana terdapat beberapa dasar hukum yang dapat dijadikan dasar untuk melindungi perjuang HAM. Dengan demikian maka perlu kiranya kita mendalami sistim tersebut dan selanjutnya dijadikan dasar untuk melawan sistim penindasan yang sedang dibangun oleh Negara Indonesia.


Dasar Hukum Yang Melindungi Pejuang HAM dan Demokrasi di Indonesia
Secara umum kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum dilindungi dalam Negara Indonesia, secara yuridis perlindungannya ditetapkan pada beberapa aturan hukum dibawah ini, sebagai berikut :
a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
c. Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Ekonomi, Sosial, dan Budaya
e. Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Sipil dan Politik
f. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Standar dan Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Menjalankan Tugas-Tugas Kepolisian


Khusus menyangkut Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum ini telah diatur dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 dan juga dalam implementasinya merupakan tanggungjawab istitusi Kepolisian sebab itu merupakan Tugas Pokok Kepolisian Republik Indonesia, dalam konteks implementasi HAM sebagai tanggungjawab Polisi maka secara institusional dalam tubuh POLRI yang telah ditetapkan dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009.
Untuk memberikan gambaran umum tentang UU Nomor 9 Tahun 1998 maka akan dibahas selanjutnya dan pada akhirnya (penutup) akan dijelaskan implementasinya di Papua oleh Kepolisian Republik Indonesia disana.


Hak-Hak Pejuang HAM dan Demokrasi Dalam Jalan Perjuangannya
Setiap Warga Negara berhak a). Mengeluarkan pikiran secara bebas; b). Memperoleh perlindungan hukum. (Pasal 5). Hal itu merupakan hak kostutusi yang dijamin dalam UUD 1945. Dalam pemenuhannya secara umum Masyarakat Indonesia diberikan hak untuk berperan serta secara bertanggungjawab untuk berupaya agar penyampaian pendapat dimuka umum dapat berlangsung secara aman, tertib dan damai. (pasal 8).

Ada beberapa bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang dapat dilaksanakan, yaitu dengan cara :
a. Unjuk Rasa atau Demontrasi;
b. Pawai;
c. Rapat umum; dan atau
d. Mimbar bebas.
Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud diatas, dilaksanakan ditempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali:
a. Dilingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan
b. Objek-objek vital nasional;
c. Pada hari besar nasional.


Pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum dilarang membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum. (Pasal 9).


Hal-Hal Yang Wajib Di Lakukan Pegiat HAM dan Demokrasi
Sebelum melakukan kegiatan Penyamapaian pendapat di muka umum wajib diberitahukan kepada pihak kepolisian secara tertulis. Pemberitahuan secara tertulis itu disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok, selambat-lambatnya 3 x 24 Jam sebelum kegiatan di mulai.
Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud diatas tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah didalam kampus dan kegiatan keagamaan. (Pasal 10). Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud diatas, memuat:
a. Maksud dan tujuan;
b. Tempat, lokasi dan rute;
c. Waktu dan lama;
d. Bentuk;
e. Penanggung jawab;
f. Nama dan alamat organisasi, kelompokatau perseorangan;
g. Alat peraga yang digunakan; dan atau
h. Jumlah peserta. (Pasal 11)


Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara tertulis dan langsung oleh penanggung jawab kepada POLRI selambat-lambatnya 24 jam sebelum waktu pelaksanaan. (Pasal 14)

Apa Yang Harus Dilakukan Polisi Dalam Menyikapi Pemberitahuan dan Kegiatan Berlangsung
Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, Aparatur Pemerintah (Polisi) berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. Melindungi Hak Asasi Manusia;
b. Menghargai asas legalitas;
c. Menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan
d. Menyelenggarakan pengamanan. (Pasal 7)
Aparat Kepolisian setelah menerima Surat Pemberitahuan Wajib :
a) Segera memberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan,
b) Berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum;
c) Berkoordinasi dengan pimpinan instansi / lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat; dan
d) Mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi dan rute. 


Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum POLRI bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum. Selain itu Polri juga bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku. (Pasal 13)
Selain itu sebagai wujudnyata implementasi Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 maka hal-hal diatas, dan beberapa hal yang tidak diatur didalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tetapi telah dijamin sebagai Hak Konstitusi Negara Indonesia juga wajib dijunjung dan dilindungi oleh Kepolisian Republik Indonesia.


Hal-Hal Yang Dapat Membubarkan Aktifitas Pernyataan Pendapat
Dalam melakukan aktifitras penyampaian pendapat di muka umum dapat di bubarkan apabila tidak aktifitasnya mengganggu kepentingan umum (menutup jalan umum), aktifitasnya dilakukan ditempat penting (rumah ibadah, terminal, stasiun kereta) objek vital negara, dan di hari besar keagamnaan dan/atau kenegaraa, serta peserta membawah alat tajam. 

Selain itu aktifitas penyampaian pendapat dimuka umum akan dibubarkan bila tidak ada pemberitahuan kepada pihak yang berwenang (Pasal 15), dan peserta melakukan Perbuatan Melanggar Hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 16)


Bagi pelaksana aktifitas pernyataan pendapat dimuka umum yang melanggar aturan, dikategorikan sebagai Kejahatan (Pasal 18), dan akan dikenai sangksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku ditambah dengan 1/3 (satu pertiga) dari Pidana Pokok. (Pasal 17)


Penutup
Fakta Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum diseluruh Tanah Papua penuh akan pelanggaran hukum dan HAM, bahkan disana banyak sekali kasus penyalahartian isi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 diatas, sebagai contoh dimana Kepolisian Daerah Papua mewajibkan adanya “Surat Ijin” apabila melakukan aktifitas penyampaian pendapat dimuka umum, padahal isi dari aturan yang ada diatas hanya menjelaskan tentang wajib ada “Pemberitahuan” dan selanjutnya Polisi dengan segerah memberikan “Surat Tanda Penerimaan”.
Secara harafia jika dianalisi kata Pemberitahuan dan Ijin sebenarnya memiliki artian yang berbeda antara keduannya, jika di Papua implementasi artiannya disatukan maka jelas-jelas sudah mengaburkan atau tepatnya mengartikan bunyi pasal secara kabur. 


Kenyataan kesalahan penafsiran tersebut hingga saat ini semakin menambah deretan pelanggaran HAM Berat yang dilakukan secara terang-terang oleh kepolisan, namun anehnya Komisi Kepolisian Nasional tidak pernah melihat atu bahkan mempersoalkan hal itu sehingga jelas-jelas menunjukan pembiaran dan sekaligus semakin meruncingkan pelanggaran terhadap Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. 


Mayoritas rencana menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan oleh aktifis HAM di tanah papua selalu mengikuti arahan UU Nomor 9 Tahun 1998 dimana mereka selalu memberikan surat pemberitahuan kepada polri setempat, namun pihak terkait tidak biasa melaksanakan kewajibannya dengan cara segerah mengeluarkan Surat Tanda Terima sehingga hak demokrasi yang disandang oleh aktifis HAM Papua selalu dikorbankan. Sebagai contohnya adalah pemberian surat pemberitahuan atas rencana aksi demostrasi untuk merayakan hari ulang tahun Komite Nasional Papua Barat di Nabire dan Dogiai kepada Polri setempat yang tidak disusul dengan kewajibannya untuk mengeluarkan Surat Tanda Terima, walaupun demikian dengan pandangan bahwa aktifis KNPB telah memberikan Surat Pemberitahuan kepada pihak yang berwenang sehingga mereka memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum maka pada tanggal 19 November 2014 mereka melakukannya, namun akhirnya sekitar 20 (duapuluh) orang aktifis KNPB di Nabire dan Dogiai ditahan oleh Kepolisian Resort Nabire, menurut informasi hingga saat ini (27 November 2014) mereka masih ditahan. 


Pertanyaannya adalah apa dasar hukum penahanan terhadap 20 orang aktifis KNPB, lantas bagaimana dengan sikap Polisi yang tidak mengeluarkan Surat Tanda Terima setelah diajukan Surat Pemberitahuan ?. Agar tercipta rasa keadilan hukum maka sewajarnya 20 orang aktifis KNPB wajib dibebasakan demi hukum dan Propam Polres Nabire wajib memeriksa dan menyidangkan secara kode etik terhadap anggota polisi yang tidak mengeluarkan Surat Tanda Terima sebab tindakan tersebut merupakan Tindakan Pelanggaran Kode Etik Kepolisian sebagaimana dijamin pada Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, PP Nomr 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Sandar dan Pokok HAM dalam Tugas Pokok Kepolisian. 


Situasi demikian menunjukan bahwasannya belum terciptanya reformasi dalam Tubuh Kepolisian diseluruh Tanah Papua maka dengan demikian KAPOLRI wajib melakukan pembinaan tentang HAM bagi seluruh anggota Polisi diseluruh tanah papua agar dapat menjalankan isi Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Standar dan Pokok HAM dalam tugas-tugas Kepolisian dan terlebih khusus dapat mengartikan UU Nomor 9 Tahun 1998 secara objektif bukan secara subjektif, selain itu KAPOLRI harus memerintahkan KAPOLDA PAPUA untuk menindak secara tegas setiap anggota polisi yang melakukan Pelanggaran Kode Etik oleh PROPAM maupun KOMPOLNAS demi terciptanya profesionalisme kepolisian dalam rangka menciptakan ruang demokrasi yang aman, damai, tertib, dan terkendali sesuai dengan harapan UUD 1945.


Pertanyaan selanjutnya adalah Apakah Polisi di Nabire, Dogiai, dan seluruh wilayah hukum Polda Papua sebagai penanggungjawab terimplementasinya Hak Berdemorasi Warga Negara telah menjamin terimplementasinya UU Nomor 9 Tahun 1998 di Bumi Cenderawasi ?, berdasarkan fakta diatas dan yang terjadi sebelum-sebelumnya dibeberapa kota di Papua maka jawabannya dengan tegas adalah
Kepolisian Negara Republik Indonesia Belum Menjamin Terciptanya Ruang Demokrasi sebagaimana diharapkan oleh UU Nomor 9 Tahun 1998 di bumi cenderawasi. 


Terlepas dari jawaban diatas,
Sikap Aktifis KNPB yang selalu memberikan “Surat Pemeberitahuan” sebelum Meyampaikan Pendapat Dimuka Umum, menunjukan bahwa “Aktifis KNPB” secara khusus dan “Aktifis HAM Papua” secara umum adalah “Para Pecinta Demokrasi Sejati” yang menghargai Indonesia sebagai Negara Hukum sebagaimana dijamin pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan menjadikan UU Nomor 9 Tahun 1998 sebagai jalan untuk Menyampaikan Pendapat Politiknya Dimuka Umum. 


Rekomendasi :
1. KOMNAS HAM RI segerah membentuk TIM KHUSUS untuk meninjau implementasi UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum diseluruh wilayah Hukum Kepolisian Daerah Papua dan diumumkan secara terbuka pada Hari Peringatan HAM 10 Desember 2014 nanti.
2. KAPOLRI WAJIB MENJAMIN TERPENUHINYA HAK BERDEMOKRASI DI PAPUA SEBAGAI BENTUK PENGHORMATAN TERHADAP UUD 1945
3. KAPOLRI SEGERAH MENGELUARKAN SURAT EDARAN KEPADA KAPOLDA PAPUA Tentang Implementasi UU Nomor 9 Tahun 1998 secara objektif guna menjalanakan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Standar dan Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia Dalam Tugas-tugas Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
4. KAPOLRI Segerah memerintahkan KAPOLDA PAPUA untuk Melepaskan 20 orang Aktifis Pro Demokrasi (Aktifis KNPB wilayah Nabire dan Dogiai) di Polres Nabire sebagai bentuk penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia dan Demokrasi demi menghindari Tindakan Kriminalisasi terhadap Pejuang HAM dan Demokrasi.


Gunakan Kebebasanmu Untuk Mendukung Perjuangan Kami
Aung Sang Suki


Penulis adalah Wissel Van Nunubado

Tidak ada komentar:

Posting Komentar