Thomas CH Syufi (Foto:Dok Pribadi) |
Oleh :Thomas CH Syufi
Lahir demi kebebasan, tiada sudi memikul beban besi
pemerintahan zalim. Ambisi kami dikorbankan oleh ketenaran
pendekar-pendekar perempuan yang memandang cemerlang jenisnya sesama
perempuan, dan telah membuktikan kepada semesta, bahwa apabila kelemahan
konstitusi kita, jika opini dan tata cara tidak melarang kami berbaris
ke arah kegemilangan, melalui jalan-jalan sama dengan yang dilakukan
oleh laki-laki, sedikitnya kami harus menyamai, dan kadangkala melebihi
mereka, dalam cinta kasih kami pada kesejahteraan masyarakat”.Begitulah secuil cuplikan isi hati seorang perempuan Amerika di Philadelphia tahun 1780 yang termuat dalam buku berjudul, “Born for Liberty” dengan subjudulnya, “A History of Women in America”.
Buku dengan jumlah 372 halaman tersebut menyajikan bagaimana
kegigiahan, keuletan, dan keberanian para perempuan Amerika yang
terlibat dalam perjuangan meraih kemerdekaan Amerika dari penjajahan
Kerajaan Inggris, atau Britania Raya, waktu itu.
Perjuangan untuk merebut kemerdekaan Amerika sepanjang empat abad,
itu tak ketinggalan dari peran penting kaum perempuan. Oleh sebab itu,
dalam sejarah perjuangan kemerdekan Amerika, nama perempuan takkan
dilekang oleh waktu dan zaman. Tetapi, hal tersebut selalu menjadi
nostalgia dan ingatan baru dalam sejarah peradaban umat manusia,
teristimewa bagi generasi baru Amerika.
Dengan berbagai torehan sejarah yang dilakukan oleh kaum perempuan di
era-era sebelumnya, tentu menjadi pijakan yang sangat luar biasa bagi
kaum perempuan di zaman sekarang. Hal tersebut menjadi inspirasi dan
dorongan juga bagi para perempuan untuk menatap masa depan dengan penuh
keyakinan, bahwa dunia ini milik semua orang dan semua orang juga
mempunyai hak yang sama untuk melakukan sesuatu demi mempertahankan
hidup dan untuk kebaikan bersama.
Buktinya, pada abad ke 20,terjanya sebuah pergolakan awal orang
kulit hitam di Amerika yang dilakukan oleh seorang wanita Afro-Amerika
bernama Rosa Parks pada tahun 1955. Wanita kulit hitam yang kemudian
hari mendapat penghargaan dari Presiden Bill Clinton itu menolak memberi
kursinya di bus di mana tempat duduk juga dipisahkan dalam kejadian di
Montegomery, Alabama.
Penangkapan atas Parks memicu sebuah boikot sukses yang berlangsung
setahun dipimpin oleh Martin Luther King Jr. Boikot bertujuan
membatalkan segregasi dalam bus kota. Hanya kurung waktu setengah abad
lebih, perjuangan Rosa Parks dan Martin Luther King Jr itu membuahkan
hasil yang gemilang bagi orang kulit hitam, yang berujung pada
terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden ke- 44 AS, pertamaturunan
Afro-Amerika.
Dari rangkaian sejarah ini, perempuan mendapat legitimasi istimewa
dalampanggung sejarah revolusi dunia. Selama ini, kebanyakan orang
hanya mengenal dengan sejarah revolusi Prancis, 14 Juli 1789, revolusi
industri Inggris, abad XVIII- VIIII (1750-1850), revolusi Amerika, 1776
, dan revolusi sosialis ala Marxis di Amerika Latin yang
diperkenalkan dan digerakan oleh Ernesto “Che” Guevara, diawali di Kuba
sebelum akhirnya ia tertangkap dan ditembak mati di Bolivia. Yang mana,
tiga revolusi penting tersebut tokoh-tokohutamanya ialah kaum
laki-laki.
Perjuangan yang tak kalah mulianya juga dilakukan oleh Ibu Teresa–
biarawati Katolik, pendiri Misionaris Cinta Kasih keturunan Albania
kelahiran Kerajaan Ottoman (Macedonia), Yugoslavia, 26 Agustus 1910.Ibu
Teresa mengambil keputusan penting dalam sejarah hidupnya untuk melayani
orang kusta dan miskin di Kalkuta, India. Datang dari benua biru,
Eropanan jauh ke Asia hanya demi kemanusiaan. Mengaruni negara dengan
penduduk terpadat kedua atau 1,45 juta jiwa di dunia itu tidak lain, ia
hanya ingin melayani; memanusiakan orang kusta dan miskin.
Menurut Ibu Teresa, orang kusta dan miskin juga manusia yang harus
dimanusikan. Bunda Teresa menghibur yang papa, tanpa mengeluh, menuntut,
dan mengkritik yang mapan.Ia bekerja dengan tulus dan rendahn hati.
Diam. Perjuangannya hanya demi sebuah perubahan yang berdimensi
kemanusiaan tanpa pamrih. Bunda Teresa hanya memiliki satu tekat, ia
ingin menjalankan misi kemanusiaan yang diajarkan oleh Kristus Yesus
Gembala yang baik.
Akhinya, Beata dan peraih Nobel Perdamaian tahun1979
itu pun wafat pada tanggal 7 September 1997 di Kalkuta India, karena
penyangkit kangker yang menyerangnya sejak kecil.Menurut Bunda Teresa, “Non nobis solum nati sumus, kita tidak dilahirkan untuk diri kita sendiri saja”.
Tahun 2014, dunia digegerakan dengan berita untuk pertama kalinya
seorang perempuan memimpin sebuah Universitas Kepausaan, Antonianum,
Roma, Italia yang dijalankan oleh Ordo Saudara Dina. Perempuan dengan
gelar profesor teologi dan ahli tentang Santo Antonius dari Padua itu
bernama, Maria Domenica atau Mari Melone.Ia adalah seorang Suster
biarawati. Suster Mary bergabung dengan Para Suster-Suster Fransiskan
dari Beata Angelina dengan mengucapakan kaul sementara tahun 1986 dan
kaul tetap tahun 1991.Suster Mary yang baru menyelesaikan pendidikan
khusus di bidang sastra Yunani dan Roma kuno itu juga adalah presiden
masyarakat Italia untuk penelitian teologis dan mantan kepala Institut
Redemptor Hominis.Ia banyak memegang banyak peran utama dalam akademisi
dan telah menerbitkan banyak artikel dan esai.
Apresiasi yang layak juga
dialamatkan kepada Grocholowsky sebagai Prefek Kongregasi bagi
Pendidikan yang dengan bijaksana menunjuk Suster Mary menjadi pimpinan
di Universitas Kepausan tersebut. Ditunjuknya Suster Mary menjabat
rektor di Universitas Kepausan tersebut merupakan sejarah baru dalam
tradisi Gereja Katolik Roma, yang ratusan ribu tahun dianggap tabu.
Sebagaimana dikatakan Suster Mary kepada L’Osservatore Romano,
yang diterbitkan pada kesempatan terpilihnya sebagai dekan fakultas
teologi pada univeritas tersebut.Suster dengan penampilan Fransiskanis
dan bekerja seperti seorang Ignatian sejati itu menyatakan, “Gereja
tidak perlu kuota gender”. Menurut Suster, kini dunia telah berubah,
jangan lagi buat perbandingan antara lagi-laki dan perempuan. Menurut
Mary, perempuan harus banyak bertindak dan aktif mengikuti perubahan
zaman.
“Saya percaya ini banyak tergantung pada kami perempuan juga.Kami
harus cepat menjemput bola yang begelinding,” ujar Suster berkap hitam
itu.Sejak menjabat rektor, Suster Mary telah melakukan berbagai
terobosan spektakuler di tubuh universitas, terutama menata manajemen
keuangan dan administrasi universitas, lebih mengutamakan pelayanan
akademik, serta kegiatan-kegiatansosial dan kemanusiaan.
Indonesia juga memiliki perempuan-perempuan hebat, baik di masa lalu
maupun sekarang yang terlibat dalam pergerakan revolusi dan perjuangan
di bidang hak asasi manusia (HAM). Pada masa lalu, sepertiRA Kartini
tokoh emansipasi perempuan Indonesia dalam bidang pendindikan, Martha
Chiristina Tiahahu, seorang gadis asal Ambon, Maluku yang pada usia 17
tahun dengan berani angkat senjata melawan penjajah demi kemerdekaan
Indonesia, Cut Nyak Meutia adalah pahlawan nasional Indonesia dari
daerah Aceh.
Maria Josephine Catherine Maramis seorang tokoh nasional asal Minahasa, Sulawesi Utara. Dengan jasa baik itulahsetiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda Maramis,
sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan, dan
emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan, Cut Nyak Dhien
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang
melawan Belanda pada masa Perang Aceh, dan Maria Ulfah Soebadio
Sastrosatomo, yang menjadi menteri perempuan pertama dalam sejarah
Indonesia. Maria Ulfah yang mendapat anugerah HAM bersamaan dengan
aktivis HAM Munir (alm) pada 12 Desmber 2014 dari Komnas HAM RI itu,
adalah orang pertama yang mengusulkan agar HAM menjadi pasal khusus
dalam UUD 1945.
Masa kini, Indonesia memilik beberapa wanita hebat yang berani
berjuang untuk kepentingan banyak orang. Misalnya, Mama Yosepha Alomang,
tokoh perempuan Papua asal Amungme, Timika, Papua. Mama Yosepha yang
telah menghabiskan separuh hidupnya demi perjuangan HAM dan lingkungan
di Tanah Papua, yang dimulai dari PT. Freeport Indonesia. Pada tahun
2001, Mama Yosepha mendirikan YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti
Kekerasan) dengan uang yang diterimanya ketika ia memperoleh penghargaan
Yap Thiam Hien pada 1999.
Selain Mama Yosepha, nama lain yang cukup pupuler juga adalah
Suciwati istri aktivis HAM nasional, Munir (alm).Suara Suciwati terus
terdengar hingga saat ini. Meskipun suaminya, Munir yang dibunuh oleh
tangan-tangan gelap saat menumpangi pesawat menuju Amsterdam tahun 2004
lalu– itu tak dapat menyurutkan semangatnya untuk berjuang demi
kemanusiaan di Indonesia. Sosok Suciwati membuat kita selalu mengingat
pada mending Munir.
Garis sejarah membuktikan, para perempuan tak kalah dari laki-laki
dari segi kompetensi berpikir dan kualitas karya.Peran perempuan dalam
sejarah revolusi dan perjuangan kemanusiaan di dunia, bukanlah hal yang
baru dan tabu.Tetapi telah berlangsung sejak ratusan tahun yang
lalu.Termasuk Indonesia, memiliki srikandi-srikandi hebat yang ikut
berkontribusi bagi pembaruan bangsa; penegakan demokrasi dan HAM, serta
perjuangan merebut kemerdekaan dari para penjajah.
Sebetulnya, beberapa ulasan singkat tentang sejumlah perempuan
berpengaruh di dunia dan Indonesia ini harus menjadi inspirasi baru bagi
generasi sekarang, terutama bagi pemerintah untuk lebih aktif
memperhatikan dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam segala aspek
kehidupan.Karena, dengan adanya perempuan segala urusan bangsa ini bisa
berjalan dengan baik.Perempuan sebagai tiang menyangga dan inspirator
dalam keluarga, sekaligius juga untuk bangsa dan negara.
Hanya, pemerintah kita belum memiliki perhatian serius untuk mengurus
hak-hak perempuan dalam urusan publik. Kerap kali, perempuan dilihat
dengan sebelah mata sebagai golongan kelas dua dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Secara fisik, mungkin saja laki-laki lebih kuat
daripada perempuan, tetapi dalam hal kualitas berpikir dan berkarya
hampir sama sama, bahkan ada perempuan yang memiliki kemampuan lebih
daripada laki-laki. Perempuan adalah makhluk yang sama seperti kaum
adam, mempunyai hak yang sama, tanpa superioritas dan inferioritas; sama
rata sama rasa.
Tetapi sayangnya, hak-hak perempuan di negeri ini kadang
diabaikan.Kebanyakan perempuan diperlakukan secara tidak adil di
berbagai bidang kehidupan; kekerasan dalam rumah tangga akibat
dominasinya budaya patriarki, kekerasan dan pelecehan seksual di
berbagai tempat, ketidakadilan dalam dunia kerja, dan sebagainya masih
mendera para srikandi Indonesia.Perempuan selalu menjadi subordinasi
dari kaum laki-laki.Tidak ada media yang efektif untuk mereka mengadukan
semua permasalahan yang dihadapinya.Wajah pengadilan kita pun masih
seram dan kumuh. Menurut data Komnas HAM dalam periode 1998-2010 telah
terjadi 91,311 kasus pelecehan terhadap perempuan. Jika
dikalkulasikan,sehari rata-rata terjadi 28 kasus kekerasaan seksual
terhadap perempuan.Sangat miris, karena kejadian seperti ini bukannya
menurun, tetapi lebih meningkat hingga saat ini.
Padahal, siapa pun dia, perempuan di negeri ini harus mempunyai hak yang sama, “termasukpara hostessdan
atau wanita tuna susila (WTS) pun perlu dihargai martabatnya. Hanya
karena tekanan ekonomi dan sosial pilihan hidup berbeda-beda, tetapi
hakektanya semua samasebagai manusia, sebab aequitas agit in personam, keadilan adalah milik semua orang.
Sekitar tiga pekan ini, rakyat Indonesia dipersibukan dengan berita,
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin mengaktifkan kembali pasal penghinan
Presiden, yang kini menuai protes dari berbagai pihak, baik pengamat,
politisi, aktivis LSM, dan mahasiswa. Yang mana, menurut para
pengkritik, jika Jokowi menghidupkan kembali pasal tersebut, sama saja
ia kembali membangkitkan otoritarianisme yang pernah hidup dan bersemi
di negara ini selama tiga dekade yang antikritik dan demokrasi.
Masih bayak “PR” yang harus dikerjakan oleh Presiden Jokowi, seperti
meninjau ulang Undang-Undang KDRT yang belum menjamin hak hidup para
perempuan, UU Buruh dan Tenagga Kerja, pembatasan jam kerja bagi
perempuan di berbagai bidang kehidupan. Presiden Jokowi juga diharapkan
bisa menggagas sebuah UU khusus bagi para perempuan yang biasanya
mengenakan atribut religius; wanita berjilbab danpara Suster Biarawati.
Hal itu dilakukan untuk mencegah berbagai bentuk ketidakdilan yang
akan terjadi dikemudian hari, yang sulit dituntaskan dipengadilan karena
masih buruknya sistem pengadilan di Indonesia yang menganut budaya
transaksional,sebagaiamanapernah terjadi di India. Padahal, impian
rakyat memilih Jokowi sebagai presiden RI, adalah untuk revolusi mental,
bukan revolusi gombal! Semoga.
*). Penulis adalah aktivis PMKRI Nasional Sanctus Thomas Aquinas, di Jakarta.
Sumber : Klik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar