Thomas Ch. Syufi (Foto:Dok Pribadi) |
Oleh : Thomas Ch. Syufi
Ibarat kata, Papua saat ini digenangi
air mata atau dengan kata lain, Papua ada di ujung Senja. Sebenatar lagi
malam tanpa bulan dan bintang akan tiba dan kegalapan segera
menyelimutinya. Pada saat itu, yang terdengar hanyalah gemeretak dan
isakan tangis kepedihan.Tangis kepedihan
karena ribuan orang tewas dalam pembunuhan yang tak wajar atas dalih
mereka adalah kelompok separatis, Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan
Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Begitu pula, sebaliknya, sejumlah
anggota Tentara Nasional (TNI) dan Polisi Negara Republik
Indonesia (Polri) di bunuh oleh orang tak dikenal. Di Papua, bunuh
membunuh menjadi hal yang lumrah sejak negeri itu berintegrasi dengan
negara ini, 1 Mei 1963.
Dalam lintasan sejarah, sejak
pemerintahan Soeharto yang dikenal bengis dan otoriter membuat sebagian
orang Papua kehilangan sanak saudara, kehilangan rumah, tempat tinggal
dan sebagian terpaksa mengusi ke hutan, dan pengasingan, luar negeri.
Sejak itu hingga saat ini, kehidupan orang Papua terhuyung-huyung. Ini
karena tindakan tak manusiawi yang lakukan oleh militer Indonesia
melalui berbagai operasinya. Papua yang dikenal sebagai negeri yang kaya
akan susu dan madu itu nampaknya memiliki sejarah kelam yang panjang
sejak dilangsungkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh negara
dibawah rezim Soekarno hingga Soeharto, bahkan saat ini pun pelanggaran
HAM terus terjadi.
Beberapabentuk operasi militer yang
pernah dilaksanakan secara masif di Papua pada dua rezim tersebut,
antara lain; operasi Sadar (1965-1967), operasi Brathayudha (1967-1969),
operasi Wibawa (1969), operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977),
operasi Sapu Bersih I dan II (1981), operasi Galang I dan II (1982),
operasi Tumpas (1983-1984), dan operasi Sapu Bersih (1985).
Selain operasi militer, ada bentuk
kekerasan lain juga yang pernah dilakukan di beberapa tempat di Tanah
Papua, seperti operasi Mependuma tahun 1999, penangkapan, penyiksaan,
dan pembunuhan terhadap rakyat Papua di Biak, kasus Abepura dan Wasior
berdarah tahun 2000, yang kemudian dilakukan investigasi oleh berbagai
lembaga pegiat HAM, baik internasional maupun nasional, seperti
Fransican Internasional, Amnesty Internasional (AI),LembagaStudi dan
Advokasi Masyarakat (Elsam) Papua, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua,
dan Komisi untuk Orang Hilang, Korban, dan Tindak Kekarasan (KontraS)
Papua, serta termasuk lembaga resmi negara, yakni Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mana hasilnya penyedilikannya
mengindikasikan hampir semua peritiwa yang mengenaskan itu adalah
pelanggaran HAM berat yang harus negara mempertanggungjawabkannya.
Namun, rangkaian tragedi kemanusiaan
yang di lakukan oleh militer Indonesia terhadap rakyat sipil di Tanah
Papua itu tidak pernah dipertanggungjawabkan secara adil, jujur dan
terbuka dihadapan hukum dan pengadilan, terutama pelaku dan para aktor
intelektualnnya. Misalnya, kasus Abepuara berdarah tahun 2000, yang
terusdidorong oleh beberapa lembaga HAM hingga di tingkat Kejaksaan
Agung (Kejagung). Namun di Kejagunglah prosesnya jadi tersendat hingga
saat ini. Berulangkali para aktivis kemanusiaan, termasuk rakyat Papua
sendiri mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menuntaskan kasus
Aberpura berdarah termasuk semua kasus pelanggaran HAM berat di Papua
pada masa lalu.
Dalam posisi berkabkabung tahun 2000,
pada tanggal 10 November tahun 2001 rakyat Papua kembali dikagetkan
dengan kabar tewasnya tokoh politik dan HAM Papua Theys Hiyo Eluay (64),
dibunuh oleh pasukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) saat perjalanan
pulang setelah mengikuti acara ulang tahun Kopassus di Markas Kopassus,
Tribuana, Hamadi Pantai, Jantung Kota Jayapura pada malam itu.
Pembunuhan ini mengundang sorotan dari berbagai pihak– baik luar maupun
dalam negeri yang mempertanyakan kematian misterius ketua Presidium
Dewan Papua (PDP) tersebut; siapa yang membunuh, mengapa dibunuh, dan
atas perintah siapa?Namun, palaku pembunuhan yang nota bene
sebagai anggota Kopassus justru mereka naik pangkat. Misalnya, Hartomo
yang saat pembunuhan berpangkat Letkol, sekarang sudah menyandang
pangkat brigadir jenderal dan menjabat sebagai Komandan Pusat Intel
Angkatan Darat (Danspusintelad), Mayor TNI Donny Hutabarat, sempat
menjabat Komandan Kodim 0201/BS di Medan, Sumatera Utara dan sekarang
menjabat sebagai Waasintel Kosdam Kodam I Bukit Barisan, Aceh, dan
Kapten Inf. Agus Supriyanto yang juga terlibat dalam pembunuhan itu
sempat menduduki jabatan sebagai Komandan Batalyon 303/Kostrad (Indoprogress.com yang dikutip Majalah Selangkah, 11 November 2014). Bahkan, sebagaimana dilaporkan Tempo Interaktif, Rabu (23/4/2003),
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu
menyatakan anggota Kopassus yang dihukum karena melakukan pembunuhan
terhadap Theys H. Eluay merupakan pahlawan. Hal ini sangat menyakitkan
hati orang Papua. Selain Theys, Opinus Tabuni salah seorang warga yang
ditembak mati di lapangan Sinampuk Wamena, pada perayaan hari Pribumi
Internasional, 10 Agustus 2009 yang diselenggarakan oleh Dewan Adat
Papua (DAP).
Selain itu, Wakil Ketua I Komite
Nasional Papua Barat (KNPB) yang selalu getol memperjuangakan aspirasi
politik orang Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia dengan cara
damai dan bermatabat tewas tertembak di Depan Kampus Universitas
Cenderawasih, Distrik Heram, Perumnas Tiga Waena, Jayapura, Papua oleh
satuan aparat Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Kamis (14/6/2012) sekitar
pukul 10.00 WIT. Demikian juga peristiwa penembakan terhadap 5 orang
siswa SMA di Paniai pengujung 20014 silam yang hingga saat ini terus
disuarakan oleh para aktivis HAM dan rakyat Papua, karena TNI/ Polri
sebagai pelaku penembakan tidak mempertanggugjawabkan perbuatannya,
lagi-lagi Presiden Jokowi melempem dan alergi dengan isu HAM.
Beberapa kasus pelanggaran HAM yang
terjadi sejak tahun 1999 hingga saat ini memang dalam iklim demokrasi,
rakyat Papua terus dibunuh dalam afmosfer kebebasan. Semua peristiwa ini
makin membuat orang Papua terhuyung-huyung di negerinya
sendiri.Anehnya, semua pelanggaran HAM ini tidak ada satu pun yang
dipertanggung jawabkan hingga tuntas– baik pelaku, perancang, dan
termasuk negara yang dikepalai oleh seorang Presiden, semua menghindar
dari kenyataan. Sudah puluhan bahkan ratusan kali, sejak tahun 1960-an
hingga saat ini rakyat Papua menyuarakan kapada pemerintah untuk segera
menuntaskan semua kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua sejak integrasi
hingga sekarang.
Setiap bulan pasti rakyat Papua menggelar berbagai kegiatan, baik seminar, diskusi, dialog,Workshop,
dan bahkan melakukan aksi turun jalan ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Papua (DPRP) maupun Papua Barat (DPRPB), kantor Gubernur Papua
maupun Papua Barat meminta negara harus bertanggungjawab atas semua
kasus pelanggaran HAM yang dilakukannya terhadap orang Papua selama ini.
Dan negara juga memberikan perlindungan yang pasti bagi masa depan
orang Papua dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
Akan tetapi, perjuangan dan aspirasi
masyarakat Papua yang di sampaikan itu tidak pernah digubris oleh
pemerintah, baik pemerintah daerah atau pusat.Entah ke mana aspirasi
rakyat Papua itu?Mungkin saja ditelan oleh samudera hindia atau di
amankan di keranjang sampah. Berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh negara terhadap rakyat Papua itu hanya karena orang
Papua ingin memperjuangkan kebenaran sejarah politik Papua masuk ke
dalam NKRI yang selama ini masih diperdebatkan, pelanggaran HAM kronis,
ketidakadilansosil, dan ketimpangan ekonomi yang terus menjadi santapan
harian selama setengah abad lebih Papua menjadi bagian dari
Indonesia.Meskipun dianaktirikan dalam keluarga besar NKRI– rakyat Papua
tetap setia dan memiliki kasih yang tulus dengan tak henti-hentinya
menyumbangkan emas dan segala turunannya untuk pembangunan Indonesia
raya yang kita cintai.
Air mata
Barangkali kita diingatkan dengan pameo
Latin, yang kerap kali dikutip dari penulis militer Romawi Publius
Flavius Renatus, menyatakan, “Jika kau mendambakan perdamaian siapkanlah
keadilan, si vis pacem para iustitiam.” Dari beragam
permasalahan yang menimpa rakyat Papua, baik dari aspek status politik
Papua dalam keluarga besar RI yang masih menjadi kontraversi,
pelanggaran HAM, marginalisasi ekonomi dan ketidakadilan sosial yang
terus menyelimputi negeri matahari terbit itu menjadi penyulut utama
konflik di Papua.
Sejak Papua masuk NKRI secara de facto
1 Mei 1963 hingga sekarang, rakyat Papua merasa dianktirikan dan mereka
selalu hidup dalam ketidakpastian. Orang Papua hidup dengan lumuran
darah dan air mata. Selama ini, orang Papuaberjuang hanya ingin
diperlakukan sama seperti masyarakat Indonesia lain. Mereka berharap
pada Presiden Jokowi yang setia dan tulus hati telah tiga kali
menyabangi mereka di bumi Papua yang masih temaram kelabu itu untuk
merubah hidup mereka ke masa depan yang lebih baik.
Tidak lain, harapan orang Papua ialah
menginginkanpresiden bisa memegangi dan memapah mereka keluar dari
belenggu kesengsaraan yang melingkari mereka selama 50 tahun lebih hidup
bersama pemerintah Indonesia. Mungkin saja dengan pengamatan langsung
dari sang kepala negara dan kepala pemerintahan ituakan segera mengambil
sikap untuk merubah negeri seram tersebut menjadi taman bacaan atau
taman Firdaus yang lebih asri bagi semua orang– baik dari suku, agama,
ras, dan golongan mana pun menikmati hudup yang sama; sama rata dan sama
rasa. Maka, dari itulah orang Papuaakan satukan tekat dan berpacu
bersama memajukan Indonesia yang lebih baik sesuai dengan semangat
negara proklamasi.
Rakyat Papua juga meresa, selama ini
pemerintah Indonesia bukan mencintai orang Papua, tetapi mereka lebih
mencintai sumberdaya alamnya yang berlimpah ruah atau dengan
anekdot‘pemerintah Indonesia tidak mencintai Mas-mas Papua tetapi
mencintai Emas-emas Papua’. Itulah sebuah kenyataan hidup suku Melayu
dan Melanesia dalam sebuah bangsa bernama Indonesia.Tentu semua ada
waktunya– orang Papua akan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah
seperti orang Indonesia lain.
Amerika Serikat yang kini dikenal
sebagai negara adikuasa dan kampium demokrasi juga pernah melalui masa
kelam dan sulit seperti ini. Pada tahun 1816, lebih dari tiga juta orang
Afrika-Amerika menjadi budak di Selatan. Sebagian besar memetik kapas
di perkebunan besar milik para kapitalis dan imperalis orang kulit
putih.Sementara di bagian utara Negeri Paman Sam itu berusaha mengakhiri
perbudakan. Setelah beberapa dekade kemudian, tepatnya Abraham Lincon
menjadi orang nomor satu di ruang oval, Gedung Putih, sebagai presiden
ke XVI AS(1861-1865), disitulah semua bentuk perbudakan mulai
dieliminasi dari bumi Amerika hingga dampaknya sampai di abad ke 21 ini,
dengan lahirnya Barack Husein Obama sebagai orang pertama turunan
Afrika-Amerika jadi Presiden Amerika Serikat ke-44 selama dua periode
(2008-2016).
Obama yang berkulit hitam dan keriting,
dengan memiliki nama tengah yang berbau negara yang kelas satu yang
dimusuhi Amerika dan memiliki nama terakhir yang menjadi musuh kelas dua
Amerika, tetapi ia bisa terpilih sebagai Presiden Amerika. Profesor
dalam bidang pendidikan asal Brasilia, Paulo Freire, pernah menulis,
“Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.”
Orang Papua dikenal amat konsisten dalam
memperjuangakan segala sesuatu yang menurut mereka meyakininya
benar.Karena, prinsipnya, kebenaran itu bagian dari harga diri yang
harus diperjuangkan dan dipertahankan. Menurut orang Papua, kehilangan
harta sama dengan tidak ada kehilangan apa-apa, kehilangan nyawa adalah
kehilangan separuh dari kedupan dan kehilangan harga diri adalah
kehilangan segala-galanya. Maka, apa pun alasannya, orang Papua terus
berjuang hingga sinar keadilan dan kebaran benar-benar terwujuddi negeri
itu, walaupun resikonya berat. Mati.Kebanyakan orang sering melihat
Papua merasa gerang dan berang, karena membandingakan kemajuan
pembangunan di Indonesia lain dengan ketertinggalan di Papua itu sangat
jauh, seperti ‘jurang’ yang menganga. Mereka selalu berpikir dan
mengibaratkan; keinginan antara Musa dan Firaun itu tidak pernah
sinonim, seperti air dan minyak. Tetapi, saya sebagai penulis masih
optimistis, jika itikad baik dari pemerintah Indonesia untuk membangun
masyarakat Papua, semuanya akan tercapai.
Hanya untuk mencapai cita-cita itu–
butuh proses yang panjang, terutama membangun rasa saling percaya yang
kuat antara dua belah pihak, Jakarta-Papua. Dengan kepercayaan hingga
dilakukan sebuah dialog yang damai, adil, demokratis, dan bermatabat.
Untuk membicarakan dan merumuskan berbagai pokok permsalahan di Tanah
Papua yang terjadisejak integrasi hingga saat ini, termasuk negara harus
berapologi dengan mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab atas
semua kasus pelanggaran HAM yang dilakukannya selama lebih 50 tahun.
Tanpa melaui step ini mustahil konflik Papua tidak akan terselesaikan dan akan seperti kutukan yang tak termaafkan.
Perlu diakui, ketidakadilan yang dialami
orang Papua itu sama seperti dua pengadilan sesat yang pernah terjadi
di dunia, yakni ketidakadilan pengadilan terhadap filsuf besar Yunani,
Socrates pada masyarakat Barat sebelum Masehi dan Yesus Kristus bagi
umat Kristiani di seluruh dunia sesudah Masehi.
Saya melihat ikhtiar dan keberanian
Jokowi untuk merubah Tanah Papua dalam segala aspek hidupan– dengan
bukti dalam setahun, ia telah tiga kali mengungunjungi Tanah Papua. Ini
merupakan hal yang sangat luar biasa, jika dibandingkan dengan enam
presiden sebelumnyayang dalam lima tahun hanya sekali bahkan ada yang
sama sekali tidak melakukan kunjungan seperti itu.Ini berarti secara
gamblang Jokowi menunjukkan sikapnya untuk membangun bumi Cenderawasih
itu.
Hanya saja, dari tiga kali kunjungan
presiden itu belum satu pun program kongkrit yang dilakukannya bagi
masyarakat di dua Provinsi di Tanah Papua; Provinsi Papua dan Papua
Barat.Saatnya, Jokowi harus buktikan kepada masyarakat Papua sebagai
bagian dari republik ini. Jika Presiden Jokowi melakukan berbagai
perubahan bagi orang Papua, itu merupakan bagian dari upaya presiden
mungusap air mata orang Papua yang terus mengalir hampir lebih dari lima
dasawarsa menjadi anak setia untuk Indonesia.
Karena, Papua bukan saja setiap pagi
mengirimkan matahiri ke barat, tetapi juga menyumbangkan sekian banyak
hasil alamnya demi pembangunan Indonesia, dari Sabang-Merauke! Lucius
Calpurnius Piso Caesonius– Gebernur di era Republik Romawi, tahun 43 SM
pernah berkata“Fiat justitia ruat caelum, hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. Kalimat ini diucapkan Lucius saat berpidato dari mimbar di depan rakyatnya! Semoga.
===================================================================
*). Penulis adalah aktivis PMKRI Nasional—Sanctus Thomas Aquinas, di Jakarta! Email; syufi_thomas@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar