Sabtu, 03 Oktober 2015

Jokowi, Tolong Mengusap Air Mata Orang Papua

Thomas Ch. Syufi (Foto:Dok Pribadi)
Thomas Ch. Syufi  (Foto:Dok Pribadi)

Oleh : Thomas Ch. Syufi 

Ibarat kata, Papua saat ini digenangi air mata atau dengan kata lain, Papua ada di ujung Senja. Sebenatar lagi malam tanpa bulan dan bintang akan tiba dan kegalapan segera menyelimutinya. Pada saat itu, yang terdengar hanyalah gemeretak dan isakan tangis kepedihan.Tangis kepedihan karena ribuan orang tewas dalam pembunuhan yang tak wajar atas dalih mereka adalah kelompok separatis, Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Begitu pula, sebaliknya, sejumlah anggota Tentara Nasional (TNI) dan Polisi Negara Republik Indonesia (Polri) di bunuh oleh orang tak dikenal. Di Papua, bunuh membunuh menjadi hal yang lumrah sejak negeri itu berintegrasi dengan negara ini, 1 Mei 1963.

Dalam lintasan sejarah, sejak pemerintahan Soeharto yang dikenal bengis dan otoriter membuat sebagian orang Papua kehilangan sanak saudara, kehilangan rumah, tempat tinggal dan sebagian terpaksa mengusi ke hutan, dan pengasingan, luar negeri. Sejak itu hingga saat ini, kehidupan orang Papua terhuyung-huyung. Ini karena tindakan tak manusiawi yang lakukan oleh militer Indonesia melalui berbagai operasinya. Papua yang dikenal sebagai negeri yang kaya akan susu dan madu itu nampaknya memiliki sejarah kelam yang panjang sejak dilangsungkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) oleh negara dibawah rezim Soekarno hingga Soeharto, bahkan saat ini pun pelanggaran HAM terus terjadi.

Beberapabentuk operasi militer yang pernah dilaksanakan secara masif di Papua pada dua rezim tersebut, antara lain; operasi Sadar (1965-1967), operasi Brathayudha (1967-1969), operasi Wibawa (1969), operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), operasi Sapu Bersih I dan II (1981), operasi Galang I dan II (1982), operasi Tumpas (1983-1984), dan operasi Sapu Bersih (1985).

Selain operasi militer, ada bentuk kekerasan lain juga yang pernah dilakukan di beberapa tempat di Tanah Papua, seperti operasi Mependuma tahun 1999, penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap rakyat Papua di Biak, kasus Abepura dan Wasior berdarah tahun 2000, yang kemudian dilakukan investigasi oleh berbagai lembaga pegiat HAM, baik internasional maupun nasional, seperti Fransican Internasional, Amnesty Internasional (AI),LembagaStudi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Papua, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, dan Komisi untuk Orang Hilang, Korban, dan Tindak Kekarasan (KontraS) Papua, serta termasuk lembaga resmi negara, yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mana hasilnya penyedilikannya mengindikasikan hampir semua peritiwa yang mengenaskan itu adalah pelanggaran HAM berat yang harus negara mempertanggungjawabkannya.

Namun, rangkaian tragedi kemanusiaan yang di lakukan oleh militer Indonesia terhadap rakyat sipil di Tanah Papua itu tidak pernah dipertanggungjawabkan secara adil, jujur dan terbuka dihadapan hukum dan pengadilan, terutama pelaku dan para aktor intelektualnnya. Misalnya, kasus Abepuara berdarah tahun 2000, yang terusdidorong oleh beberapa lembaga HAM hingga di tingkat Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun di Kejagunglah prosesnya jadi tersendat hingga saat ini. Berulangkali para aktivis kemanusiaan, termasuk rakyat Papua sendiri mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menuntaskan kasus Aberpura berdarah termasuk semua kasus pelanggaran HAM berat di Papua pada masa lalu.

Dalam posisi berkabkabung tahun 2000, pada tanggal 10 November tahun 2001 rakyat Papua kembali dikagetkan dengan kabar tewasnya tokoh politik dan HAM Papua Theys Hiyo Eluay (64), dibunuh oleh pasukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) saat perjalanan pulang setelah mengikuti acara ulang tahun Kopassus di Markas Kopassus, Tribuana, Hamadi Pantai, Jantung Kota Jayapura pada malam itu. Pembunuhan ini mengundang sorotan dari berbagai pihak– baik luar maupun dalam negeri yang mempertanyakan kematian misterius ketua Presidium Dewan Papua (PDP) tersebut; siapa yang membunuh, mengapa dibunuh, dan atas perintah siapa?Namun, palaku pembunuhan yang nota bene sebagai anggota Kopassus justru mereka naik pangkat. Misalnya, Hartomo yang saat pembunuhan berpangkat Letkol, sekarang sudah menyandang pangkat brigadir jenderal dan menjabat sebagai Komandan Pusat Intel Angkatan Darat (Danspusintelad), Mayor TNI Donny Hutabarat, sempat menjabat Komandan Kodim 0201/BS di Medan, Sumatera Utara dan sekarang menjabat sebagai Waasintel Kosdam Kodam I Bukit Barisan, Aceh, dan Kapten Inf. Agus Supriyanto yang juga terlibat dalam pembunuhan itu sempat menduduki jabatan sebagai Komandan Batalyon 303/Kostrad (Indoprogress.com yang dikutip Majalah Selangkah, 11 November 2014). Bahkan, sebagaimana dilaporkan Tempo Interaktif, Rabu (23/4/2003), Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu menyatakan anggota Kopassus yang dihukum karena melakukan pembunuhan terhadap Theys H. Eluay merupakan pahlawan. Hal ini sangat menyakitkan hati orang Papua. Selain Theys, Opinus Tabuni salah seorang warga yang ditembak mati di lapangan Sinampuk Wamena, pada perayaan hari Pribumi Internasional, 10 Agustus 2009 yang diselenggarakan oleh Dewan Adat Papua (DAP).

Selain itu, Wakil Ketua I Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang selalu getol memperjuangakan aspirasi politik orang Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia dengan cara damai dan bermatabat tewas tertembak di Depan Kampus Universitas Cenderawasih, Distrik Heram, Perumnas Tiga Waena, Jayapura, Papua oleh satuan aparat Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Kamis (14/6/2012) sekitar pukul 10.00 WIT. Demikian juga peristiwa penembakan terhadap 5 orang siswa SMA di Paniai pengujung 20014 silam yang hingga saat ini terus disuarakan oleh para aktivis HAM dan rakyat Papua, karena TNI/ Polri sebagai pelaku penembakan tidak mempertanggugjawabkan perbuatannya, lagi-lagi Presiden Jokowi melempem dan alergi dengan isu HAM.

Beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak tahun 1999 hingga saat ini memang dalam iklim demokrasi, rakyat Papua terus dibunuh dalam afmosfer kebebasan. Semua peristiwa ini makin membuat orang Papua terhuyung-huyung di negerinya sendiri.Anehnya, semua pelanggaran HAM ini tidak ada satu pun yang dipertanggung jawabkan hingga tuntas– baik pelaku, perancang, dan termasuk negara yang dikepalai oleh seorang Presiden, semua menghindar dari kenyataan. Sudah puluhan bahkan ratusan kali, sejak tahun 1960-an hingga saat ini rakyat Papua menyuarakan kapada pemerintah untuk segera menuntaskan semua kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua sejak integrasi hingga sekarang.

Setiap bulan pasti rakyat Papua menggelar berbagai kegiatan, baik seminar, diskusi, dialog,Workshop, dan bahkan melakukan aksi turun jalan ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua (DPRP) maupun Papua Barat (DPRPB), kantor Gubernur Papua maupun Papua Barat meminta negara harus bertanggungjawab atas semua kasus pelanggaran HAM yang dilakukannya terhadap orang Papua selama ini. Dan negara juga memberikan perlindungan yang pasti bagi masa depan orang Papua dalam pangkuan Ibu Pertiwi.

Akan tetapi, perjuangan dan aspirasi masyarakat Papua yang di sampaikan itu tidak pernah digubris oleh pemerintah, baik pemerintah daerah atau pusat.Entah ke mana aspirasi rakyat Papua itu?Mungkin saja ditelan oleh samudera hindia atau di amankan di keranjang sampah. Berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat Papua itu hanya karena orang Papua ingin memperjuangkan kebenaran sejarah politik Papua masuk ke dalam NKRI yang selama ini masih diperdebatkan, pelanggaran HAM kronis, ketidakadilansosil, dan ketimpangan ekonomi yang terus menjadi santapan harian selama setengah abad lebih Papua menjadi bagian dari Indonesia.Meskipun dianaktirikan dalam keluarga besar NKRI– rakyat Papua tetap setia dan memiliki kasih yang tulus dengan tak henti-hentinya menyumbangkan emas dan segala turunannya untuk pembangunan Indonesia raya yang kita cintai.

Air mata
Barangkali kita diingatkan dengan pameo Latin, yang kerap kali dikutip dari penulis militer Romawi Publius Flavius Renatus, menyatakan, “Jika kau mendambakan perdamaian siapkanlah keadilan, si vis pacem para iustitiam.” Dari beragam permasalahan yang menimpa rakyat Papua, baik dari aspek status politik Papua dalam keluarga besar RI yang masih menjadi kontraversi, pelanggaran HAM, marginalisasi ekonomi dan ketidakadilan sosial yang terus menyelimputi negeri matahari terbit itu menjadi penyulut utama konflik di Papua.

Sejak Papua masuk NKRI secara de facto 1 Mei 1963 hingga sekarang, rakyat Papua merasa dianktirikan dan mereka selalu hidup dalam ketidakpastian. Orang Papua hidup dengan lumuran darah dan air mata. Selama ini, orang Papuaberjuang hanya ingin diperlakukan sama seperti masyarakat Indonesia lain. Mereka berharap pada Presiden Jokowi yang setia dan tulus hati telah tiga kali menyabangi mereka di bumi Papua yang masih temaram kelabu itu untuk merubah hidup mereka ke masa depan yang lebih baik.

Tidak lain, harapan orang Papua ialah menginginkanpresiden bisa memegangi dan memapah mereka keluar dari belenggu kesengsaraan yang melingkari mereka selama 50 tahun lebih hidup bersama pemerintah Indonesia. Mungkin saja dengan pengamatan langsung dari sang kepala negara dan kepala pemerintahan ituakan segera mengambil sikap untuk merubah negeri seram tersebut menjadi taman bacaan atau taman Firdaus yang lebih asri bagi semua orang– baik dari suku, agama, ras, dan golongan mana pun menikmati hudup yang sama; sama rata dan sama rasa. Maka, dari itulah orang Papuaakan satukan tekat dan berpacu bersama memajukan Indonesia yang lebih baik sesuai dengan semangat negara proklamasi.

Rakyat Papua juga meresa, selama ini pemerintah Indonesia bukan mencintai orang Papua, tetapi mereka lebih mencintai sumberdaya alamnya yang berlimpah ruah atau dengan anekdot‘pemerintah Indonesia tidak mencintai Mas-mas Papua tetapi mencintai Emas-emas Papua’. Itulah sebuah kenyataan hidup suku Melayu dan Melanesia dalam sebuah bangsa bernama Indonesia.Tentu semua ada waktunya– orang Papua akan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah seperti orang Indonesia lain.

Amerika Serikat yang kini dikenal sebagai negara adikuasa dan kampium demokrasi juga pernah melalui masa kelam dan sulit seperti ini. Pada tahun 1816, lebih dari tiga juta orang Afrika-Amerika menjadi budak di Selatan. Sebagian besar memetik kapas di perkebunan besar milik para kapitalis dan imperalis orang kulit putih.Sementara di bagian utara Negeri Paman Sam itu berusaha mengakhiri perbudakan. Setelah beberapa dekade kemudian, tepatnya Abraham Lincon menjadi orang nomor satu di ruang oval, Gedung Putih, sebagai presiden ke XVI AS(1861-1865), disitulah semua bentuk perbudakan mulai dieliminasi dari bumi Amerika hingga dampaknya sampai di abad ke 21 ini, dengan lahirnya Barack Husein Obama sebagai orang pertama turunan Afrika-Amerika jadi Presiden Amerika Serikat ke-44 selama dua periode (2008-2016).

Obama yang berkulit hitam dan keriting, dengan memiliki nama tengah yang berbau negara yang kelas satu yang dimusuhi Amerika dan memiliki nama terakhir yang menjadi musuh kelas dua Amerika, tetapi ia bisa terpilih sebagai Presiden Amerika.   Profesor dalam bidang pendidikan asal Brasilia, Paulo Freire, pernah menulis, “Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.”

Orang Papua dikenal amat konsisten dalam memperjuangakan segala sesuatu yang menurut mereka meyakininya benar.Karena, prinsipnya, kebenaran itu bagian dari harga diri yang harus diperjuangkan dan dipertahankan. Menurut orang Papua, kehilangan harta sama dengan tidak ada kehilangan apa-apa, kehilangan nyawa adalah kehilangan separuh dari kedupan dan kehilangan harga diri adalah kehilangan segala-galanya. Maka, apa pun alasannya, orang Papua terus berjuang hingga sinar keadilan dan kebaran benar-benar terwujuddi negeri itu, walaupun resikonya berat. Mati.Kebanyakan orang sering melihat Papua merasa gerang dan berang, karena membandingakan kemajuan pembangunan di Indonesia lain dengan ketertinggalan di Papua itu sangat jauh, seperti ‘jurang’ yang menganga. Mereka selalu berpikir dan mengibaratkan; keinginan antara Musa dan Firaun itu tidak pernah sinonim, seperti air dan minyak. Tetapi, saya sebagai penulis masih optimistis, jika itikad baik dari pemerintah Indonesia untuk membangun masyarakat Papua, semuanya akan tercapai.

Hanya untuk mencapai cita-cita itu– butuh proses yang panjang, terutama membangun rasa saling percaya yang kuat antara dua belah pihak, Jakarta-Papua. Dengan kepercayaan hingga dilakukan sebuah dialog yang damai, adil, demokratis, dan bermatabat. Untuk membicarakan dan merumuskan berbagai pokok permsalahan di Tanah Papua yang terjadisejak integrasi hingga saat ini, termasuk negara harus berapologi dengan mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab atas semua kasus pelanggaran HAM yang dilakukannya selama lebih 50 tahun. Tanpa melaui step ini mustahil konflik Papua tidak akan terselesaikan dan akan seperti kutukan yang tak termaafkan.

Perlu diakui, ketidakadilan yang dialami orang Papua itu sama seperti dua pengadilan sesat yang pernah terjadi di dunia, yakni ketidakadilan pengadilan terhadap filsuf besar Yunani, Socrates pada masyarakat Barat sebelum Masehi dan Yesus Kristus bagi umat Kristiani di seluruh dunia sesudah Masehi.

Saya melihat ikhtiar dan keberanian Jokowi untuk merubah Tanah Papua dalam segala aspek hidupan– dengan bukti dalam setahun, ia telah tiga kali mengungunjungi Tanah Papua. Ini merupakan hal yang sangat luar biasa, jika dibandingkan dengan enam presiden sebelumnyayang dalam lima tahun hanya sekali bahkan ada yang sama sekali tidak melakukan kunjungan seperti itu.Ini berarti secara gamblang Jokowi menunjukkan sikapnya untuk membangun bumi Cenderawasih itu.

Hanya saja, dari tiga kali kunjungan presiden itu belum satu pun program kongkrit yang dilakukannya bagi masyarakat di dua Provinsi di Tanah Papua; Provinsi Papua dan Papua Barat.Saatnya, Jokowi harus buktikan kepada masyarakat Papua sebagai bagian dari republik ini. Jika Presiden Jokowi melakukan berbagai perubahan bagi orang Papua, itu merupakan bagian dari upaya presiden mungusap air mata orang Papua yang terus mengalir hampir lebih dari lima dasawarsa menjadi anak setia untuk Indonesia.

Karena, Papua bukan saja setiap pagi mengirimkan matahiri ke barat, tetapi juga menyumbangkan sekian banyak hasil alamnya demi pembangunan Indonesia, dari Sabang-Merauke! Lucius Calpurnius Piso Caesonius– Gebernur di era Republik Romawi, tahun 43 SM pernah berkata“Fiat justitia ruat caelum, hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. Kalimat ini diucapkan Lucius saat berpidato dari mimbar di depan rakyatnya! Semoga.

===================================================================
*). Penulis adalah aktivis PMKRI Nasional—Sanctus Thomas Aquinas, di Jakarta! Email; syufi_thomas@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar