Foto: Gabungan Militer Indonesia Memblokade Jalan/Ilust. |
‘Orang-orang
Papua selalu jadi korban, diperkosa, dibunuh di mana-mana. Hak azasi
orang Papua dicabut paksa oleh Amerika, Inggris, Australia, dan
Indonesia … Kenapa saya ada di areal Freeport? Karena pembantaian demi
pembantaian, itu karena emas tembaga. Pemerintah (TNI-Polri) tidak
pernah merasa orang Papua bagian dari Indonesia karena lebih
mementingkan perusahaan daripada masyarakat yang harusnya dilindungi.’
Kelly Kwalik kepada Jimmy Erelak, dalam Markus Haluk (2013: 286)
JUDUL tulisan ini digubah dari pernyataan serupa yang ditegaskan Wiji Thukul terhadap demokrasi Indonesia dalam pembukaan Manifesto Pendirian
Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 1996, ketika diktator Orde Baru
masih berkuasa. Ketika Thukul mengatakannya, lima paket UU politik
adalah pintu penjara Orde Baru bagi para aktivis yang teguh
memperjuangkan sikap politik dan membela hak-hak rakyat.
Lima belas tahun reformasi sudah berlalu, ruang politik bagi rakyat untuk menyusun manuver dan membangun kekuatan mulai lebih terbuka. UU Politik serupa Orde Baru tak lagi berlaku, para tahanan politik dibebaskan, walaupun orang-orang yang dihilangkan paksa oleh para Jenderal Orba, seperti halnya Thukul, belum ditemukan. Dan para jenderal pelanggar HAM masih berkuasa.
Namun, di dalam 15 tahun
reformasi itu, demokrasi seperti yang dikehendaki rakyat Indonesia,
tidak berlaku di Papua. Sebanyak 40 orang tahanan politik sejak tahun
2003 tidak diakui dan diurus negara, sedikitnya 30 orang lainnya
menyusul ditahan sejak 1 Mei 2013 atas hak mereka berkumpul dan
berekspresi. Rakyat Papua adalah korban sekaligus tumbal bagi
persekongkolan pemodal internasional, militer, dan pemerintah Indonesia
atas sumber daya yang kaya di tanah tak merdeka. Atas dasar itulah
artikel ini ditulis.
Kita perlu memahami peta
masalah di Papua, khususnya tertutupnya ruang demokrasi sejak kematian
Theys Eluway di tahun 2001, dan seting ekonomi politik di mana ia
berlangsung. Di sana tampak penyingkiran sistematis dan politis orang
Papua di tanahnya sendiri. Mengapa tidak ada perubahan pendekatan dari
Jakarta di era reformasi? Itu pertanyaan yang penting dijawab, sama
pentingnya dengan pembangunan pergerakan untuk melawan dua warisan
politik Orde Baru yang terus selamat dan belum bisa ditandingi hingga
saat ini: politik anti-demokrasi dan anti-separatisme. Kedua persoalan
itu adalah kerikil dalam sepatu bagi arah demokrasi Indonesia, apalagi
Papua.
Memahami peta masalah dan solusi papua
Tidak mesti menjadi
orang Papua untuk bersolidaritas membela Papua. Bagi orang non Papua
seperti saya, Papua adalah kita. Mengenal masalah Papua akan
memperkenalkan kita pada Indonesia yang sebenarnya: suatu negeri yang
proses negosiasi kebangsaannya belum selesai, apalagi harga mati.
Membicarakan Papua berarti memikirkan apa yang harus diubah oleh
Indonesia terhadap Papua, dan bukan sebaliknya. Karena masalah sekaligus
solusi bagi persoalan Papua terletak di Jakarta, pusat kekuasaan
Indonesia.
Banyak sekali tawaran cara menilai masalah Papua dari berbagai sudut pandang, baik dari sisi orang Papua maupun orang Indonesia. Di tahun 1996, dalam manifestonya, Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah yang pertama mengakui adanya persoalan kebangsaan di Maubere, Aceh dan Papua[1] sekaligus memberi keberpihakan pada upaya-upaya penentuan nasib sendiri rakyat Papua. Demikian halnya dengan Gus Dur yang tidak ragu mengembalikan nama Papua pada 1 Januari tahun 2000, dan penggunaan simbol bintang kejora sebagai identitas orang Papua. Oleh karena itu, sepertinya, Gus Dur lah satu-satunya elit Indonesia yang mendapat penghargaan dari orang Papua atas keberpihakan demokrasinya untuk Papua.[2]
Namun setelah era Gus
Dur, khususnya akibat implementasi Otsus (UU No. 21/2001) dan pemekaran
Provinsi Papua (Inpres No.1 tahun 2003), hubungan Papua-Jakarta semakin
memburuk. Frans Maniagasi, dari Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli
Papua (Pokja Papua), di tahun 2004, memandang persoalan Papua berakar
pada ketiadaan kepercayaan antara Indonesia terhadap Papua, dan
sebaliknya.[3] Ketidakpercayaan itu timbul oleh karena inkonsistensi kebijakan pemerintah Jakarta terhadap Papua.
Amiruddin al Rahab, dalam bukunya Heboh Papua (2010: ix) menyebutkan tak ada yang baru dalam landscape HAM
dan sosial politik di Papua. Sejak 40 tahun yang lalu masalah dasar di
Papua sama, yaitu ‘seputar kemiskinan, ketidakadilan dan trauma akibat
tindakan kekerasan, yang terjadi karena pemerintah dan tokoh-tokoh Papua
disandera oleh sengketa – yang dalam literatur politik disebut gerakan
separatisme.’
Sebelumnya, di dalam Papua Road Map yang
diterbitkan oleh LIPI (2009), satu pengakuan sekaligus harapan
terobosan jalan keluar terhadap persoalan Papua tersaji di atas meja.
Terdapat empat kategori persoalan: sejarah integrasi, status politik,
dan identitas politik; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; kegagalan
pembangunan; inkonsistensi kebijakan Otsus dan marjinalisasi orang
Papua.
Secara historis,
penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas
politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada
masa dekolonisasi Papua. Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan
pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru.
Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otonomi
Khusus lebih merupakan persoalan yang muncul pada masa pasca-Orde Baru.
(LIPI 2009: 7)
Moderasi, negosiasi, dan
kompromi antara nasionalis Indonesia dengan nasionalis Papua merupakan
salah satu kunci penyelesaian konflik Papua menurut tim LIPI.
Berdasarkan analisis konflik tersebut Jaringan Damai Papua (JDP) hadir
mengusung agenda dialog. Pemerintah merespon wacana dialog, yang
disampaikan dalam pidato Presiden SBY tanggal 16 Agustus 2010 bahwa:
‘Pemerintah dengan saksama terus mempelajari dinamika yang ada di Papua,
dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan
Papua yang lebih baik.’[4]
Pada tanggal 5-7 Juli
2011 di Jayapura Papua diselenggarakan Konferensi Damai Papua yang
dihadiri oleh 500 perwakilan rakyat Papua dan 300 orang peninjau. Namun
hasil rekomendasi dialog damai tidak disikapi dengan positif oleh
pemerintah. Bahkan berbagai kekerasan masih terus berlangsung ketika
masyarakat Papua mengajak berdialog dengan Jakarta. Komunikasi
konstruktif tidak pernah terjadi. Dengan demikian, solusi yang paling visible ini pun semakin hari semakin suram karena tidak ada keberpihakan dan perubahan pendekatan dari Jakarta.
Di tengah sulitnya
meyakinkan Jakarta akan kepentingan terhadap dialog dengan Papua,
Socratez Sofyan Yoman (2011), menambahkan bahwa dialog damai yang harus
dilakukan antara pemerintah Papua dan rakyat Papua Barat haruslah tanpa
syarat, dan dimediasi oleh pihak ketiga (internasional). Hal ini
dilandasi oleh sejarah politik integrasi Papua ke Indonesia yang cacat
partisipasi demokratis serta pelanggaran pemerintahan Orde Baru terhadap
perjanjian New York, 15 Agustus 1962.[5]
Artinya, di tengah
syarat dan tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat Papua terhadap
dialog yang dimaksud, pemerintahan di Jakarta bahkan telah lebih dulu
mundur teratur dan tak menujukkan sikap-sikap kompromi dalam bentuk
apapun. Peningkatan kekerasan di Papua oleh militer Indonesia justru
menjadi jawaban pemerintah atas tuntutan rakyat Papua, yang sebetulnya
tidak berhasil ‘diintegrasikan’ selama kekuasaan Orde Baru.
Menurut Herman Katmo,[6] seorang
intelektual Papua dari National Papua Solidarity: ‘untuk memperoleh
konsensus politik terkait format dialog di antara orang Papua, ruang
demokrasi harus dibuka seluasnya agar ada kesempatan bagi seluruh
masyarakat Papua mengkonsolidasikan diri. Intimidasi, ancaman, campur
tangan, dan bentuk-bentuk kamuflase politik yang sengaja diadakan untuk
menghambat proses ini harus ditiadakan. Protes damai orang Papua jangan
disikapi dengan kekerasan. Para tahanan politik Papua harus dibebaskan
tanpa syarat agar mengikuti proses ini. Tidak perlu menyangkal atau
menutupi keberadaan para tapol Papua ke publik internasional.
Seluruh
pasukan non-organik harus ditarik dari tanah Papua, kiat pembangunan
milisi harus dihentikan, dan pendekatan militeristik harus diganti.
Tanpa semua itu, sulit membayangkan adanya kata sepakat untuk
penyelesaian Papua secara damai. Jakarta akan jalan sesuai maunya,
demikian juga rakyat Papua akan jalan dengan kebenarannya sendiri,
ibarat kata pepatah “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.”’
Oleh sebab itulah, pada
kenyataannya, suka tidak suka, persoalan Papua menurut kacamata sebagian
besar orang Papua, dan orang Indonesia, tidaklah sama. Norman Vob,
koordinator WestPapua Network, sebuah perkumpulan solidaritas Papua
berbasis di Jerman, dalam satu kunjungannya ke sekretariat NAPAS,
mencontohkan betapa sulitnya meyakinkan orang Papua terhadap kemungkinan
peluang reformasi kebijakan dan pemerintahan di Jakarta dan di Papua
dalam mengatasi, sekalipun parsial, persoalan-persoalan rakyat Papua.
Sementara bagi para pekerja HAM dan gerakan sosial Indonesia perubahan
pendekatan Jakarta dalam menangani Papua, sekecil apapun, adalah target
advokasi politik yang sangat penting, tidak saja bagi Papua namun bagi
iklim demokrasi seluruh rakyat Indonesia. Di sinilah tepatnya dimensi
dialektis dalam peta masalah Papua kita letakkan: dialektika antara
kehendak orang Papua dengan pembukaan ruang politik di Indonesia.
Kini, setelah 50 tahun
penyerahan administrasi Papua ke Indonesia sejak 1 Mei 1963, hampir
seluruh spektrum politik di Papua bersepakat bahwa situasi Papua semakin
memburuk. Mereka bersepakat bahwa persoalan Papua begitu kompleks
meliputi sejarah dan status politik, diskriminasi dan marjinalisasi
masyarakat asli, konflik agraria dan lingkungan, serta pelanggaran
hak-hak sipil-politik dan ekonomi, sosial, budaya. Memposisikan satu
masalah lebih utama dari yang lain adalah tindakan yang merugikan,
khususnya di tengah situasi kemanusiaan yang semakin memburuk bagi
rakyat Papua di berbagai sisi saat ini. Demikian pula kerugian ketika
memisahkan dan mengisolasi satu masalah dari masalah lainnya, karena
justru solusi yang dikehendaki mayoritas rakyat tidak akan ditemukan.
Pelanggaran HAM sebagai upaya sistematis penyingkiran rakyat Papua
Tidak ada satupun data yang bisa mengkonfirmasi adanya perbaikan situasi hak azasi manusia di Papua di era reformasi.
Menurut Markus Haluk
(2013), sebanyak 366 bentuk pelanggaran hak sipil politik terhadap
rakyat Papua terjadi sejak tahun 2008 hingga 2012. Pelanggaran tersebut
dalam bentuk penyiksaan berat, penangkapan sewenang-wenang, penembakan
dan pembunuhan, pemerkosaan perempuan, pembakaran, penggerebekan asrama
mahasiswa dan penghancuran harta warga, pengekangan demonstrasi damai,
penolakan surat pemberitahuan demo damai, penahanan warga sipil dengan
tuduhan makar, pembatasan akses anggota parlemen, kongres dan diplomat
asing, pembatasan dan ancaman terhadap jurnalis internasional, media
nasional dan lokal, serta ancaman pembela HAM.
Dalam
laporan tersebut, penembakan dan pembunuhan mendominasi angka
pelanggaran HAM di Papua (105 kasus), disusul penyiksaan berat (50
kasus), dan pengekangan demonstrasi damai (35 kasus). Tren kekerasan
bahkan semakin meningkat pasca diselenggarakannya Kongres III Rakyat
Papua (KRP), 16-19 Oktober 2011. KRP III sendiri dibubarkan paksa oleh
aparat gabungan pada 19 Oktober, dan Komnas HAM mengonfirmasi telah
terjadi empat pelanggaran HAM oleh aparat dalam peristiwa tersebut.[7] Dan
sejak saat itu, tren penembakan, penganiayaan dan pembunuhan di tahun
2012 meningkat, dilakukan oleh apa yang disebut aparat sebagai OTK
(Orang Tak Dikenal) selain juga oleh polisi. Menurut catatan KontraS
sebanyak 54 peristiwa dilakukan oleh OTK dan 84 peristiwa dilakukan oleh
polisi.
Berbagai peristiwa ini
terjadi di tengah kesimpulan banyak pihak terhadap kegagalan Otonomi
Khusus (Otsus) Papua, yang sedianya lahir sebagai jalan tengah
penyelesaian konflik dalam merespon aspirasi rakyat Papua sekaligus
menunjukkan komitmen pemerintah membangun Papua. Otsus berlandaskan pada
empat pilar yaitu: (i) Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga
kultural yang memainkan peran pengawasan dan penyambung aspirasi
penduduk asli Papua; (ii) Komisi Hukum Ad Hoc, yang berfungsi sebagai
badan penasehat bagi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan MRP dalam
menyusun Perdasus dan Perdasi dalam kerangka implementasi Otsus; (iii)
Pembentukan Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
dan Pengadilan Hak Asasi Manusia; (iv) Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) serta Peradilan HAM. Dari empat pilar tersebut, yang
terlaksana, dengan banyak problematika, hanyalah Majelis Rakyat Papua
dan Komnas HAM Papua.
Dana Otonomi Khusus sejak tahun 2002 hingga 2012 yang berkisar 33 trilyun[8] tidak
juga menyelesaikan persoalan kemiskinan di Papua. Sejak tahun 1996-2011
Human Development Index orang Papua tetap yang terendah.[9]Berdasarkan
hasil sensus penduduk 2010 Data Agregat per Provinsi, Badan Pusat
Statistik Jakarta, menyebutkan penduduk Papua berjumlah 3,612,854[10] jiwa
(1,790,777 orang asli Papua dan 1,822,677 pendatang). Disparitas
tingkat kemiskinan penduduk Indonesia, berdasarkan rilis Bappenas 3
Januari 2012 menempatkan Papua di posisi tertinggi di Indonesia, sebesar
31,98 persen. Otonomi Khusus yang dijanjikan juga belum mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua melalui 4 (empat) program
utamanya: pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan
pembangunan infrastruktur.
Dari data yang
dikeluarkan Forum Kerjasama (Foker) LSM Papua, 2010, APBD Provinsi
Papua tahun 2009 mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 242,06
milyar. Jumlah ini setara dengan 4,71 persen APBD atau 9,28 persen dari
dana otsus. Jika menggunakan ketentuan UUD 1945, UU No. 20/2003, dan PP
No. 48/2008 yang menetapkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20
persen dari APBD, anggaran pendidikan Papua tahun 2009 seharusnya
minimal sebesar Rp 1,03 trilyun. Apabila menggunakan Perda No. 5/2006
dengan ketentuan 30 persen dari dana otsus, anggaran pendidikan Papua
pada APBD 2009 paling sedikit seharusnya Rp 782,94 milyar.
Sementara itu peristiwa
kematian akibat sakit yang sudah bisa diobati, HIV/AIDS, dan
ketidaksediaan bahan pangan, terus terjadi. Masih menurut Foker LSM,
alokasi APBD Propinsi Papua untuk sektor kesehatan tahun 2009 sebesar
Rp. 295,29 milyar (5,74 persen dari APBD atau 11,31 persen dari dana
otsus). Kendati demikian dari sisi persentasi, situasi ini belum
memenuhi amanat UU Otsus di mana sektor kesehatan menjadi prioritas
pendanaan. Nilai ini juga belum sesuai dengan standar WHO (World Health
Organization), yang menetapkan anggaran kesehatan 15 persen dari APBD.
Angka penderita HIV-AIDS hingga 16 Desember 2012 telah mencapai 13.000 jiwa menurut laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua,[11] dan kawasan pertambangan mendominasi jumlah orang-orang yang terinfeksi. Dari catatanmedia centre UP4B dalam hal kesehatan pada Februari 2013,[12] dana Dekonsentrasi Provinsi Papua sebesar Rp. 49,4 milyar dan dana Pinjaman Hibah Luar Negeri sebesar Rp. 13,2 milyar.
Pada awal dan
pertengahan April 2013, 95 orang (15 orang menurut keterangan
Pemerintah) meninggal; 61 orang juga meninggal di Distrik Samenage
Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua; sementara 535 orang lainnya menderita
sakit, terutama sejak November sampai Februari 2013 di Distrik Kwor
Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat. Peristiwa kematian 95 warga dan
ratusan yang sakit di Kwor tersebut diduga karena kekurangan gizi dan
gatal-gatal. Di Distrik Kwor terdapat 8 Kampung dan didiami 2.250 jiwa
(penduduk). Menurut tokoh gereja setempat, peristiwa kematian dan sakit
ini sudah lama dilaporkan kepada petugas kesehatan yang berkunjung di
Puskemas pembantu (Pustu) tetapi belum ada respon balik dari pemerintah
setempat.[13]
Peristiwa yang serupa
terjadi di Distrik Semenage, Kabupaten Yahukimo Provinsi Papua: 61 orang
meninggal karena sakit. Peristiwa ini terjadi sejak 15 Januari sampai
30 Maret 2013. Penyebab kematiannya akibat berbagai penyakit seperti
sesak nafas, diare, sakit ulu hati, cacingan, badan bengkak-bengkak, dan
jantung bengkak. Berdasarkan hasil penelitian selama kunjungan pastoral
di Distrik Segema, tokoh gereja setempat, Pastor John Jonga dan Dorkas
Kosay, mengatakan bahwa di kampung-kampung terdapat anak-anak dan
ibu-ibu yang sakit, mereka tidak mendapat pelayanan medis dari petugas
kesehatan karena tidak ada tenaga kesehatan di Puskes Pembantu. Hanya
seorang kader (pembantu Mantri dan bidan) yang berada di tempat. Ia pun
tak bisa berbuat banyak karena bukan bidan yang mengikuti sekolah
formal. Tidak ada penyediaan obat-obatan yang memadai, meskipun obat
yang tersedia seringkali berhamburan di lantai Puskesmas Pembantu.[14] Fakta
di lapangan berbeda dengan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Yahukimo
yang mengatakan bahwa terdapat sebuah Puskesmas Pembantu dengan 5 orang
petugas kesehatan (3 orang perawat dan 2 orang bidan) di Distrik
Semenage pada tahun 2009.
Kasus kematian warga
akibat penyakit kekurangan pangan dan gizi buruk di Kabupaten Yahukimo
pernah terjadi sebelumnya di tahun 2005 dan 2009. Dalam peristiwa itu
220 orang meninggal dunia. Selain di Kabupaten Yahukimo, wabah kolera
dan muntaber terjadi pada bulan Juli 2008 di Kabupaten Dogiyai. Menurut
laporan Komisi Keadilan dan Perdamaian Sinode Kingmi Papua, sebanyak 239
Warga Dogiyai telah meninggal dunia akibat wabah kolera dan muntaber
yang terjadi antara April-Juli tahun itu. Korban terdiri dari anak-anak,
remaja dan orang dewasa. Dalam situasi itu, perhatian pemerintah sangat
lambat dan saling lempar tanggung jawab antara pemerintah Kabupaten dan
Provinsi.
Pada 4 Desember 2007,
sebanyak 21 orang warga Kampung Dumadama dan Ugimba Kabupaten Paniai,
Papua, meninggal dunia akibat kelaparan. Korban 21 orang itu terdiri
dari 5 orang laki-laki dan 3 orang perempuan dan 12 orang lainnya
anak-anak. Tokoh masyarakat adat setempat, Maxsimus Tipagau, mengatakan
kelaparan terjadi karena gagal panen, di mana musim es menghancurkan
tanaman masyarakat. Tidak ada bantuan dari pemerintah Kabupaten Paniai,
hingga mereka meminta bantuan dari PT. Freeport, tanpa mendapat respon.
Sebagai catatan, Dumadama berada di wilayah konsesi Freeport.[15]
Di tengah kegagalan
Otsus yang belum dievaluasi secara komprehensif, pemerintah telah
membuat institusi baru bernama Unit Percepatan Pembangunan Papua dan
Papua Barat (UP4B). Lembaga ini dianggap sebagai solusi sepihak
pemerintah Jakarta untuk menjawab kegagalan Otsus. UP4B merupakan
kebijakan yang terintegrasi dengan Masterplan Program Percepatan
Pembangunan Ekonomi Indonessia (MP3EI) yang disusun pemerintah pusat. Di
dalam presentasi Bambang Darmono[16] ‘Merajut
Harmoni: Peran UP4B dalam Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat’ disebutkan bahwa MP3EI adalah kerangka acuan yang digunakan
selain Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Papua
tahun 2010-2014. Tidak jelas di mana posisi Otsus dalam kepentingan itu,
bahkan tak pernah satu kalipun dirujuk dalam presentasi tersebut.
Menurut laporan akhir tahun 2012 Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP),[17] terobosan
UP4B dalam memperjuangkan pendidikan dan dana pembangunan, khususnya di
daerah pegunungan, belum mampu memacu sinkronisasi kerja di antara
instansi terkait, juga terutama untuk mengontrol implementasinya. Ageda
sosial politik untuk membangun komunikasi di antara masyarakat sipil
yang menjadi salah satu peran UP4B masih belum nampak. Pelaksanaan,
pendampingan dan pengawasan terhadap penggunaan dana-dana mulai dari
provinsi hingga ke kampung-kampung belum mampu memperbaiki kualitas
pembangunan bagi masyarakat. Masih terdapat perbedaan yang sangat besar
antara agenda pemerintah dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk
terlibat dalam pembangunan.
MP3EI dilaksanakan dalam
semangat percepatan pertumbuhan ekonomi berlandaskan ketergantungan
terhadap investasi asing, akumulasi berbasiskan industri ekstraktif yang
dampak sosial dan lingkungannya semakin mengkhawatirkan, sekaligus
karpet merah untuk para pemiliki kapital. Sehingga MP3EI pada dasarnya
hanyalah daur ulang kebijakan deregulasi dan akan menjadi sumber bencana
di masa depan.[18] Pertumbuhan
ekonomi melalui investasi asing dalam arus neoliberalisme selama lebih
dari 3 dekade terakhir sudah terbukti memanen kegagalan ketimbang
keberhasilan di dalam perspektif mempercepat laju pengurangan
kemiskinan.[19]
Sehingga kekhawatiran
banyak pihak bahwa strategi dalam pengamanan investasi akan memperkuat
penempatan militer (TNI/POLRI) dalam jumlah besar, yang sebetulnya pun
telah berlangsung selama ini, sangat beralasan. Gubernur Lemhanas, Budi
Susilo Soepandji, mengatakan, bahwa MP3EI dan UP4B adalah kebijakan soft power yang
paling strategis untuk menjalankan harmonisasi kesejahteraan di Papua
dalam koridor NKRI dan kebangsaan, sambil, ‘tidak melupakan cara-cara hard power untuk
mewaspadai tindakan penggunaan senjata oleh kelompok-kelompok yang tak
bertanggung jawab,’ karena menurutnya, ‘angkat senjata tak bisa dihadapi
dengan doa. Angkat senjata harus dihadapi dengan senjata, apalagi
Indonesia juga punya kekuatan.’[20]
Sulit untuk tiba pada
kesimpulan lain, berdasarkan semua fakta pelanggaran HAM sipil dan
politik serta ekonomi, sosial dan budaya yang terus berlangsung
sebagaimana digambarkan di atas, selain memang terjadi penyingkiran yang
sistematis terhadap rakyat Papua. Berbagai kebijakan yang menghamburkan
uang seperti disengaja membuat situasi bertambah buruk melalui
peningkatan korupsi birokratik di seluruh jajaran pemerintahan.[21] Sejak
Orde Baru berkuasa dengan fokus kebijakan dan pendekatan yang lebih
seragam dan represif, Indonesia sudah gagal mengintegrasikan Papua.
Secara politik pemerintah pasca reformasi juga gagal menunjukkan
komitmen yang lebih beradab untuk meraih kepercayaan rakyat Papua.
Terobosan yang dilakukan Gus Dur kandas,di tangan para elit yang
konservatif. Sejak awal aspirasi mayoritas rakyat Papua berbeda dengan
apa yang diberikan Jakarta.
Aspirasi itu dilandasi oleh apa yang disebut para aktivis hak azasi manusia di Papua sebagai Memoria Passionis atau Ingatan Penderitaan. Memoria Passionis adalah
kenangan akan trauma akibat marjinalisasi sosial dan ekonomi secara
umum, pengingkaran terhadap harga diri yang sering dilakukan, dan
kadang-kadang teror secara terbuka. Memoria Passionis mulai
diekspresikan sebagai sejarah penderitaan orang-orang Papua dan
disampaikan ke Jakarta ketika sebuah tim yang terdiri dari 100 pemimpin
(Tim 100) dari seluruh penjuru Papua mengajukan tuntutan akan
kemerdekaan terhadap Presiden Habibie pada 26 Februari 1999.[22]
Papua dijajah dua kali
Persoalan Papua bersifat
sistemik. Terdapat penindasan kebangsaan sekaligus eksploitasi kapital.
Gugatan Papua terhadap status politiknya sekaligus adalah gugatan pada
orang Indonesia terhadap sejarah politiknya sendiri. Sengketa politik
Papua sangat erat kaitannya dengan kekayaan mineral yang dikandung tanah
itu. Kontrol terhadap Papua adalah ladang bisnis menggila yang ada di
hadapan kita saat ini.
Pada 1935, NNGPM (the
Nederlandsche Nieuw-Guinee Petroleum Maatschappij) mulai mengeksplorasi
bagian barat Papua (Vogel Kop – Bird’s Head, alias Kepala Burung) seluas
10 juta hektar. Kemudian ditemukannya mineral ore di Ertsberg tahun
1936 menjadi awal dari bencana kemanusiaan di Papua masa kini. Perlu
diingat bahwa Papua tidak serta merta menjadi bagian Indonesia setelah
kemerdekaan de facto pada 1945 –
seperti halnya orang-orang di pulau cenderawasih itu tidak menjadi
bagian dari proses pembangunan nasionalisme Indonesia pada 1928. Belanda
mempertahankan Papua dengan sengit dalam perundingan Meja Bundar 1949,
dan memulai 10 tahun proses Papuanisasi di tahun 1957, dan untuk pertama
kalinya bendera bintang kejora berkibar pada 1 Desember 1961.
Erstberg yang sempat
terbengkalai selama 20 tahun mulai diperhatikan kembali setelah
diketemukan juga cadangan emas di sekitar laut Arafura. Dan Freeport
McMoran Copper and Gold dari Amerika Serikat turut mengambil kesempatan
secara langsung bekerjasama dengan Soeharto untuk menyelidiki Erstberg.
Dalam situasi demikian New York Agreement 15 Agustus 1962 dilahirkan,
dan UNTEA menyerahkan administrasi Papua (saat itu West New Guinea) pada
Indonesia.[23] Hasilnya
“integrasi” Papua ke Indonesia, di bawah todongan senjata, melalui apa
yang dianggap sebagai jajak pendapat rakyat (Pepera) 1969, hanya diikuti
sekitar 1024 orang Papua dewasa dari 815.000 penduduk Papua dewasa saat
itu.
Kita ingat dua tahun
sebelum Pepera, justru UU PMA No 1 1967 telah lahir dan PT. Freeport
mendapat berkah kontrak eksplorasi penuh di Erstberg Papua. Dalam
konteks politik Indonesia, peristiwa ini dapat terjadi setelah Suharto
Orde Baru berhasil menjadi pemenang dari malapetaka pembantaian tak
kurang dari 1 juta manusia pendukung Soekarno dan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Bagaimana mungkin suatu kontrak eksplorasi sumberdaya
alam ditandatangani terhadap wilayah yang belum menjadi bagian Indonesia
secara hukum?
Dalam semua bisnis
ekonomi keruk inilah, sejak potensinya ditemukan tahun 1936 di areal
wilayah yang kini menjadi Papua, rakyat Papua asli telah sejak awal
ditinggalkan dan diabaikan. Korporasi-korporasi Indonesia, Amerika
Serikat, Belanda dan Inggrislah pemain-pemainnya, sementara di saat yang
sama wilayah-wilayah lain Indonesia juga menjadi permainan ekonomi
keruk negara-negara itu juga.
Pepera adalah tonggak
dimulainya penghancuran ekonomi dan sosial budaya masyarakat asli Papua.
Tak kurang dari 100.000 manusia Papua asli tewas dibunuh dalam berbagai
operasi pembersihan gerakan Papua Merdeka di berbagai wilayah Papua
sejak Orde Baru berkuasa.[24] Di
antara operasi militer terbesar yang pernah dilakukan adalah Operasi
Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa
(1969), Operasi Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1982),
Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu
Bersih (1985), Daerah Operasi Militer (1989-1998), dan pembatasan
kunjungan internasional sejak 2003.
Dalam latar semacam
itulah ekplorasi ekonomi keruk dan perampasan tanah orang asli Papua
menghebat. Pemodal-pemodal dari Amerika Serikat, Inggris, Australia,
Jepang, Cina, dan Indonesia sendiri bersaing memperebutkan kontrol
sumber alam Papua. Dan hasilnya, menurut laporan Forest Watch Indonesia,
dari 79,62 persen tutupan hutan Papua di tahun 2000-2009, 38,72 persen
telah mengalami deforestasi – terbesar dari semua wilayah.
Grasberg milik PT FI
adalah tambang emas terbesar di dunia. Manurut laporan tahun 2010,
keuntungan yang didapat PT FI sebesar Rp. 4000 trilyun. Terakhir
eksploitasi tambang ini sedang dalam pembicaraan untuk diperpanjang lagi
hingga 2041. Dari sejak empat dasawarsa beroperasi, total kontribusi
(royalti, deviden, PPH badan dan karyawan) yang dibayar FI pada
pemerintah hingga Juni 2011 sebesar 12,8 milyar USD.[25] Sementara
gaji karyawan hanya berkisar 3,5-5,5 juta rupiah. Daisy Primayanti,
kepala komunikasi korporat PT FI mengatakan bahwa produksi emas Gasberg
pada tahun produksi 2013 ditargetkan naik 39,2 persen menjadi 1,2 juta
ons dari sebelumnya 862 ribu ons. Sementara produksi tembaga 2013
dipatok meningkat menjadi 58,5 persen menjadi 1,1 milyar pound dibanding
sebelumnya 694 juta pound. Apakah artinya penjelasan seperti ini?
Berbicara tentang Freeport, bahkan juga tentang seluruh investasi raksasa ekonomi keruk Papua dalam roadmap MP3EI, tak bisa dilepaskan dari tinjauan sejarah, setting sosial
budaya dan ekologi serta dampak kemanusiaan yang terjadi hingga saat
ini. Oleh karena itu, tak dapat dibiarkan pembicaraan terkait ekonomi
ekstraktif ini menjadi sekadar kalkulasi dan bagi-keuntungan demi
pertumbuhan ekonomi belaka. Jelaslah bahwa sejarah masuknya Freeport
adalah jejak perampasan, pendudukan, dan kontrol terhadap tanah dan alam
orang-orang Amugme dan Komoro, menghancurkan ekonomi dan mata pencarian
masyarakat asli. Orang-orang Amugme dan Komoro terus tergusur dan
dipinggirkan secara ekonomi, politik, sosial dan budaya oleh invasi
kapital yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi di kota-kota yang
diciptakan oleh pertambangan dan infrastrukturnya, termasuk pemindahan
besar-besaran penduduk dari Jawa ke Papua oleh pemerintahan Orde Baru.
Di tahun 1990an di sekitar area tersebut populasinya membludak menjadi
lebih dari 60.000 orang, membuat Timika menjadi “zona ekonomi” yang
tumbuh paling cepat di seluruh nusantara.[26] Satu
persen royalti untuk masyarakat asli Papua yang diberikan PT FI pada
kenyataannya hanya kembang gula yang tidak jelas juntrungnya, dan pada
prakteknya justru ditujukan untuk memecah belah orang-orang Papua
sendiri.
Elit yang (di)Rusak
Otonomi khusus dan
pemekaran adalah penyumbang besar hancurnya mental para elit politik
Papua, disamping fondasi untuk tumbuh menjadi elit politik modern pun
tak pernah bisa berkembang di masa Orde Baru akibat persaingan dengan
orang-orang yang didatangkan (Amber atau pendatang). Dana-dana otonomi
khusus yang dikorupsi oleh para elit diberbagai jajaran birokrasi,
pertarungan primordial para calon kepala daerah dan pendukungnya
menjelang dan ketika pilkada berlangsung, gaya hidup pesta dan seks,
adalah citra yang diketahui umum dan semakin biasa dikalangan para elite
yang malas tau dan lebih suka bersantai di kota-kota, apalagi ke Jakarta.
Padahal UU Otsus
sebetulnya juga dapat memberi jembatan bagi elit-elit asli Papua untuk
berkonsolidasi karena kebijakan afirmatif yang mengijinkan pengutamaan
orang Papua di birokrasi pemerintah. Namun, terdapat masalah karena
proses Papuanisasi yang cepat sejak 1998 tidak menyediakan persiapan
untuk masa transisi. Akibatnya penerimaan pegawai, dan pengambilalihan
jabatan, sebagiannya mengabaikan aturan kepegawaian, jenjang karir dan
golongan, terutama kompetensi.[27] Disinilah cikal bakal keterpisahan yang semakin dalam antara para elit dan mayoritas orang Papua (rakyat kebanyakan).
Persoalan menjadi
bertambah runyam oleh percepatan pemekaran yang diinstruksikan oleh
Presiden Megawati lewat dekrit pada 23 Januari 2003, yang mengabaikan
mandat UU Otsus tentang syarat pemekaran mesti melalui pertimbangan MRP
dan persetujuan DPRP, membentuk dua Propinsi baru (Irian Jaya Barat dan
Irian Jaya Tengah), tiga kabupaten baru (Paniai, Mimika, dan Puncak
Jaya), dan satu kotamadya (Sorong). Dan ternyata, gagasan ini bukan
barang baru, karena di tahun 1999 gubernur (Freddy Numberi) dan tiga
wakil gubernur Papua waktu itu (John Djopari, Herman Monim, Abraham
Atururi) sudah mengusulkannya, dan mereka dijanjikan akan menjadi
gubernur di masing-masing calon propinsi pemekaran. Tapi janji itu tak
ditepati yang membuat beberapa diantara mereka frustasi.[28]
Motif pemekaran
selanjutnya, menurut International Crisis Group, adalah misi Badan
Intelejen Negara (BIN) yang didorong oleh orang Papua sendiri, Jimie
Ijie. Ia mengatakan Papua yang secara administratif tidak dipisah-pisah
akan memupuk nasionalisme Papua. Ia bersama 315 orang Papua kemudian
mendukung Ataruri merundingkan masalah tersebut dengan BIN dan
Departemen Dalam Negeri. Selain itu, bagi militer negara, pembentukan
propinsi dan kabupaten baru akan mensyaratkan peningkatan jumlah
pasukan, korem, juga kodim.[29]
Pemekaran kemudian
menyuburkan politik elit primordial yang berdampak adu domba antar
rakyat. Bagi sebagian elite Papua, Otsus dan pemekaran diinterpretasikan
sebagai keleluasaan untuk menentukan nasib sendiri atas dasar sentimen
etnis. Partai politik nasional hanya kendaraan taktis saja, walaupun
tidak bisa melepaskan dari kepentingan strategis partai-partai nasional
tersebut. Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil
Bupati di Papua harus berasal dari warga keturunan Papua asli membuat
putra-putra daerah tampil mau menjadi pemimpin, baik sebagai bupati,
legislatif, maupun kepala-kepala dinas. Mobilisasi massa yang dilakukan
oleh elite lokal sering terjadi dengan menggunakan politik
etnosentrisme.[30]
Muridan Widjojo, dalam
satu percakapan pribadi tertulis, mengatakan bahwa elit Papua berada
pada tahap obsesi kekuasaan tradisional kepala suku, dan konstituen
primodialnya yang dimainkan dalam arena demokrasi. Hasilnya, bupati
berperilaku bukan sebagai pejabat negara yang demokratis tetapi sebagai
kepala suku yang menguras sumber daya negara (kab/kota/provinsi) untuk
menjaga loyalitas konstituen primordialnya. Anggaran negara dilihat
sebagai sumber keuangan yang tiada habis, seperti alam Papua yang
menyediakan sagu dan binatang buruan tiada habisnya.
Lukas Enembe, Gubernur
terpilih Propinsi Papua, dari Partai Demokrat, adalah contoh paling gres
dari oportunisme. Ia dan jajarannya mengajukan Otonomi Plus (Mei 2013),
yang tidak berbasiskan evaluasi apapuan terhadap Otonomi Khusus maupuan
UP4B. Proposal yang paling mengemuka adalah prosentase pengelolaan dana
yang lebih besar bagi daerah, tanpa punya kesimpulan kemana saja
trilyunan dana otonomi khusus selama ini mengalir, serta janji grasi
bagi para Tapol—padahal sudah pernah diiming-imingi SBY bertahun-tahun
lalu, namun sudah ditolak oleh para Tapol—yang sampai saat ini belum
satu suarapun keluar dari pihak pemerintah. Di saat yang sama, banyak
orang-orang Papua yang juga mempercayai Enembe karena ia pandai
memainkan sentimen dan harapan orang Papua terhadap kemerdekaan. Begitu
ia dilantik ia mengatakan ‘tidak perlu ada dialog, karena saya ada
hubungan telepon langsung dengan kelompok TPN/OPM.’ Ia juga mengatakan,
dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan NKRI 1945 ‘SBY punya hadiah
khusus.’[31]
Momen-momen ini telah
dan sedang mencipatakan kekecewaan mendalam rakyat Papua sekaligus
ketidakpercayaan yang memang sudah tersebar luas terhadap orang-orang
Papua (khususnya para legislator) yang masuk jalur formal dan terkena
‘virus Indonesia.’[32] Disinilah peran penting elemen-elemen pemuda-mahasiswa progresif yang tumbuh seiring, maupun pasca, Papuan Spring (momen
ketika tim 100 mendatangai Habibie hingga Kongres II Rakyat Papua tahun
2000). Elemen-elemen muda ini tidak terkait atau sedang membuat jarak
dengan para elit yang terkena ‘virus (elit) Indonesia’ itu. Sebagain
dari mereka besar bersama dan mendapat insipirasi dari perjuangan
teman-teman Indonesia mereka dan teman-teman di luar negeri. Mereka
bekerja untuk menegakkan HAM, hak-hak lingkungan, masyarakat adat, dan
juga penentuan nasib sendiri.
Namun demikian,
terobosan politik dan hegemoni politik masih dipegang oleh para elit
Papua korup yang dipelihara oleh elit Indonesia yang tak kalah korupnya.
NKRI belum final, bukan harga-mati!
Pelanggaran HAM terhadap
orang asli Papua terus terjadi dalam berbagai bentuk yang paling jahat:
penyiksaan, pemerkosaan, diskriminasi, penyingkiran, pembunuhan,
penghilangan paksa, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, pengawasan
dan pengancaman, serta penutupan ruang demokrasi yang parah, menghambat
akses untuk duduk di perwakilan, penghancuran sumber-sumber kehidupan
mereka, kejahatan terhadap hak-hak kebudayaan dan spiritualitas lokal,
serta pemindahan paksa komunitas-komunitas masyarakat.
Sebagian besar dari
kejahatan ini – termasuk yang menyebabkan kerusakan lingkungan
–merupakan produk dari operasi pertambangan PT Freeport. Dan kejahatan
lainnya – seperti kekerasan – adalah hasil dari penggunaan kekuatan
militer Indonesia terhadap rakyat Papua. Saat ini tak satupun data bisa
dengan terang menunjukkan berapa sesungguhnya tentara Indonesia yang
ditempatkan di Papua. Yang pasti tentara organik dan non organik
bertambah, pos-pos tentara dan komando teritorial bertambah,[33] orang-orang
yang dibunuh, dipenjarakan karena sikap politik, hak berekspresi dan
berkumpul, juga bertambah. Sejak tahun 2003, sebanyak 40 orang sudah
dipenjarakan karena sikap politik, dan sejak 1 Mei 2013 bertambah lagi
setidaknya 30 orang ditangkap dan dibui sebagai tahanan politik.[34] Hingga saat ini, 22 orang sudah ditahan atas tuduhan makar, 3 orang dibebaskan, dan 7 lainnya belum diketahui statusnya.[35] Reformasi yang sudah berlangsung 15 tahun di Indonesia, sama sekali tidak berlaku di Papua.
Dari berbagai fakta ini,
tidak ada kerugian sebetulnya jika kita mengakui bahwa NKRI sama sekali
belum selesai. Lima puluh tahun Papua bersama Indonesia, yang sudah
mengorbankan ratusan ribu nyawa, bahkan beberapa suku/marga yang
dimusnahkan karena terkait Organisasi Papua Merdeka,[36] stigmatisasi
separatis pada semua yang melawan pemerintah Jakarta, tidak juga bisa
menghentikan suara-suara yang menuntut penentuan nasib sendiri. Adriana
Elisabeth, peneliti LIPI yang turut menjadi bagian tim penyusunan Road Map Papua, pun sudah mengakuinya: NKRI belum final ditinjau dari kompleksitas masalah Papua.[37]
Dari sudut pandang
perjuangan demokrasi Indonesia, turunnya Soeharto sekaligus juga
bermakna menilai kembali ke-Indonesiaan kita yang sejak 1965-1966 hingga
1998 dipelihara melalui rasa takut, anti perbedaan, anti-ideologi,
militerisme, anti separatisme, bahkan anti-politik. Papua adalah bintang
kejora di ujung Timur yang justru akan mengubah perspektif kita atas
bangsa Indonesia yang kita kenal melalui versi Orde Baru. Memperjuangkan
masa depan Papua menghendaki keadilan dalam melihat sejarah,
menyingkirkan prasangka-prasangka ras yang mungkin dihidupkan dalam
pikiran kita. Dan satu gerakan solidaritas dari orang-orang Indonesia
yang mencintai kemanusiaan Papua adalah langkah penting untuk memulai
proses itu. Pembangunan gerakan Solidaritas Aceh-Papua di masa 2003-2004[38] adalah sebuah contoh yang baik, yang semestinya dapat dilakukan lagi.
Namun kesulitan utama
yang sedang menghadang saat ini adalah kembalinya militerisme ke atas
panggung politik Indonesia. Semakin meredupnya solusi dialog
Jakarta-Papua dalam kerangka Papua damai yang diusung Jaringan Damai
Papua (JDP) adalah konsekuensi dari ketidakberdayaan semua elite sipil
Indonesia era reformasi terhadap politik militer, termasuk sebagian
aktivis mahasiswa 1998, sehingga bangkitnya kembali para Jenderal Orde
Baru. ***
Zely Ariane, koordinator National Papua Solidarity (NAPAS) dan anggota Politik Rakyat
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Politik Rakyat. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.
Kepustakaan:
Al Rahab, Amiruddin (2000), Heboh Papua, Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme (Jakarta: Komunitas Bambu).
Haluk, Markus (2013), Mati atau Hidup: Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Azasi Manusia di Papua (Jayapura, Papua: Honai Centre dan Penerbit Deiyai).
Widjojo, Muridan (2009), Papua Road Map, Negotiating the Past, Improving the Present, and Securing the Future (Jakarta: YOI, LIPI, Tifa Foundation).
Yoman, Socratez Sofyan (2011), West Papua: Persoalan Internasional (Numbay/Jayapura: Cendrawasih Press).
_________
[1] ‘…Di
Timor-Timur, rakyat Maubere tidak pernah berhenti melawan peyerbuan
militer dan penjajahan oleh rezim Orde Baru; rakyat Aceh dan Papua Barat
menuntut hak penentuan nasib sendiri.’ Pembukaan Manifesto Partai
Rakyat Demokratik, paragraf 7: http://www.prd.or.id/organisasi/dokumen-sejarah-prd/20110513/manifesto-partai-rakyat-demokratik-lama.html diakses 26 Mei 2013.
[2] Gus Dur Bapak Demokrasi Papua: http://www.jpnn.com/berita.detail-57061, diakses 27 Mei 2013.
[3] ‘The
root of the problem in Papua is trust. Jakarta clearly distrusts
Papua, and vice versa,’ Frans Maniagasi, intelektual Papua dari Pokja
Papua: http://lists.topica.com/lists/indonesia-act@igc.topica.com/read/message.html?mid=810266059&sort=d&start=22621/
[4] http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2010/08/16/1457.html, diakses pada 27 Mei 2013.
[5] Sesuai
dengan perjanjian New York (New York Agreement), Belanda menyerahkan
administrasi wilayah New Guinea Barat ke suatu badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) bernama: United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA), yang kemudian diserahkan ke Indonesia pada 1 Mei
1963. Empat poin Perjanjian New York (New York Agreement) tersebut
antara lain: Penyerahan tersebut terbatas pada “tanggung jawab
administrasi seluruhnya,” bukan penyerahan kedaulatan (Pasal XIV);
selama periode transisi, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk
menjalankan ‘intensifikasi terhadap pendidikan rakyat, memberantas buta
huruf, dan pemajuan pembangunan ekonomi, sosial dan kebudayaan’ (Pasal
XV); di akhir tahun 1969, di bawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB,
diselenggarakan the act of free choice bagi
rakyat Papua untuk menentukan status politiknya “apakah mereka hendak
tetap bersama Indonesia atau mereka memutuskan ikatan mereka dengan
Indonesia (Pasal XVIII); Indonesia ‘akan menghormati komitmen tersebut’
(Pasal XXII paragraf 3) untuk menjamin sepenuhnya hak rakyat Papua,
termasuk hak-hak atas kebebasan berpendapat dan kebebasan berkumpul dan
melakukan pergerakan (Artikel XII paragaf 1).
[6] Paradigma Papua bagi Solusi Damai: http://cetak.shnews.co/web/read/2013-05-03/11659/paradigma.papua.bagi.solusi.damai..#.UaQiOtI3BEo diakses 28 Mei 2013.
[7] 4 Pelanggaran HAM di Kongres Rakyat Papua III: http://news.detik.com/read/2011/11/04/125200/1760261/10/4-pelanggaran-ham-di-kongres-rakyat-papua-iii diakses 28 Mei 2013.
[8] Total
dana Otsus menurut laporan Forum Kerjasama LSM Papua hingga tahun 2010
berkisar 18,81 trilyun. Tentang total dana Otsus ditambahkan dana
bantuan infrastruktur sejak tahun 2011, lihat di:http://suaraperempuanpapua.org/index.php?option=com_content&view=article&id=967:dana-otsus-harus-dipisahkan-dalam-apbd-papua-&catid=27:berita-hari-ini&Itemid=60 danhttp://nasional.kompas.com/read/2011/10/28/13333787/Dana.Otsus.Papua.2012.Naik
[9] Pernyataan tertulis Okto Mote pada Komisi HAM Tom Lantos pada hearing tentang situasi HAM Indonesia:http://wpan.wordpress.com/2013/05/27/written-statement-of-mr-octo-mote-to-tom-lantos-human-rights-commission-hearing-on-human-rights-in-indonesia-23-may-2013/
[10] Dikutip dari Jim Elmslie, ‘West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?’ http://sydney.edu.au/arts/peace_conflict/docs/working_papers/West_Papuan Demographics_in_2010_Census.pdf (diakses 28 Mei 2013).
[11] Penderita HIV/AIDS di Papua tembus 13.000 orang: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/375404-penderita-hiv-aids-di-papua-tembus-13-ribu-orang
[12] Isu Menonjol Masalah Kesehatan di Papua HIV/AIDS dan Malaria: http://www.up4b.go.id/index.php/prioritas-p4b/6-kesehatan/item/214-isu-menonjol-kesehatatan-di-papua-hiv-aids-malaria
[13] Laporan koresponden NAPAS di Kwor, Kab. Tambrauw.
[14] Laporan kunjungan Pastoral di Stasi Samenage Paroki Hepuba Keuskupan Jayapura, Maret 2013.
[15] Dokumentasi dan Laporan koresponden NAPAS.
[16] Lihat di: http://www.slideshare.net/uppppb/peran-up4b-dalam-percepatan-pembangunan-papua-dan-papua-barat
[17] Bisa diakses di: http://www.aldp-papua.com/dokumen/
[18] Lihat Siti Maemunal, ‘MP3EI dan Keselamatan Rakyat,’ http://indoprogress.com/mp3ei-dan-keselamatan-rakyat/
[19] Sebuah
studi panjang dari sosiolog dan pemerhati ekonomi politik Amerika Latin
terkemuka James Petras, terhadap manfaat investasi asing di
negara-negara Amerika Latin, menunjukkan hal sebaliknya. Dalam
studinya, Six Myths About the Benefits of Foreign Investment
The Pretensions of Neoliberalism (2006),
Petras merangkum temuannya itu sebagai berikut: (1) mitos bahwa
investasi asing akan menciptakan perusahaan-perusahaan baru, memperluas
pasar atau merangsang penelitian dan pengembangan teknologi ‘know-how’
lokal yang baru; (2) mitos bahwa investasi asing akan meningkatkan daya
saing industri ekspor, dan merangsang ekonomi lokal melalui pasar kedua
(sektor keuangan) dan ketiga (sektor jasa/pelayanan); (3) mitos bahwa
investasi asing akan meningkatkan pajak pendapatan dan menambah
pendapatan lokal/nasional, serta memperkuat nilai mata uang lokal untuk
pembiayaan impor; (4) mitos bahwa pembayaran utang adalah esensial untuk
melindungi keberadaan barang-barang finansial di pasar internasional
dan mengelola integritas sistem keuangan; (5) mitos bahwa sebagian besar
negara-negara Dunia Ketia tergantung pada investasi asing untuk
menyediakan kebutuhan modal bagi pembangunan karena
sumberdaya-sumberdaya lokal tidak tersedia atau tidak mencukupi; (6)
para penganjur investasi asing berargumen bahwa sekali investasi asing
masuk, maka hal itu akan menjadi batu alas bagi masuknya investasi lebih
banyak lagi, yang selanjutnya menjadi tiang yang kokoh bagi pembangunan
ekonomi keseluruhan. Fakta-fakta di Amerika Latin mengkonfirmasi
mitos-mitos tersebut. Lihat: http://indoprogress.com/enam-mitos-keuntungan-investasi-asing/ danhttp://monthlyreview.org/2006/04/01/neoliberalism-myths-and-reality
[20] MP3EI dan UP4B Strategis Atasi Persoalan Papua: http://www.jurnas.com/halaman/4/2011-11-10/188516
[21] Korupsi di Papua: http://infokorupsi.com/id/geo-korupsi.php?ac=481&l=papua
[22] Timmer, Jaap, Desentrasilasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua, 2007, hal: 603.
[23] NAPAS
Mengecam Pelarangan Peringatan 50 Tahun pemindahan administrasi West
Papua Guinea dari UNTEA ke Indonesia pada 1 Mei 1963: http://infonapas.blogspot.com/2013/04/1-mei-biarkan-rakyat-papua-berekspresi.html.
[24] West Papua: A History of Exploitation:http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2011/08/201182814172453998.html
[25] Keuntungan Freeport Rp. 4000 Trilyun, negara dapat 1%nya:http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=18&newsnr=4975
[26] Lihat www.culturalsurvival.org
[27] Papua Road Map, hal 62-63
[28] Timmer, Jaap, op/cit., hal: 606.
[29] Timmer, Jaap, Ibid., 607.
[30] Lefaan, Avelinus, Etnosentrisme dan dan Politik Representasi di Era Otonomi Khusus Papua, Ringkasan Disertasi Program Studi Kajian Budaya dan Media, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2012.
[31] Lihat http://papuapost.com/editorials/mimpi-gubernur-lukas-enembe-dan-harga-sebuah-perjuangan-bangsa-untuk-bebas-dari-penjajahan/
[32] Timmer, Jaap, op.cit., hal: 607.
[33] Kesimpulan riset kebijakan keamanan militer di Papua dan implikasinya terhadai HAM:http://www.imparsial.org/id/2010/executive-summary-penelitian-papua-tahun-2011-kebijakan-keamanan-militer-di-papua-dan-implikasinya-terhadap-ham.html
[34] Laporan koresponden NAPAS, 30 April – 22 Mei 2013.
[35] Killings, injuries and arrests of peaceful protestors: 1 May Papua commemoration:http://tapol.org/sites/default/files/TAPOL%20Briefing%2016%20May%202013.pdf
[36] Laporan internal koresponden NAPAS.
[37] Buletin Satu Papua edisi I, diterbitkan oleh National Papua Soldidarity (NAPAS):https://docs.google.com/file/d/0Bx_VPR19e4LwbTFnNGd0U2hCZEk/edit
[38] Aksi pertama Solidaritas Aceh Papua (SAP) di Jakarta, 8 November 2003:http://www.geocities.ws/achehnews/acheh_papua.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar