Ilustrasi, Penolakan Pemekaran Di West Papua (foto,Umagi) |
Pemekaran di Indonesia, khususnya di Papua membunuh
generasi-generasi penerus bangsa. Generasi penerus bangsa habis hanya karena
kepentingan pribadi, kepentingan politik, kepentingan ekonomi dan juga untuk
kepentingan tertentu lainnya. Dari kepentingan-kepentingan inilah melahirkan
konflik. Tentu ada dampak positif tetapi tidak banyak, sedikit.
Makna
Pemekaran Daerah
Di tengah era globalisasi ini, istilah pemekaran daerah
sudah tidak menjadi kata yang asing lagi untuk kita. Kata pemekaran ini selalu kita
dengar dimana-mana dalam kehidupan sehari-hari. Pemekaran daerah merupakan
bagian dari otonomi daerah setempat.
Secara etimologi, kata pemekaran berasal dari kata, mekar. Di
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa pertama, Mulai berkembang;
Kedua, Menjadi bagus; Ketiga, Berkembang menjadi banyak. Namun makna dari
pemekaran menjadi masalah karena tidak relevan dengan makna pemekaran daerah
yang kenyataannya menjadikan wilayah yang kecil.
Hal ini pula dikatakan dalam PP No. 78. Tahun 2007 tentang
Tata Cara Pembentukan Daerah bahwa pemekaran juga merupakan pemecahan dari
provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau bahkan lebih.
Pemecahan
dari satu provinsi atau kabupaten/kota jika memenuhi persyaratan yaitu sumber
daya alamnya cukup dan sumber daya manusianya cukup dan mandiri.
Pemekaran
daerah otonomi baru mulai termasyur sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1999
tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004. Dengan
demikian, pemekaran daerah di Indonesia merupakan pembentukan wilayah administratif baru di
tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya demi pengembangan SDM
(Sumber Daya Manusia) dan juga karena tersedianya SDA (Sumber Daya Alam).
Pemekaran Kabupaten di Papua Meningkat
Pada tahun-tahun belakangan ini pemerintah Indonesia hanya
begitu saja memberikan pemekaran kabupaten di Papua sebanyak 29 kabupaten pemekaran
baru dari induknya mulai dari tahun 1993-2012. Dan, rencananya pada tahun
2013/2014 ini pemerintah Indonesia sudah siap memberikan pemekaran daerah
otonomi baru sebanyak 25 kabupaten dan
beberapa provinsi di Papua dan Papua Barat yang terlepas dari induknya.
Dengan melihat realitas pemekaran-pemekaran secara bebas
tanpa mengatasi konflik-konflik yang sudah terjadi, yang sedang terjadi dan
yang akan terjadi dari setiap pemekaran ini, maka tentu saja akan menciptakan
konflik antar Suku, Agama, Ras dan adat istiadat (SARA) demi kepentingan
politik, kepentingan pribadi, kepentingan jabatan dan kepentingan tertentu
lainnya.
Tanah Papua merupakan wilayah pemekaran terbanyak di
Indonesia. Melalui pemekaran-pemekaran yang dilakukan pemerintah menciptakan
manusia statis. Kestatistisan membuat rakyat tidak bisa bekerja karena
pemberiaan uang secara brutal, tanpa tujuan yang jelas dan darimana uang-uang
tersebut datang.
Pemerintah membuat
rakyat hanya memfokuskan diri pada uang, bergerak sedikit uang, bernafas uang
dan berpikir pun uang. Pada hal kita
tahu bahwa manusia sebelumnya hidup damai, tenang, bahagia, kerja keras, gotong
royong, hidup mandiri dan pada umumnya jika tidak bekerja berarti tidak akan
makan.
Tetapi dengan daerah pemekaran kabupaten baru membunuh
masyarakat kecil. Kita sering mendengar, masyarakat berkata, "Gaji perbulanan sudah
disediakan oleh pemerintah, beras sudah disediakan oleh pemerintah dan dana
Otonomi Khusus sudah ada. Jadi untuk apa kita harus berusaha berjuang."
Ungkapan tersebut keluar dari kaum anak-anak, remaja,
dewasa, dan orang tua yang sudah selesai pendidikan maupun yang belum
berpendidikan pada umumnya di pelosok Papua. Dengan demikian, terjadilah
pemekaran kabupaten dan pemekaran konflik. Banyak bermunculan kekerasan,
pembunuhan, pemerkosaan, penindasan, pencurian, kriminal di mana-mana khususnya
di tempat-tempat pemekaran kabupaten baru di Papua dan di Indonesia secara umum.
Dampak
Pemekaran Kabupaten
Dampak negatif yang dialami dan dirasakan dari
pemekaran-pemekaran ini adalah sebagai berikut.
Pertama, Sumber Daya Manusia (SDM) seperti; pendidikan,
kesehatan, ekonomi menjadi nomor dua dibandingkan dengan pembangunan-pembangaunan bersifat material
yang sangat banyak. Tetapi, tidak memberdayakan manusia yang berkualitas. Misalnya
bangunan pendidikan dimana-mana, tetapi tidak ada guru atau pengajar di sekolah.
Kedua, Sumber Daya Alam (SDA) seperti flora dan fauna di laut maupun di daratan
sudah habis. Ketiga, Tidak membangun dengan sepenuh hati seperti kesehatan,
pendidikan, sosial, budaya. Keempat, Ruang gerak masyarakat dipersempit oleh
para TNI/POLRI di seluruh pelosok Papua. Kelima, Kebudayaan atau kebiasaan
masyarakat dalam kehidupan sudah hilang lenyap. Keenam, banyak bermunculan
budaya modern seperti HIV/AIDS, minuman keras, kriminal yang semakin banyak.
Dampak positif dari pemekaran adalah sebagai berikut. Pertama,
merangkul dan mempermudah komunikasi antar pemerintah dan masyarakat dari
daerah-daerah terpelosok. Kedua, membuka
daerah tertinggal melalui pembangunan seperti jalan, jembatan dan cara
pengaturan kota.
Dengan demikian, pemekaran daerah baru seperti kabupaten,
kota dan provinsi merupakan salah satu program yang dirancang sedemikan rupa
untuk menghilangkan ras Malanesia Papua yang dipelopori oleh pemerintah pusat,
Jakarta. Hal ini diperantarai oleh kaum politik lokal demi Alam Papua dan
Manusia Papua.
Pembangunan-pembangunan yang bersifat material tidak akan
menjamin manusia Papua sebelum Sumber Daya Manusianya (SDM) dan Sumber Daya
Alamnya (SDA) tidak diperhatikan dengan hati. Karena tidak memberdayakan
kebiasaan hidup masyarakat seperti cara bertani, cara berkebun, cara bernelayan
dan cara beternak.
Selanjutnya ada lima konflik besar karena adanya pemekaran
daerah otonomi baru yaitu; pendidikan, kesehatan, kemiskinan, ekonomi dan
sosial-budaya. Maka pertanyaan mendasarnya adalah apakah melalui
pemekaran-pemekaran ini pemerintah akan duduk, tinggal, makan dan berbicara
bersama masyarakat pribumi Papua dan alam Papua demi perubahan?.
Oleh karena itu, jangan ada pemekaran kabupaten, kota dan
provinsi baru di Papua karena pemekaran-pemekaran baru akan menciptakan konflik
yang bertumpuk-tumpuk, padahal sampai saat ini konflik yang sudah ada saja
tidak bisa diatasi oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat (Jakarta).
Baik itu konflik (SDM) Sumber Daya Manusia, (SDA) Sumber Daya Alam di Papua dan
Papua Barat.
Pemekaran kabupaten, kota dan provinsi dimana-mana membuka
ruang pemekaran konflik di atas tanahnya sendiri. Konflik yang akan terjadi di
depan mata kita jika kita membiarkan pemekaran kabupaten, kota dan provinsi di
tanah Papua.
Semuanya ini hanya demi kepentingan pribadi dan kepentingan
tertentu. Tetapi jalan keluarnya adalah kita merehap kembali pemekaran
kabupaten, kota dan propinsi induk yang sudah ada demi manusia Papua dan alam
Papua tanpa membuat pemekaran-pemekaran yang baru lagi. Stop, stop, stop!.
Penulis adalah Silvester Bobii Mahasiswa
Pada STFT Fajar Timur Abepura Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar