Aksi KNPB di Jayapura West Papua, meminta Fredoom Bagi Rakyat Papua Barat(Foto, Ist/Kobogaunews) |
Oleh : Ones Nest Gimbal #
Bangsa Papua Yang berdomisili di
wilayah tritorial west Papua sorong sampai merauke adalah orang Melanesia tidak
bisa disama dengan ras lain di asia tenggra termasuk Indonesia yang merupakan
ras melayu. Bangsa Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1961, telah Mendeklarasikan manivesto politik
untuk membentuk sebuah negara yang merdeka dan berdaulat penuh sebelum
indonesia ada di Papua Barat.
Manivesto Politik atau
kemerdekaanya dilakukan dibawah tanggung jawab pemerintah Kerajaan Nederland
sebagai Pemerintah Kolonial sehingga Wilayah West Papua adalah wilayah bekas
jajahan Pemerintah Kerajaan Nederland. Namun Niat baik pemeritah Kerajaan Nederland
untuk mempersiapkan orang papua Barat membentuk sebuah negara itu digagalkan
oleh pemrintah indonesia Trikora pada tanggal 19 Desember 1961 mencaplok
wilayah Papua Barat atas kepentingan dan persengkongkolan Kapitalisme amerikan
serikat untuk menguasai sumber daya alam di Papua Barat
sejarah pahit bagi Rakyat Bangsa
Papua barat adalah Perjanjian New York Agreement dan Roma Agreement yang tidak
melibatkan Bangsa Papua pada hal Perjanjian-perjanjian tersebut adalah
keberlansungan hidup Bangsa Papua. PEPERA yang dimulai pada 14 juli 1969 adalah
kegiatan illegal NKRI diatas Bangsa Papua. Karena PEPERA yang penuh teror,
intimidasi dan manipulasi terhadap Rakyat Bangsa Papua melalui kekuatan Militer
NKRI itu di lakukan hanya menutupi mata Dunia bahwa masalah papua telah
selesai. namun bagi rakyat Bangsa PApua Barat Solusi Terbaik Penyelesaian
Masalah Papua Barat adalah Berikan kebebasan dan hak Penentuan Nasib Sendiri
sebagai Solusi demokratis bagi Rakyat Bangsa PApua Barat. Masa depan Bangsa
Papua dikorbankan dengan tidak diikut sertakannya rakyat Papua Barat sebagai
subjek masalah di dalam Konferensi Meja Bundar, New York Agreement yang
mendasari Act of Free Choice, semua ini difasilitasi oleh PBB.
Rakyat Papua Barat memiliki
sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda dan
Jepang. Karena gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, lahir pada awal tahun
1940-an aktif menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki garis
komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan Koreri, di
bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita Manufandu, lahir berdasarkan
kesadaran pribadi bangsa Melanesia untuk memerdekakan diri di luar penjajahan
asing. Pada Konferensi Meja Bundar (24 Agustus - 2 November 1949) di kota Den
Haag (Belanda) telah menyefakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia
bahwa Papua Barat tidak merupakan bagian dari negara Republik Indonesia Serikat
(RIS). Status Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian.
Rakyat Papua Barat, melalui
pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah menyampaikan berbagai pernyataan
politik untuk menolak menjadi bagian dari RI. Frans Kaisiepo, bekas gubernur
Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan
jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder
in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks, tokoh populer rakyat Papua
Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap
masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery
Society).
Wilayah Papua Barat pernah
mengalami proses dekolonisasi di bawah pemerintahan Belanda. Papua Barat telah
memiliki bendera nasional Bintang fajar memiliki lagu Kebangsaan Hai Tanahku
Papua sebagai lagu kebangsaan dan nama negara Papua Barat. Simbol-simbol
kenegaraan disiapkan oleh Komite Nasional Papua (KNP) sekarang yang kita kenal
hari ini dengan nama Komite Nasional Papua Barat (KNPB), simbol negara ini
ditetapkan oleh New Guinea Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada
tanggal 5 April 1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama
dengan pemerintah Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah
diakui oleh seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei
1963, Papua Barat merupakan daerah perwalian PBB di bawah United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua
Barat merupakan daerah perselisihan internasional (international dispute
region). Kedua aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik
internasional dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan
sejarah Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan
sejarah.
Pepera pada tahun 1969 di Papua
Barat yang hasilnya diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB. Beberapa negara
anggota PBB tidak setuju dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) karena
hanya merupakan hasil rekayasa pemerintah Indonesia. Adanya masalah Papua Barat
di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi nilai sejarah Papua Barat di
dunia politik internasional. Ketidak setujuan beberapa anggota PBB dan
kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera merupakan motivasi untuk menuntut
agar PBB kembali memperbaiki sejarah yang salah. Kesalahan itu sungguh
melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri.
Masa depan Bangsa Papua
dikorbankan dengan tidak diikut-sertakannya rakyat Papua Barat sebagai subjek
masalah di dalam Konferensi Meja Bundar, New York Agreement yang mendasari Act
of Free Choice, Roma Agreement dan lain-lainnya merupakan pelecehan hak
penentuan nasib sendiri yang dilakukan oleh pemerintah (state violence) dalam
hal ini pemerintah Indonesia dan Belanda. Rakyat Papua Barat tidak diberi
kesempatan untuk memilih secara demokratis di dalam Pepera. Act of Free Choice
disulap artinya oleh pemerintah Indonesia menjadi Pepera.
Di sini terjadi manipulasi
pengertian dari Act of Free Choice (Ketentuan Bebas Bersuara) menjadi Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera). Ortiz Sans sebagai utusan PBB yang mengamati jalannya
Pepera melaporkan bahwa rakyat Papua Barat tidak diberikan kebebasan untuk
memilih. Ketidakseriusan PBB untuk menerima laporan Ortiz Sans merupakan
pelecehan hak penentuan nasib sendiri. PBB justru melakukan pelecehan HAM
melawan prinsip-prinsipnya sendiri. Ini merupakan motivasi di mana rakyat Papua
Barat akan tetap berjuang menuntut pemerintah Indonesia, Belanda dan PBB agar
kembali memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu.
Sejak pencaplokan pada 1 Mei
1963, pemerintah Indonesia selalu berpropaganda bahwa yang pro kemerdekaan
Papua Barat hanya segelintir orang yang sedang bergerilya di hutan. Tapi,
Gerakan Juli 1998 membuktikan yang lain di mana dunia telah menyadari bahwa
jika diadakan suatu referendum bebas dan adil maka rakyat Papua Barat akan
memilih untuk merdeka di luar Indonesia.
Rakyat Indonesia pun semakin
menyadari hal ini. Rakyat Papua Barat menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa
yang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua Barat. Kesadaran tersebut
tetap menjadi kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat Papua Barat memiliki
identitas tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Di samping itu,
penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah dasar
perjuangan, merupakan akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme
Indonesia.
Perlawanan menjadi semakin keras
sebagai akibat dari (1) penindasan yang brutal, (2) adanya ruang-gerak yang
semakin luas di mana seseorang dapat mengemukakan pendapat secara bebas dan (3)
membanjirnya informasi yang masuk tentang sejarah Papua Barat.
Rakyat Papua Barat semakin
mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Menurut catatan sementara, diperkirakan
bahwa sekitar 400 ribu orang Papua telah meninggal sebagai akibat dari dua hal
yaitu kebrutalan ABRI dan kelalaian politik pemerintah. Sadar atau tidak,
pemerintah Indonesia telah membuat sejarah hitam yang sama dengan sejarah
Jepang, Jerman, Amerikat Serikat, Yugoslavia dan Rwanda. Kesadaran merupakan
basis untuk mentransformasikan realitas, sebagaimana almarhum Paulo Freire
(professor Brasilia dalam ilmu pendidikan)menulis. Semangat juang menjadi kuat
sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Sejarah Papua Barat telah
menjadi kuat, sarat, semakin terbuka dan kadang-kadang meledak. Perjuangan
kemerdekaan Papua Barat tidak pernah akan berhenti atau dihentikan oleh
kekuatan apa pun kecuali ketiga faktor (hak, budaya dan latarbelakang sejarah)
tersebut di atas dihapuskan keseluruhannya dari kehidupan manusia bermartabat.
Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi negara tetangga yang baik dengan Indonesia. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi bagian yang setara dengan masyarakat internasional.
Pemerintah Republik Indonesia
tidak menghormati hak penetuan nasib sendiri bangsa West Papua dan memanipulasi
laporan pelaksanaan penentuan nasib sendiri 1969 kepada Perserikatan Bangsa
Bangsa sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi nomor
2504 yang menyatakan menerima hasil pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat dan
Resolusi 2504 telah digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk
menangkap, menyiksa dan membunuh rakyat pribumi West Papua serta
mengeksploitasi Sumber daya Alam West Papua tanpa hak dengan kekuasaannya.
Pemerintah Republik Indonesia
adalah Pemerintah Kolonial yang mengambil alih administrasi Pemerintahan
Kolonial Kerajaan Nederland di West Papua melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa.
West Papua adalah persoalan
International dan merupakan persoalan Hukum International dimana, Pelaksanaan
PEPERA 1969 oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Perjanjian New York
15 Agustus 1962 telah melanggar dan mencabut hak bangsa West Papua untuk
Menentukan Nasib Sendiri, maka Pelaksanaan PEPERA 1969 berdasarkan Perjanjian
New York 1962 Tidak Sah atau Cacat Hukum dan harus Digugat kehadapan Mahkamah
Internasional atau International Court of Justice. ‘
Penyelesaikan status West Papua
harus sesuai dengan standart - standart Hak Asasi Manusia, Prinsip-prinsip
Hukum International dan Piagam PBB. Pandangan ini sekaligus sebagai Kebijakan
Politik Luar Negeri perjuangan bangsa West Papua dan Menyetujui Referendum
sebagai format penyelesaian persoalan politik bangsa West Papua.
Dengan demikian mengingat Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
nomor 1514 tentang Pemberian Kemerdekaan kepada rakyat dan wilayah jajahan,
Prinsip-prinsip Hukum International, Standart-standart Hak Asasi Manusia,
Keputusan Konferensi Meja Bundar di Denhag Tahun 1949, Sidang Nieuw Guinea Raad
Tahun 1961 Perjanjian New York 1962,
Pelaksanaan PEPERA 1969 dan Resolusi PBB No 2504 yang menyatakan PBB Menerima
Hasil Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang cacat hukum dan moral.
Maka Organisasi Perjuangan Papua yang ada memiliki tanggung jawab dan kewajiban memperhatikan tuntutan masyarakat pribumi West Papua atas hak Penentuan Nasib Sendiri berdasarkan prinsib-prinsib Hukum Internasional, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia karena Hak Menentukan Nasib Sendiri masyarakat pribumi West Papua belum dilaksanakan sebagaimna yang diatur dalam Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962 yang ditandatangani oleh Pemerintah Kerajaan Nederland dan Pemerintah Republik Indonesia selaku pembuat perjanjian.
Dengan memandang latar belakang Persoalan bangsa West Papua, maka Tingkatan Perjuangan Bangsa Papua di tingkat Internasional sangat mempengaruhui Perjuangan Hak Penentuan Nasib Sendiri didalam Negeri untuk menentukan roda Perjuangan Pembebasan Papua Barat secara total.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar