Aktivis dan warga kota London yang berdemonstrasi di depan Kedubes Indonesia di London, menuntut hak berdemokrasi untuk Tapol Papua (Dok Tapol) |
London, 2/4 (Jubi) – “Saya menghabiskan enam tahun di penjara
untuk menyerukan perlawanan atas ketidakadilan di Burma. Sekarang saya
berdiri di sini untuk memberikan solidaritas kepada kawan-kawan di Papua
yang mengalami hal yang sama”
Hari ini 100 orang demonstan meminta pembebasan segera terhadap tahanan politik di Papua dalam sebuah demonstrasi damai di luar Kedutaan Besar Indonesia di London yang diselenggarakan oleh TAPOL, Survival
Internasional dan Amnesty Internasional Inggris. Demonstran meminta
partai politik dan kandidat Presiden Indonesia untuk mendukung pemenuhan
hak berdemokrasi di Papua dalam menghadapi pemilihan umum nasional
untuk calon legislatif, minggu depan. Demonstrasi serupa juga
diselenggarakan di Skotlandia, Belanda, Australia, Selandia Baru dan
Papua.
Di Jayapura, sekitar pukul 10:00 pagi hari ini, polisi melepaskan
temabakan kepada peserta aksi damai yang meminta pemebebasan terhadap
tahanan politik Papua. Polisi menyebut mereka “monyet” dan dua orang
telah ditangkap. Laporan awal mengindikasikan bahwa dua orang yang
ditahan di Polresta Jayapura mengalami penyiksaan dan tidak
diperbolehkan menemui pengacara hukum mereka.
Di London pukul 13:00 waktu setempat masing-masing demonstran
memrepresentasikan 76 orang tahanan politk yang saat ini berada di balik
jeruji di Papua yang secara simbolik diborgol dan ditutup mulutnya
untuk menunjukkan pembungkaman kebebasan berekspresi di Papua. Pendemo
dan mantan tahanan politik Burma, Ko Aung menyatakan: “Saya menghabiskan
enam tahun di penjara untuk menyerukan perlawanan atas ketidakadilan di
Burma. Sekarang saya berdiri di sini untuk memberikan solidaritas
kepada kawan-kawan di Papua yang mengalami hal yang sama.”
Meskipun kepedulian internasional tentang situasi politik dan HAM di
Indonesia telah meluas, namun partai politik di Indonesia tetap tidak
memiliki agenda yang
ditawarkan untuk situasi damai di Papua. Beberapa demonstran menantang
para kandidat Presiden untuk memberikan perhatian dan menjelaskan
kebijakan mereka terhadap Papua.
Para demonstran mengangkat plakat yang berisi: ‘Jokowi, wartawan asing boleh masuk Papua?’ ‘Bakrie, maukah bebaskan tapol Papua?’
“Pada surat kepada Duta Besar Indonesia di London, HE Teuku Mohammad
Hamzah Thayeb, yang dikirimkan hari ini, penyelenggara demonstrasi,
TAPOL menyatakan bahwa terdapat 537 peristiwa penangkapan politik di
Papua pada 2013, dua kali lipat dari jumlah penangkapan di tahun 2012.
Kasus yang dilaporkan berupa penyiksaan dan perlakukan buruk dalam
tahanan berjumlah tiga kali lipat dibandingkan tahun 2012, sementara
kasus yang melibatkan penolakan akses kepada pengacara atau pengadilan
yang tidak adil berjumlah dua kali lipat dibandingkan tahun 2012,” kata
Paul Barber, Koordinator TAPOL, saat dihubungi Jubi di London, Rabu
(2/3) malam.
Surat itu menunjukkan bahwa terungkapnya peningkatan besar dalam
tindakan penangkapan yang bernuansa politik ‘sangat mengganggu dalam
masa menjelang pemilihan umum nasional Indonesia minggu depan. Minimnya
ruang demokrasi di Papua berarti bahwa pemilu hampir tidak relevan untuk
banyak orang Papua.’
Tahanan politik Papua Dominikus Surabut hari ini mengirimkan pesan
dari penjara Abepura ke seluruh para demonstran, yang menyatakan:
‘Kebebasan dan demokrasi tidak bisa dibunuh dan dipenjarakan, sebab
rohnya absolut, tak bisa seseorang atau Negara manapun bisa gagalkan.
Kepada para pekerja HAM dan Demokrasi dunia, kita tidak bisa berdiam
membisu, tetapi kita terus kepalkan tangan dan jiwa kita secara
bersama-sama menyelamatkan dan menempatkan berdemokrasi pada tempatnya.’
Surabut ditahan pada 19 Oktober 2011 dan saat ini menjalani tiga
tahun hukuman di penjara karena keikutsertaannya dalam pertemuan politik
secara damai di Jayapura.
Berdasarkan perkembangan pemantauan bersama yang dipublikasi oleh
Papuan Behind Bars, tahanan politik di Papua sering disiksa dan dipaksa
untuk mengakui kesalahan. Banyak dari mereka dipukuli dan menjadi subjek
dari tindakan kejam dan merendahkan martabat seperti digunduli, dipaksa
untuk saling berkelahi atau tidak diberikan makan atau pengobatan yang
layak.
Pembatasan pada organisasi internasional dan media asing yang bekerja
di Papua Barat berarti bahwa banyak pelanggaran terjadi dalam rahasia,
dan pelaporan yang independen adalah hampir mustahil. Ini adalah masalah
serius di wilayah yang dikenal menjadi tuan rumah dari salah satu
konsentrasi tertinggi pasukan keamanan di dunia.
“Jika Indonesia tidak memiliki hal yang disembunyikan di Papua,
mengapa mereka tidak memperbolehkan jurnalis dan organisasi
internasional datang ke Papua?” ujar Paul Barber. “Tujuh puluh enam
tahanan politik di Papua tidak dapat disembunyikan dari dunia.”
Organisasi internasional dan mekanisme PBB semakin menanyakan
pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi di Papua yang tidak
dapat diterima. Pada November 2012, Working Grup PBB tentang Penahanan
Sewenang-wenang mengeluarkan pendapat bahwa penahanan terhadap Filep
Karma, selama 15 tahun penjara karena mengibarkan bendera Bintang Kejora
Papua adalah pelanggaran terhadap hukum internasional.
Pada Mei 2012, pada sesi Laporan HAM Berkala Universal (Universal
Periodic Review) Indonesia pada Dewan HAM PBB di Jenewa, Pemerintah
Indonesia menerima rekomendasi untuk mengundang pelapor khusus PBB
tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, Frank La Rue. Meskipun
kunjungan tersebut direncanakan akan dilaksanakan pada awal tahun 2013,
namun kunjungan tersebut dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah
Indonesia. Pada Mei 2013, Ketua Komisi HAM PBB, Navi Pillay
menyampaikan situasi kritis terhadap serangan kebebasan berekspresi yang
terus berlanjut di Papua.
TAPOL menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan
tuduhan kepada aktivis politik Papua dengan tuduhan kriminal, meminta
pembebasan tanpa syarat terhadap tahanan politik, memenuhi standar
internasional mengenai perlakuan terhadap tahanan dan memperbolahkan
akses terbuka bagi internasional jurnalis, organisasi HAM dan humaniter.
TAPOL juga meminta para kandidat Presiden untuk membuat agenda
setting tentang pelaksanaan HAM, termasuk pembebasan tahanan politik
tanpa syarat sebagai pemenuhan hak dasar dan berdemokrasi bagi
orang-orang Papua. (Jubi/EC/Victor Mambor)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar