Senin, 31 Maret 2014

UNI EROPA INGIN PASTIKAN SENJATA YANG DIJUAL NEGARANYA TIDAK DIGUNAKAN PADA WARGA PAPUA

Ana Maria Gomez, anggota Parlemen Uni Eropa dari Portugal, salah satu penandatangan surat (kiri) bersama Ketua AJI Kota Jayapura, Victor Mambor usai sidang dengar pendapat (Dok Jubi)
Jayapura, 31/3 (Jubi) – Anggota Parlemen Uni Eropa yang beranggotakan 28 Negara hingga tahun 2013, mendesak Pemerintah Indonesia untuk membuka dan menyediakan akses ke Papua bagi pengamat Independen, termasuk pengamat dari Uni Eropa maupun mekanisme HAM PBB.

16 anggota parlemen Uni Eropa telah menulis surat kepada Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Baroness Catherine Ashton, sebagai tindak lanjut sidang dengar pendapat tentang Papua di parlemen Uni Eropa pada tanggal 23 Januari 2014 dan voting Parlemen Eropa pada 26 Februari 2014 untuk perjanjian kerjasama antara Republik Indonesia dan Uni Eropa. Surat yang ditandatangani oleh 16 anggota parlemen Uni Eropa ini meminta Baroness Catherine Ashton agar mendorong pemerintah Indonesia untuk secara aktif memulai proses dialog dengan rakyat Papua Barat sebagai upaya penyelesaian konflik secara damai seperti yang dituntut oleh para aktivis perdamaian di Papua dan Jakarta. 16 anggota parlemen ini juga meminta pemerintah Indonesia membuka akses kepada pengamat independen termasuk pengamat Uni Eropa serta mekanisme HAM PBB dan melindungi kebebasan pers lokal di Papua.

Leonidas Donskis, anggota Parlemen Uni Eropa dari Finlandia kepada Jubi melalui surat elektronik, Minggu (30/3), mengatakan surat tertanggal 26 Maret 2014 ini menyerukan agar Indonesia membebaskan semua tahanan politik dan mengakhiri praktek mengadili rakyat Papua yang terlibat dalam kegiatan politik damai dengan tindak pidana seperti pengkhianatan/Makar berdasarkan Pasal 106 KUHP Indonesia. Uni Eropa juga sangat mendukung reformasi di Indonesia yang akan memastikan personil aparat keamanan yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dapat dimintai pertanggungjawaban di pengadilan independen atas tindakan mereka terhadap warga sipil, misalnya melalui reformasi sistem peradilan militer dan pelarangan penyiksaan sesuai dengan norma-norma PBB ;

“LSM lokal terus melaporkan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Indonesia terhadap warga sipil di Papua Barat. Sementara negara-negara anggota Uni Eropa menjual senjata ke Indonesia, sangat tidak mungkin memonitor apakah senjata-senjata itu digunakan terhadap warga sipil karena pembatasan akses ke wilayah ini.” tulis Leonidas Donskis kepada Jubi dalam surat elektroniknya.

“Eropa juga ingin memastikan jika senjata yang dijual ke Indonesia oleh negara-negara anggota Uni Eropa tidak digunakan terhadap warga sipil di Papua.” tambah Donskis.

Surat kepada Baroness Catherine Ashton yang ditandatangani oleh anggota Parlemen Uni Eropa, yang diterima Jubi, Sabtu (29/3) juga menyebutkan beberapa pasal dalam UU Otsus telah dilanggar. Inisiatif lain dari Jakarta seperti Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dan Draft Otonomi Plus yang direncanakan sangat tidak partisipatif bagi masyarakat asli. Akibatnya pendekatan Jakarta terhadap situasi di Papua Barat hanya mengatasi masalah ekonomi semata. Dana yang disediakan untuk pembangunan kesehatan dan pendidikan sangat besar namun fasilitas kesehatan dan pendidikan tidak berfungsi.

“Penyampaian ekspresi perbedaan pendapat politik atau aspirasi kemerdekaan secara damai, terus menerus dituntut, aktivis ditangkap, demonstrasi dibubarkan dan aktivis dijatuhi hukuman sampai 20 tahun penjara. Dalam iklim konflik dan pelanggaran HAM ini, kami khawatir karena pengamat PBB, organisasi-organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional serta wartawan independen ditolak masuk ke Papua atau menghadapi pembatasan yang serius untuk masuk atau bekerja di Papua Barat.” tulis Donskis.

Menurut Donskis, selama ini Organisasi Hak Asasi Manusia dan gereja terus melaporkan pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembatasan kebebasan berekspresi dan keterbatasan akses yang sangat serius bagi penduduk asli Papua untuk sektor kesehatan dan pendidikan.
Seperti diberitakan oleh media ini (akhir Januari 2014), Parlemen Uni Eropa pada tanggal 23 Januari 2014 lalu telah mengundang Norman Vos (Interantional Coalition for Papua), Zelly Ariane (National Papua Solidarity) dan Victor Mambor (Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura) untuk menyampaikan situasi dan persoalan terkini di Papua.(Jubi/Benny Mawel)

Sumber :  www.tabloidjubi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar