Sabtu, 12 Desember 2015

Membayangkan Sekolah Binatang

Ilustrasi Sekolah Binatang (Foto: Ist)
Mikael Kudiai

Suatu ketika, Gaja, Harimau, Singa dan beberapa binatang kuat lainnya berkumpul. Mereka berkumpul dan mendirikan suatu sistem kurikulum pendidikan. Hampir sebulan mereka memutuskan untuk membuat tiga kurikulum pembelajaran untuk semua siswa. Pembelajaran tersebut meliputi berbicara, terbang dan lari. Semua murid akan memperoleh pendidikan yang sama.


Murid dari berbagai binatang merasa gembira. Di awal tahun ajaran, mereka bertekad untuk menjalankan sistem pembelajaran tersebut.


Pelajaran pertama, berlari jarak jauh. Burung Cendrawasih kelihatan sudah sangat terampil dan sudah siap, walau pun dia tidak tahu dampaknya yang akan terjadi pada dirinya.


Untuk mempraktekannya, suatu ketika burung Cendrawasih mengikuti loma lari jarak jauh bersama hewan-hewan lainnya seperti burung unta, dan lainnya. Cendrawasih masih sedikit ragu.



“Memang
sa (saya) sudah dikasih pelajaran seperti ini, tapi sa agak ragu, walau ada pelari sama seperi burung Unta. Tapi sa akan coba.”

Dalam hitungan ketiga, peserta loma sudah harus berlari. Ketika berlari, kedua kaki dan sayapnya patah karena tidak sanggup membendung beberapa binatang lainnya yang mempunyai kaki yang kuat. Akhirnya Burung Cendrawasih kalah dan tidak mendapatkan juara apa-apa. Setelah kalah, Cendrawaish diskorifikasi oleh panitia. Padahal soal pelajaran lari jarak jauh dia sudah mendapatkannya di sekolah.


Pelajaran kedua, terbang. Burung Kasuari sangat ragu ketika diberi pelajaran tersebut kepadanya.


“Kalau soal terbang bukan soal ragu, tetapi apa mungkin,
sa bisa terbang seperti pesawat Susi Air? Tapi sa coba dulu.”

Kasuari meloncat dari tebing yang tinggi ke bawa dan ingin terbang sama seperti pesawat terbang. Namun dia masuk ke dalam jurang yang paling dalam. Akibatnya kaki panjangnya patah dan tidak bisa berjalan. Kasuari hanya bisa menangis dan meratapi nasib.


Pada akhir tahun sekolah, semua murid berwajah murung karena pendidikannya tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan dan praktekan. Badan penuh cacat dan luka. Cendrawasih sayap dan kakinya patah, Kasuari kaki panjangnya patah, dan lainnya. Janji-janji dan sistem pendidikan yang dipelajari ternyata tidak masuk akal.


Sistem pendidikan binatang itu menekankan kesaragaman yang ada, jadinya semua yang ada dalam sekolah harus mendapatkan pendidikan yang sama. Sistem ini tidak memperhatikan kebutuhan para murid tetapi malah mempertegang para murid. Cendrawasih sangat berbeda dengan binatang lainnya. Tetapi kurikulum diharuskannya untuk ia berlari jarak jauh. Kurikulum ini menjadi suatu sistem yang menindas dan membunuh. Kelompok binatang kuatlah yang menjadi pembunuhnya. Sebagai perancang dan pengelolah, mereka memaksakan demi kepentingan mereka sendiri. Mereka menindas murid yang tak berdaya.


Setelah hampir 52 tahun Papua bersama dengan Indonesia, Papua tergolong daerah yang sangat miskin. Tak hanya kategori miskin di Indonesia, tetapi masuk kategori miskin di dunia. Akibatnya, pasca dibumihanguskannya buku-buku pembelajaran di Papua pada tahun 1960-an adalah awal orang Papua tidak mengenal diri mereka sendiri.


Situasi ini bergulir secara dinamis dengan pergantian kurikulum Indonesia di Papua, sebagian besar siswa di Papua diajarkan secara struktural di sekolah-sekolah untuk tidak mengenali diri mereka sendiri. Ketidakpekaannya siswa dan mereka lebih banyak memilih untuk membuat onar, mengisap aibon, dan lain-lainnya yang negatif.


Kategori ini sama dengan sekolah binatang, bagaimana sistem dibuat oleh elit-elit yang punya kekuasaan tanpa mempertimbangkan dan melihat lebih jauh tentang daerah-daerah lokal di Papua.

Secara prosedural, pendidikan di Papua adalah penentu nasib baik atau buruknya suatu bangsa yang besar. Ketika sistem penerapan pendidikan Indonesia diterapkan di Papua tak sesuai dengan konteks lokal, maka untuk membangun diri sendiri, bangsa sendiri dan lainnya malah berbelok pada tingkatan penghancuran dan pemusnahan.

Pendidikan merupakan senjata paling ampuh menentukan nasib bangsa ke depan. Ketika Nagasaki dan Hirodhima di Bom Atom oleh Amerika, Kaisar Hirohito berdiri dan hanya mengatakan, “Berapa jumlah guru yang masih tersisa?”. Dengan kata itu, sekarang Jepang menjadi salah satu negara maju di dunia.


Ketika Samuel Isack Kijne (Seorang rohaniawan dan antropolog Belanda) pada kisaran tahun 1920-an mengatakan, “Anak-anak sekolah harus merasa diri di dalam dunianya sendiri dan bukan di dalam dunia asing. Buku-buku bacaan yang biasa dipakai membawa anak-anak itu kedalam dunia asing. Jalan penangaran ini mempergunakan benda dari dunia sekitar anak-anak sekolah. Tentu perkataan banjak jang harus dia ajarkan kepadanya, tetapi perkataan banyak yang harus diajarkan kepadanya,tetapi perkataan itu semuanya lazim di Nieuw Guinea, sehingga dapat dipergunakannya terus,” Kijne mengetahui benar apa yang harus dia lakukan di Papua pada saat itu. Membayangkan apa yang dikatakan oleh Samuel Isack Kijne, adalah merujuk pada pendidikanlah yang mampu mengubah orang Papua sendiri dengan sistem pembelajaran tersebut.


Maka, kiranya sistem pendidikan juga harus memperoleh seperti demikian. Bukan menjalankan sekolah sama seperti burung Cendrawasih yang dipaksakan berlari jarak jauh dan Kasuari yang dipaksakan untuk terbang seperti pesawat Susi Air.

---------------------------------------------------------------------------------------------

Catatan: 

Esai singkat ini, saya terinspirasi dari sebuah esai, “Sekolah Binatang” yang diterbitkan di koran cetak DIAN pada25 Juni 1993. Semoga menjadi inspiratif untuk mengkritisi persoalan pendidikan di Papua.


Sumber 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar