Kamis, 01 Oktober 2015

Penjahat Kemanusiaan 'Kok', dilindungi ?

ilust. | Amoye AmaTabi Wempi Doo
Sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, dinilai oleh Kontras Papua dan para korban Abepura Berdarah yang tergabung dalam Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) adalah tidak ada tanggungjawab dan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikannya.  Malah  pemerintah  terkesan berupaya melindungi para pelaku dan institusi yang melakukan pelanggaran HAM. Salah satunya kasus pelanggaran berat Abepura berdarah yang terjadi  7 Desember 2000 silam.
Pelaksana Harian BUK Papua, Nehemia Yarinap, mengatakan, kasus pelanggaran HAM di Papua dari tahun 1969 sampai saat ini, begitu banyak tertumpuk tanpa diproses hukum, yang  hanya ada di hati korban dan orang Papua secara umum adalah rasa ketidakadilan,  trauma dan luka yang sangat mendalam.
Dari sekian banyak kasus, hanya 3 kasus yang dikategorikan sebagai Kasus Pelanggaran HAM berat, yakni Kasus Abepura 2000,  Kasus Wasior 2001 dan  kasus Wamena 2003.  Dari 3 (tiga) kasus tersebut, hanya 1 (satu) kasus yang dibawa ke proses pengadilan HAM permanen di Makassar, pada tahun 2005, namun penyelesaiannya tidak memberikan kedamaian bagi para korban pelanggaan HAM, malah para pelaku dibebaskan murni dari segala tuntutan..
 
Sebagai mana diketahui, kasus Abepura terjadi pada 7 Desember 2000, dimana,  yaitu penyerangan pukul  01.30 Wit pada malam hari terhadap Mapolsekta Abepura dengan pembakaran Ruko Abepura karena tindakan Orang Tak Dikenal (OTK), mengakibatkan 1 (satu) anggota polisi meninggal dunia (Bribka Petrus Eppa), dan 3 orang lainnya mengalami luka-luka, disertai pembakaran ruko yang berjarak 100 meter dari Mapolsek Abepura. Terjadi juga penyerangan dan pembunuhan Satpam Kantor Dinas Otonom Kotaraja. Pada hari yang sama sekitar pukul 02.30 Wit pasca penyerangan ke Mapolsek Abepura, AKBP Drs. Daud Sihombing, SH setelah menelpon Kapolda Brigjen Pol Drs. Moersoertidarno Moerhadi . Untuk langsung melaksanakan perintah operasi. Dalam pengejarannya diarahkan  ke tiga asrama mahasiswa, yakni di Asrama Ninmin, Asrama Yapen Waropen,  dan Asrama IMI (Mahasiswa Ilaga) dan tiga pemukiman penduduk sipil.
Dalam operasi dimaksud, anggota Brimob melakukan pengrusakan, pemindahan paksa (Involuntary displace persons), ancaman, makian, pemukulan dan pengambilan hak milik (right to property) mahasiswa.  Mahasiswa digiring ke dalam truk dan di bawa ke Mapolsek. Pemukulan, penangkapan dan penyiksaan (Persecution) berulang-ulang kali terhadap masyarakat yag tidak tahu menahu di pemukiman penduduk sipil Kampung Wamena di Abe Pantai,  Suku Lani asal Mamberamo di Kotaraja dan Suku Yali di Skyline. Dalam penyerangan di Skylane, terjadi pembunuhan kilat oleh anggota Brimob terhadap Elkius Suhuniap. Sedangkan 2 mahasiswa dari asrama Ninmin meninggal akibat penyiksaan dalam tahanan Polores Jayapura yakni Jhoni Karunggu dan Orry Dronggi.
Pada tahun 2001, Komnas HAM membentuk KPP HAM Abepura dan dan berdasarkan fakta, peristiwa pengejaran dan penangkapan itu telah dinyatakan sebagai pelanggaran kejahatan kemanusiaan. Namun dalam proses penyelidikan, dari 25 pelaku, Jaksa Agung MA Rachman dengan komisi II DPR, hanya menetapkan dua pelaku yaitu Komisaris Besar Polisi Drs, Johny Wainal Usman sebagai Komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya (waktu itu) dan Ajun Komisaris Besar Polisi Drs. Daud Sihombing Sebagai pengendali dan pelaksana perintah operasi.
“Namun dalam proses mendorong kasus tersebut dalam sidang perdana HAM Pertama, dalam berkas perkara sama sekali tidak mencantumkan secara detail bagaimana kondisi para korban dan  bagaimana kerugian-kerugian para korban,”  tandasnya dalam keterangan persnya di Kantor Kontras Papua, Jumat, 7 Desember 2012.
Akibatnya berkas perkaranya persis pada berkas pidana, tanpa ada soal rehabilitasi, restitusi dan keadilan bagi korban. Korban tidak mendapakan hak yang sangat substansi karena berkas pengadilan yang diajukan oleh Jaksa, Hakim tidak bisa diambil dari kiri dan kanan (dari konteks budaya, mental, dan situasi para korban) tetapi hanya berdasarkas berkas murni yang diajukan oleh Jaksa.
Selain itu mengulurnya waktu adalah ketidakadilan, padahal KPP HAM telah menyelesaikan berkasnya dengan cepat, tetapi bolak balik berkas perkaranya terjadi, pada hal tidak substansial namun hanya dalam hal administrasi; dan yang kedua proses penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan, selain mengulur-ulur waktu juga proses politik bonsite (meperkecil perkasa) yakni peristiwanya ada banyak namun dikurang hingga tiga sampai satu, pelakunya ada 25 namun dikurang menjadi 2, kemudian korbannya 105 hanya dijadikan 17 korban yang dijadikan sebagai saksi.
Dengan latar belakang dan cara berpikir para Hakim masih mengunakan jaman Kolonial Belanda yakni pertama, Masih menggunakan kiriminal bukan pelanggaran HAM, dan kedua Kejaksaan tidak independen dan tidak berdasarkan nilai-nilai Universal (pelanggaran HAM) tetapi lebih mementingkan kepentingan Negara. Hari ini kita bisa simpulkan bahwa ada lobi-lobi yang menghasilkan berkas perkara itu tidak sebagaimana yang terjadi terhadap para korban (mengkorbankan korban). Kasus Abepura dalam proses peradilan, ada terjadi  banyak catat hukum. Peradilan HAM hanya menjadi kuburan dan tidak mengakui harga diri dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh para korban dan rakyat Papua.
Para korban Kasus Abepura justru tidak diakui sebagai Korban dan kondisi korban saat ini mengalami trauma yang masih membekas dan mendalam. Sampai saat ini, enam (6) korban kekerasan Kasus Abepura telah meninggal akibat penyiksaan yang menimpa mereka saat Kasus Abepura terjadi. Para korban sama sekali tidak percaya dengan Hukum dan Sistim Peradilan Indonesia. Karena merasa tidak ada keadilan bagi orang Papua. Yang ada hanya kekerasan tanpa keadilan, dan kekerasan yang terjadi saat ini hanya menyusuk luka-luka lama yang tidak pernah disembuhkan.
Kemudian, pada 8 dan 9 Sebtember 2005, Majelis Ad Hoc HAM kasus Abepura di Makassar memvonis bebas Brigadir Jenderal (Bridjen) Polisi Johny Wainal Usman dan Kombes Polisi Drs. Daud Sihombing, SH dengan mengatakan bahwa tidak terbukti secara sah bersalah melakukan pelanggaran HAM Berat di Abepura, Papua. Pertimbangan yang dipakai dalam keputusan hakim menunjukkan bahwa pemahaman dan pengetahuan Hakim terkesan mengunakan prinsip klonial yang jauh dari rasa keadilan korban.
Para korban dan orang Papua telah melakukan upaya Hukum dan berjuang membuktikan secara serius kepada pemerintah Indonesia dan juga bangsa-bangsa di dunia bahwa nilai dan martabat orang Papua juga sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dan sampai ini karena hukum di Indonesia sangat tidak percaya sehingga tindakan orang Papua selalu dijerumuskan  ke dalam makar, kekerasan, pembungkaman, penangkapan dan sebagainya.
Untuk itu, pihaknya dan KontraS Papua mendesak kepada pemerintah Indonesia, pertama, Presiden RI dan Komnas HAM RI segera tindak lanjuti kasus pelanggaran HAM berat Wasior dan Wamena, karena proses hukum masih tidak jelas di kejaksaan Agung dan Komnas Ham Jakarta, dan menjelaskan kepada  Kedua,      mendesak kepada gubernur papua, dprp dan mrp untuk mendorong evalusi resmi atas kebijakan keamanan di papua dan menolak pasukan organik dan nonorganik serta rasionalisasi jumlah tni/polri di tanah papua yang akan mengakibatkan korban-korban baru di tanah Papua. Ketiga, segera hentikan segala macam upaya dan bentuk kekerasan,  baik penembakan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembungkaman demokrasi dan lainya.
Di tempat yang sama, Koordinator KontraS, Olga Hamadi SH, M.Sc mengatakan,  pelanggarna HAM di Papua tidak hanya seperti yang dipaparkan, akan tetapi masih banyak kasus lainnya kini masih ditutup oleh Aparat Kepolisian, bahkan pelaku di Papua sekan-akan dipelihara.  “Terbukti, pelaku pelanggaran HAM tidak dihukum berat, hanya hukuman ringan. Anehnya lagi, ketika dibebaskan langsung naik pangkat setelah dipindahkan dari jabatannya,” tegasnya.
Olga menilai, ketika pelangaran HAM di tanah Papua tidak ditindaklanjuti sampai ke proses hukum, maka ditakutkan akan semakin banyak kasus pelanggaran HAM lainnya di tahun-tahuna yang akan datang.
Untuk itu, pihak tidak akan pernah berhenti  untuk menyampaikan hal ini kepada Pemerintah, karena masyarakat menginginkan keadilan. “Jangan hanya sudah melakukan pelanggaran HAM lalu tidak di proses, itu yang tidak kita inginkan. Ini lemah penegakan hukum, ini hanya mengingatkan pemerintah megenai kasus HAM yang tidak dituntaskan ,” bebernya.(nls/don/l03)
Sumber: Bintang Papua dan Berbagai*)
CP/John Pakage*)
 
Sumber : Klik 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar