ilust. | Amoye AmaTabi Wempi Doo |
Sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, dinilai
oleh Kontras Papua dan para korban Abepura Berdarah yang tergabung dalam
Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) adalah tidak ada tanggungjawab dan
keseriusan pemerintah dalam menyelesaikannya. Malah pemerintah
terkesan berupaya melindungi para pelaku dan institusi yang melakukan
pelanggaran HAM. Salah satunya kasus pelanggaran berat Abepura berdarah
yang terjadi 7 Desember 2000 silam.
Pelaksana Harian BUK Papua, Nehemia Yarinap, mengatakan, kasus
pelanggaran HAM di Papua dari tahun 1969 sampai saat ini, begitu banyak
tertumpuk tanpa diproses hukum, yang hanya ada di hati korban dan orang
Papua secara umum adalah rasa ketidakadilan, trauma dan luka yang
sangat mendalam.
Dari sekian banyak kasus, hanya 3 kasus yang dikategorikan sebagai Kasus
Pelanggaran HAM berat, yakni Kasus Abepura 2000, Kasus Wasior 2001
dan kasus Wamena 2003. Dari 3 (tiga) kasus tersebut, hanya 1 (satu)
kasus yang dibawa ke proses pengadilan HAM permanen di Makassar, pada
tahun 2005, namun penyelesaiannya tidak memberikan kedamaian bagi para
korban pelanggaan HAM, malah para pelaku dibebaskan murni dari segala
tuntutan..
Sebagai mana diketahui, kasus Abepura terjadi pada 7 Desember 2000,
dimana, yaitu penyerangan pukul 01.30 Wit pada malam hari terhadap
Mapolsekta Abepura dengan pembakaran Ruko Abepura karena tindakan Orang
Tak Dikenal (OTK), mengakibatkan 1 (satu) anggota polisi meninggal dunia
(Bribka Petrus Eppa), dan 3 orang lainnya mengalami luka-luka, disertai
pembakaran ruko yang berjarak 100 meter dari Mapolsek Abepura. Terjadi
juga penyerangan dan pembunuhan Satpam Kantor Dinas Otonom Kotaraja.
Pada hari yang sama sekitar pukul 02.30 Wit pasca penyerangan ke
Mapolsek Abepura, AKBP Drs. Daud Sihombing, SH setelah menelpon Kapolda
Brigjen Pol Drs. Moersoertidarno Moerhadi . Untuk langsung melaksanakan
perintah operasi. Dalam pengejarannya diarahkan ke tiga asrama
mahasiswa, yakni di Asrama Ninmin, Asrama Yapen Waropen, dan Asrama IMI
(Mahasiswa Ilaga) dan tiga pemukiman penduduk sipil.
Dalam operasi dimaksud, anggota Brimob melakukan pengrusakan, pemindahan
paksa (Involuntary displace persons), ancaman, makian, pemukulan dan
pengambilan hak milik (right to property) mahasiswa. Mahasiswa digiring
ke dalam truk dan di bawa ke Mapolsek. Pemukulan, penangkapan dan
penyiksaan (Persecution) berulang-ulang kali terhadap masyarakat yag
tidak tahu menahu di pemukiman penduduk sipil Kampung Wamena di Abe
Pantai, Suku Lani asal Mamberamo di Kotaraja dan Suku Yali di Skyline.
Dalam penyerangan di Skylane, terjadi pembunuhan kilat oleh anggota
Brimob terhadap Elkius Suhuniap. Sedangkan 2 mahasiswa dari asrama
Ninmin meninggal akibat penyiksaan dalam tahanan Polores Jayapura yakni
Jhoni Karunggu dan Orry Dronggi.
Pada tahun 2001, Komnas HAM membentuk KPP HAM Abepura dan dan
berdasarkan fakta, peristiwa pengejaran dan penangkapan itu telah
dinyatakan sebagai pelanggaran kejahatan kemanusiaan. Namun dalam proses
penyelidikan, dari 25 pelaku, Jaksa Agung MA Rachman dengan komisi II
DPR, hanya menetapkan dua pelaku yaitu Komisaris Besar Polisi Drs, Johny
Wainal Usman sebagai Komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya (waktu
itu) dan Ajun Komisaris Besar Polisi Drs. Daud Sihombing Sebagai
pengendali dan pelaksana perintah operasi.
“Namun dalam proses mendorong kasus tersebut dalam sidang perdana HAM
Pertama, dalam berkas perkara sama sekali tidak mencantumkan secara
detail bagaimana kondisi para korban dan bagaimana kerugian-kerugian
para korban,” tandasnya dalam keterangan persnya di Kantor Kontras
Papua, Jumat, 7 Desember 2012.
Akibatnya berkas perkaranya persis pada berkas pidana, tanpa ada soal
rehabilitasi, restitusi dan keadilan bagi korban. Korban tidak
mendapakan hak yang sangat substansi karena berkas pengadilan yang
diajukan oleh Jaksa, Hakim tidak bisa diambil dari kiri dan kanan (dari
konteks budaya, mental, dan situasi para korban) tetapi hanya
berdasarkas berkas murni yang diajukan oleh Jaksa.
Selain itu mengulurnya waktu adalah ketidakadilan, padahal KPP HAM telah
menyelesaikan berkasnya dengan cepat, tetapi bolak balik berkas
perkaranya terjadi, pada hal tidak substansial namun hanya dalam hal
administrasi; dan yang kedua proses penyidikan yang dilakukan oleh
Kejaksaan, selain mengulur-ulur waktu juga proses politik bonsite
(meperkecil perkasa) yakni peristiwanya ada banyak namun dikurang hingga
tiga sampai satu, pelakunya ada 25 namun dikurang menjadi 2, kemudian
korbannya 105 hanya dijadikan 17 korban yang dijadikan sebagai saksi.
Dengan latar belakang dan cara berpikir para Hakim masih mengunakan
jaman Kolonial Belanda yakni pertama, Masih menggunakan kiriminal bukan
pelanggaran HAM, dan kedua Kejaksaan tidak independen dan tidak
berdasarkan nilai-nilai Universal (pelanggaran HAM) tetapi lebih
mementingkan kepentingan Negara. Hari ini kita bisa simpulkan bahwa ada
lobi-lobi yang menghasilkan berkas perkara itu tidak sebagaimana yang
terjadi terhadap para korban (mengkorbankan korban). Kasus Abepura dalam
proses peradilan, ada terjadi banyak catat hukum. Peradilan HAM hanya
menjadi kuburan dan tidak mengakui harga diri dan nilai-nilai yang
diperjuangkan oleh para korban dan rakyat Papua.
Para korban Kasus Abepura justru tidak diakui sebagai Korban dan kondisi
korban saat ini mengalami trauma yang masih membekas dan mendalam.
Sampai saat ini, enam (6) korban kekerasan Kasus Abepura telah meninggal
akibat penyiksaan yang menimpa mereka saat Kasus Abepura terjadi. Para
korban sama sekali tidak percaya dengan Hukum dan Sistim Peradilan
Indonesia. Karena merasa tidak ada keadilan bagi orang Papua. Yang ada
hanya kekerasan tanpa keadilan, dan kekerasan yang terjadi saat ini
hanya menyusuk luka-luka lama yang tidak pernah disembuhkan.
Kemudian, pada 8 dan 9 Sebtember 2005, Majelis Ad Hoc HAM kasus Abepura
di Makassar memvonis bebas Brigadir Jenderal (Bridjen) Polisi Johny
Wainal Usman dan Kombes Polisi Drs. Daud Sihombing, SH dengan mengatakan
bahwa tidak terbukti secara sah bersalah melakukan pelanggaran HAM
Berat di Abepura, Papua. Pertimbangan yang dipakai dalam keputusan hakim
menunjukkan bahwa pemahaman dan pengetahuan Hakim terkesan mengunakan
prinsip klonial yang jauh dari rasa keadilan korban.
Para korban dan orang Papua telah melakukan upaya Hukum dan berjuang
membuktikan secara serius kepada pemerintah Indonesia dan juga
bangsa-bangsa di dunia bahwa nilai dan martabat orang Papua juga sama
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dan sampai ini karena hukum di
Indonesia sangat tidak percaya sehingga tindakan orang Papua selalu
dijerumuskan ke dalam makar, kekerasan, pembungkaman, penangkapan dan
sebagainya.
Untuk itu, pihaknya dan KontraS Papua mendesak kepada pemerintah
Indonesia, pertama, Presiden RI dan Komnas HAM RI segera tindak lanjuti
kasus pelanggaran HAM berat Wasior dan Wamena, karena proses hukum masih
tidak jelas di kejaksaan Agung dan Komnas Ham Jakarta, dan menjelaskan
kepada Kedua, mendesak kepada gubernur papua, dprp dan mrp untuk
mendorong evalusi resmi atas kebijakan keamanan di papua dan menolak
pasukan organik dan nonorganik serta rasionalisasi jumlah tni/polri di
tanah papua yang akan mengakibatkan korban-korban baru di tanah Papua.
Ketiga, segera hentikan segala macam upaya dan bentuk kekerasan, baik
penembakan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembungkaman
demokrasi dan lainya.
Di tempat yang sama, Koordinator KontraS, Olga Hamadi SH, M.Sc
mengatakan, pelanggarna HAM di Papua tidak hanya seperti yang
dipaparkan, akan tetapi masih banyak kasus lainnya kini masih ditutup
oleh Aparat Kepolisian, bahkan pelaku di Papua sekan-akan dipelihara.
“Terbukti, pelaku pelanggaran HAM tidak dihukum berat, hanya hukuman
ringan. Anehnya lagi, ketika dibebaskan langsung naik pangkat setelah
dipindahkan dari jabatannya,” tegasnya.
Olga menilai, ketika pelangaran HAM di tanah Papua tidak ditindaklanjuti
sampai ke proses hukum, maka ditakutkan akan semakin banyak kasus
pelanggaran HAM lainnya di tahun-tahuna yang akan datang.
Untuk itu, pihak tidak akan pernah berhenti untuk menyampaikan hal ini
kepada Pemerintah, karena masyarakat menginginkan keadilan. “Jangan
hanya sudah melakukan pelanggaran HAM lalu tidak di proses, itu yang
tidak kita inginkan. Ini lemah penegakan hukum, ini hanya mengingatkan
pemerintah megenai kasus HAM yang tidak dituntaskan ,”
bebernya.(nls/don/l03)
Sumber: Bintang Papua dan Berbagai*)
CP/John Pakage*)
Sumber : Klik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar