Kamis, 01 Oktober 2015

DIMANA STATUS TANAH LELUHUR SAYA ?

Foto: Yakobus Basik-Basik | Dulu di sini saya berburu rusa,
tapi sudah hilang | B-OPOS
Oleh : John Pakage
 
Merauke Integrated Food Energy Estate ( MIFEE) yang mana ada 36 perusahaan dengan menguasai lahan seluas 2, 5 juta hektar, dan direncanakan akan mendatangkan tenaga buruh murah 4 juta kepala keluarga belum terhitung anak dan istrinya, ini akan berdampak pada pendepopulasi orang Papua. Lahan seluas 748.057 ha yang tersisa ini pun sebagian besar masih dikuasai oleh Gereja, Instalasi Militer, Fasilitas Pemerintah, Transmigran dan para pejabat maupun pengusaha yang menguasai lahan dalam jumlah besar secara perorangan.

Telah terjadi pengingkaran terhadap hak-hak dasar masyarakat setempat mulai dari pembuatan kesepakatan pelepasan tanah yang tidak adil, ganti rugi yang tidak layak dan penguasaan serta penghancuran hutan dan semua sumber daya alam yang menjadi penopang hidup komunitas setempat. Telah terjadi pelepasan tanah dengan ganti rugi yang sangat tidak masuk akal, yaitu Rp. 8,-/M2 dan para pemilik ulayat hanya mendapat Rp. 200.000 sampai Rp.300.000 per orang.

Keterlibatan Uskup Agung Merauke sangat nyata terlihat dalam atraksi yang dibawahkan oleh Solidaritas Rakya Papua Tolak Mifee ( Sorpatom) yang menggelar aksi Damai pada hari Jumat (26/11) menuntut Mifee untuk segera tutup. Tuntutan itu di utarakan dalam aksi di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua ( DPRP). Ratusan orang Papua yang melakukan aksi ini terdiri dari LSM, Mahasiswa, Tokoh Agama, Tokoh Perempuan dan Aktivis lingkungan lainnya.

Peran uskup sebagai perantara antara rakyat Papua di merauke yang mayoritas Katolik sebagai pemilik lahan dengan investor Mifee terkuak dalam atraksi selama 30 menit.

Uskup Agung Merauke Nicholaus Adi Seputra MSC meluruskan berita yang menyebutnya mendukung megaproyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di atas 1,28 juta hektare di Merauke, Papua. Menurutnya investor memang perlu didatangkan membangun Merauke, tetapi syaratnya harus melibatkan dan memajukan warga setempat.

Menurut Uskup, tidak pernah dibahas berapa  luas tanah yang diperlukan, berapa besar ganti rugi, dan bagaimana keterlibatan pelbagai pihak atas masuknya para investor itu. Yang ada adalah, sekitar tahun 2006,  informasi Merauke akan dijadikan kota agropolitan, agro wisata dan agro industri.
“Kemudian muncul berita dalam 1- 2 tahun terakhir ini, bahwa Merauke dipilih untuk menjadi tempat untuk program MIFEE.  Apa isi program MIFEE, siapa yang terlibat dan dilibatkan, instansi mana yang akan menangani, semuanya kabur bagi saya. Yang pasti, saya tidak pernah hadir dalam rapat-rapat mereka,” kata Uskup Nicholaus.

Aksi Damai disertai atraksi ini merupakan perlawanan secara bermartabat terhadap investasi Mega Proyek MIFEE yang berdampak pada penghancuran Lingkungan dan Hak Hidup Masyarakat Adat. Investasi Mega Proyek MIFEE merupakan ancaman terbesar bagi tidak hanya komunitas pribumi pemilik ulayat, tetapi juga setiap manusia di Papua Selatan, Papua dan Indonesia, bahkan dunia karena Papua adalah paru-paru dunia (hutan tropis untuk membendung pemanasan global).

Adalah Martin Hatful, Dutabesar Inggris untuk Indonesia dalam kunjungannya ke Jayapura 24- 25 November, terus berkampanye bahaya Pemanasan Global bagi umat dunia. Untuk itu Hutan di Papua harus di lindungi. hutan Papua perlu di jaga agar bisa menetralisir perubahan iklim tegas Martin.
Dari sekian banyak data yang disajikan disana, salah satunya adalah tentang proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Merauke. Belum ada proyek raksasa jenis ini di Indonesia dan baru baru hendak diuji coba di sini. Untuk kepentingan itu pemerintah mencadangkan tanah rakyat Papua seluas 1.6 juta hektar. Sejauh ini sudah ada 34 perusahaan dalam dan luar negeri sudah menyatakan diri tertarik untuk menanamkan modal dalam proyek ini, dimana 6 perusahaan sudah mengantongi ijin dari pemerintah.

Ketua Sorpatom Diana Gebze di hadapan Ketua 1 DPRP dan sejumlah anggota DPRP lainnya mengatakan  Proyek ini adalah proyek menghancurkan orang Papua, Karena seluruh tanah diambil dengan ganti rugi yang tidak sebanding dengan kerugian yang harus di tanggung warga asli tegas Diana.
Lebih lanjut Diana juga mengatakan bahwa Pihak Gereja katolik dalam hal ini Uskup Keuskupan Agung Merauke harus bertanggungjawab atas penderitaan orang Papua, karena saat orang Papua menolak dan tidak hendak menerima investor Asing atas Program Pemerintah Indonesia ini, justru Uskup Merauke memaksa rakyat Papua di Merauke untuk menerima proyek ini  tegasnya.

Selain soal dampak lingkungan, Diana juga mengemukakan persoalan ganti rugi yang tidak manusiawi. Misalnya, dirinya menyebut setiap orang hanya mendapat Rp. 200.000 sampai Rp. 300.000 untuk pelepasan tanah seluas 1.6 juta hektar. Angka ini jelas tidak sebanding dengan kerugian kehilangan Tanah Ulayat yang sangat luas tegas Diana lagi.

Proyek ini mendapatkan perhatian yang luar biasa dari Pemerintah, para pengamat social dan pekerja kemanusiaan ditingkat nasional dan daerah. Presiden SB Yudhoyono, berkali-kali ungkapkan betapa proyek ini begitu penting dalam menjawab berbagai persoalan makanan di Indonesia dan terutama untuk menghasilkan uang begitu banyak untuk Negara Indonesia. Itulah sebabnya, tidak heran bila Ia terus segera menerbitkan Peraturan Pemerintah untuk memperlancar terwujudnya proyek andalan hasil kerjasama penguasa (sipil, militer dan pengusaha) Jakarta dengan John Gluba Gebze, Bupati Merauke yang akan mengakhiri jabatannya dan kini beralih menjadi pengusaha tersebut.

Kegembiraan Presiden SBY juga terlihat dalam kuliah Umum yang diberikannya di hadapan badan Eksekutif Mahasiswa Se Indonesia di Universitas Cenderawasih beberapa hari lalu. Presiden bahkan berulang kali menyebut soal investasi raksasa Mifee.

Septer Manufandu, Sekretaris Forum NGO se-Tanah Papua mengeluarkan sebuah laporan berjudul Akses Masyarakat Papua dalam Pelayanan Umum. Dalam laporan tersebut, ia secara detail menjelaskan bagaimana tanah Papua dicincang habis oleh Pemerintah bekerjasama dengan para investor dari dalam dan luar negeri, menempatkan orang Papua bukan saja tidak berdaya tetapi sungguh-sungguh tersingkir dari tanahnya Saat ini, pihak Kementerian Perdagangan tengah mempersiapkan dokumen legal dan kajian ilmiah atas keamanan industri kelapa sawit terhadap pelestarian hutan. Langkah kementerian Perdagangan ini membuat Menteri Kehutanan , Zulkifli Hassan sehinggapada tanggal 24 Mei 2010, pihak kementerian kehutanan tidak akan memberikan ijin bila proyek itu terjadi didaerah yang masuk dalam hutan dilindungi.

Kepedulian yang paling besar dalam kaitan dengan proyek nasional ini adalah masalah perubahan lingkungan alam dan manusia. Dari sisi lingkungan alam, sekalipun Menteri Kehutanan Nampak memperlihatkan kepeduliannya, namun sebagai pembantu Presiden, ia tidak bisa berkata lain daripada keinginan atasanya, Presiden SB Yudhoyono yang sangat mendukung proyek ini dengan apapun biayanya. Itulah sebabnya kegelisaan masyarakat dan para pemerhati lingkungan patut mendapat perhatian karena proyek ini sudah pasti akan melakukan perusakan hutan secara luar biasa.

Kerusakan ini tidak hanya bertentangan dengan program pencemaran carbon yang sedang digalakkan di dunia. Itulah sebabnya perusahaan raksasa ini akan mendapat perhatian dunia terutama dari mereka yang selama ini mengupayakan segala cara untuk menyematkan sisa hutan yang dimiliki dunia pada saat ini. Negara Norwegia misalnya dalam bulan Mei 2010, melakukan perjanjian dengan Pemerintah Indonesia, bahwa Negara tersebut bersedia memberikan 1 milyar dana bantuan kepada pemerintah Indonesia agar selamatkan hutan di Indonesia.

Diana Juga mengatakan Sinar Mas dan banyak investor lainnya yang saat ini dengan leluasa mengeksploitasi kekayaan kita dapat dijadikan contoh nyata karena semua kejahatan mereka terjadi di depan mata kita dan kita-lah korban-korban yang masih hidup tegas Gebze
Para pemilik ulayat masih menurutnya, saat ini hidup dalam keadaan frustrasi saat menyadari berbagai penipuan oleh pihak investor dan Pemerintah yang menjebak mereka sehingga melepas milik pusaka mereka untuk selama-lamanya, ada yang bunuh diri, ada yang gangguan jiwa, ada yang sakit-sakitan, dan lain sebagainya, Ungkap Diana lagi.

Tentu kehadiran proyek raksasa ini selain mengakibatkan kerusakan liingkungan alam, perusahaan ini juga sudah pasti akan merusak lingkungan manusia dan berdampak sangat buruk terhadap orang asli Papua di Merauke secara khusus dan Papua pada umumnya.

Septer Manufandu, Sekertaris Jendral Forum NGO se tanah Papua memprediksi bahwa paling kurang proyek ini membutuhkan lebih dari 4 juta orang, dengan asumsi untuk mengerjakan 1 hektar memerlukan 4 orang pekerja. Sebagian besar dan bahkan hampir semua dari pekerja ini akan didatangkan dari luar Papua. Alasannya bukan saja karena orang sangat sedikit jumlahnya yakni sekitar 2 juta di seluruh tanah papua, tetapi juga perbedaan budaya pertanian. Dan jumlah itu akan meningkat bila pekerja yang didatangkan membawa keluarga, istri dan anak-anak mereka. Artinya, orang Maroke yang saat ini jumlahnya hanya 174,710 orang ini akan tenggelam ditengah lebih dari 4 juta penduduk baru yang didatangkan untuk bekerja di proyek raksasa ini.

Dalam konteks perbandingan populasi diatas ini tidaklah berlebihan bila Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN mengkritik secara tajam proyek raksasa ini dalam pernyataan didepan Forum Tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa akan Bangsa-Bangsa Pribumi (UN Permanent Forum on Indigenous Peoples), April 23, 2010.

Dalam pernyataan tertulis yang didukung oleh 26 organisasi bangsa pribumi Indonesia dan dunia ini, AMAN menyebutkan ini sebagai sebuah genocida secara sistimatis dan structural. Dalam sejumlah rekomendasi, AMAN meminta agar Pelapor Khusus PBB akan situasi HAM dan Kebebasan Dasar Bangsa-Bangsa Pribumi untuk berkunjung melihat proyek ini dan membuat laporan tentang masyarakat pribumi Merauke secara khusus dan Papua pada umumnya.

Kemana masa depan generasi muda Papua jika kebijakan Negara pada masa kini merampas Tanah, Air serta semua yang terkandung??
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar