Oleh Gesang Kinasih
“Di atas segalanya, kembangkan selalu perasaan
yang dalam pada siapapun yang mengalami ketidakadilan, dimanapun di dunia ini.
Inilah kualitas yang paling indah dari seorang revolusioner.”
(Surat Che kepada Anaknya-Anaknya, 1965)
Tulisan ini lahir
setelah menonton sebuah film. Saya
akan memberikan sedikit refleksi mengenai perjalanan hidup salah seorang revolusioner
sejati dari Amerika Latin, yaitu Ernesto Guevara Lynch de La Serna atau yang lebih
akrab dikenal sebagai Che Guevara. Pada tulisan ini, saya berusaha
membacanya dengan se-biasa mungkin.
Karena mungkin banyak distorsi yang muncul dari kehidupannya. Pada tulisan ini,
saya juga hanya menampilkannya dalam bentuk opini saja, bukan sebuah tulisan
ilmiah.
Kita bisa lihat hampir setiap pemuda yang sedang
berkenalan dengan ide-ide Kiri akan mengenalnya. Ia menjadi salah satu idola Kiri
di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bila diperhatikan, ia menjadi salah satu ikon baju Kiri paling laris di jagad
raya, juga dengan segala atribut mengenainya. Bahkan, ia justru lebih
banyak dikenal karena posternya daripada sosok kepribadian dan pemikirannya. Namun dalam tulisan
ini, saya tidak berusaha mengikuti dan melanjutkan trend yang sudah ada tersebut. Tidak juga untuk menjadikannya
sebagai Messiah sejati bagi perjuangan rakyat tertindas. Saya hanya akan
menempatkannya sebagai sosok Che selayaknya manusia biasa yang memiliki
cita-cita.
Che Guevara adalah
salah satu pejuang Marxis dari Amerika Latin yang lahir di Rosario, Argentina pada 14 Juni 1928. Ia berumur cukup pendek, 39
tahun, setelah tentara Bolivia menangkapnya pada tanggal 8 Oktober 1967 dan
menembaknya sehari kemudian. Pada awalnya, Che tidak langsung menjadi seorang
pejuang sebagaimana yang kita kenal sekarang. Ia awalnya hanya seorang pemuda
biasa yang hobi membaca di ruang makan. Ia mulai bersimpati dengan orang-orang
yang tertindas di masanya, setelah mengalami apa yang disebut dengan “pengalaman material” hingga kemudian
menjadikannya seorang gerilyawan. Akumulasi “pengalaman
material” itu didapatkannya melalui observasi realitas sosial secara
langsung. Juga, menyelaminya melalui
berbagai kegiatan bersama masyarakat Amerika Latin. Dengan begitu, sebenarnya
Che memulai jalan perjuangan lewat sesuatu yang sederhana, yaitu empati kepada
sesama. Ini membuat saya menjadi teringat dengan perkataan salah satu dosen, bahwa untuk
menjadi seorang Kiri itu mudah, hanya modal empati dan rasa kemanusiaan. Tentu,
itu untuk awalnya.
Namun demikian,
melihat pengalaman Che, kita tak akan bisa menjadi seorang yang revolusioner
dan mengubah kondisi dunia hanya dengan empati saja. Itu modal yang penting, tapi bukan segalanya.
Karena bila demikian, kita hanya menjadi penonton dalam kehidupan ini, bertindak
altruis,
dan terjebak dalam makian yang bersifat moralis. Kerja keras untuk selalu
menjadi yang terbaik adalah kuncinya. Pengembangan diri secara terus menerus untuk menjadi
kualitas pribadi yang lebih baik harus terus digiatkan. Sebagaimana suratnya
kepada salah satu anaknya, Hildita, ia berpesan tentang usaha tersebut. “...Kau harus
berjuang diantara yang terbaik di sekolah. Terbaik dalam setiap pengertian, dan
kau sudah mengetahui apa artinya ini: belajar dan sikap revolusioner. Dengan
kata lain: tindak-tanduk yang baik, kesungguhan, cinta pada revolusi, persaudaraan,
dsb” (Surat Kepada Hildita, 1966).
Perjuangan untuk meningkatkan diri itu tidak mudah, memang. Peningkatan
kualitas selalu disyaratkan oleh peningkatan kuantitas, mungkin membaca,
mungkin belajar memahami realitas sosial, mungkin kapasitas berorganisasi dan
sebagainya. Karl Marx, salah satu orang biasa dari Jerman, menyinggung hal ini bahwa perjuangan untuk membersamai mereka yang tertindas,
kemudian ikut terlibat dalam perjuangan pembebasannya, bukanlah jalan yang
mudah. Selain secara pengalaman fisik itu melelahkan, ia juga membutuhkan perjuangan yang keras di lapangan intelektual. Pengetahuan! Karena tanpa ada pengetahuan yang memadai, tidak akan ada
perjuangan yang memadai pula. Untuk itu, “There is no royal road to science,
and only those who do not dread the fatiguing climb of its steep paths have a
chance of gaining its luminous summits”, begitu
katanya dalam kata pengantar di Kapital I edisi Perancis. Tetapi, tak ada usaha yang tak membuahkan hasil. Dengan usaha terus menerus itu, dari itu kita bisa mendapatkan
pembacaan yang tepat secara ilmiah bagaimana perjuangan itu harus
dilakukan.
Berikutnya,
bila kita belajar dari pengalaman hidup Che, maka aspek penting dalam kehidupan
ini adalah praktek. Che menyadari bahwa perjuangan yang hanya dilamunkan saja,
atau hanya didebatkan saja, tidak mengubah keadaan. Ia perlu dipraktekan dalam
kehidupan nyata. Dalam hal ini, ia berusaha melakukan apa yang sering disebut
sebagai “praksis”. Itu mengacu pada
sebuah usaha untuk menggabungkan teori dan praktek di medan perjuangan. Menurut
saya, Che cukup bagus untuk menggambarkan hal demikian. Ia bisa menjadi teladan
bagi semua yang sedang belajar dan bercita-cita bisa seperti itu.
Di bidang
filsafat pun, hal demikian telah menjadi perdebatan. Tepatnya menjadi salah
satu kritik Marx terhadap filsuf di jamannya. Dan mungkin, juga untuk pemikir sekarang, Katanya, “Filsuf
mungkin dapat mengintepretasikan dunia dengan berbagai jalan, namun yang
menjadi lebih penting dari itu, adalah mengubahnya!” (Theses on Feuerbach
XI, 1845). Itulah aspek penting dari praksis. Dan, mungkin itu yang bisa kita
pelajari dari sosok Che.
Tetapi ingat, supaya tidak menjadi super hero di siang bolong, kemampuan
untuk berpraksis ini harus dilakukan secara kolektif dan teorganisir agar
memiliki daya dobrak yang lebih baik. Seperti kalimat yang sering diungkapkan orang-orang
Tarbiyah, “kebaikan yang tidak teorganisir, akan kalah oleh kejahatan yang
terorganisir”, adalah benar. Jadi bila ingin berpraksis, maka perlu
berorganisasi, Kiri tentunya.
Tak ketinggalan, menjadi sangat menarik dari Che adalah saat ia
juga memperhatikan anak-anaknya dengan cinta yang signifikan. Ia menjadi
seorang ayah seperti umumnya, dengan cinta, kasih sayang dan perhatian layaknya
manusia lumrahnya. Itu bisa dilihat dari surat-suratnya kepada
anak-anaknya. Karena bagaimanapun, seorang pejuang apalagi seorang Marxis ia
tetaplah seorang manusia. Ia juga bisa mencintai dan dicintai. Artinya, ini menjadi pelajaran penting bagi kita, bahwa yang belajar
tentang politik Kiri bagaimanapun tetap manusia. Nggak usahlah sok-sok menjadi jomblo abadi, dengan dalih membela mereka yang tertindas. Apalagi
memegang prinsip, “tak beranjak
berpacaran sebelum revolusi datang”. Itu sangat naif, Bro. Berpacaranlah
bila sudah ada materialnya (baca: calon yang mau), dan tahanlah bila belum ada
yang mau. So, tetap Kiri tapi jangan
lupa piknik.
Begitulah refleksi saya yang berusaha
menempatkannya sebagai sosok yang bisa dipelajari, tak lebih dari itu. Ia bukan
Nabi, Wali ataupun sosok Ratu Adil. Semoga, pelajaran-pelajaran itu memacu untuk
kehidupan yang lebih baik, minimal secara pribadi. Syukur-syukur bila dipraktekkan untuk sebuah cita dalam perjuangan mengubah masyarakat yang
lebih adil dan setara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar