Ajaran Adat/Budaya Papua dan Ajaran Alkitab/Kristen |
Seorang pendeta dari sebuah dedominasi gereja (maaf, saya tidak menyebutkan nama dedominasinya) di Papua sebagai
tokoh perintis yang pernah menyebarkan Alkitab di sejumlah wilayah di
sepanjang aliran sungai Mamberamo, pada suatu kesempatan bercerita
kepada saya, “Anak, saya menyesal sekali karena dulu menyiarkan Alkitab
secara membabi-buta. Karena kami diajarkan dan dipengaruhi oleh
Misionaris bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan adat dan budaya
adalah simbol dan tindakan berhala, maka kami jalan dari kampung ke
kampung dan memerintahkan masyarakat menghancurkan dan memusnahkan semua
barang-barang, ajaran-ajaran dan ritual-ritual yang berkaitan dengan
adat dan budaya.
Gereja Protestan modelnya begitu, menghancurkan dan
memusnahkan segala sesuatu yang berkaitan dengan adat dan budaya dengan
alasan menyembah berhala. Gereja Katolik masih baik, karena ajaran
Gereja Katolik diwartakan dan diletakkan di atas pondasi adat dan
budaya. Kami gereja Protestan yang ikut menghancurkan adat Papua.
Sekarang setelah semua hancur baru saya sadar bahwa adat dan budaya itu
penting, adat dan budaya itu kekuatan, adat dan budaya itu warisan
luhur. Dan yang paling penting adat dan budaya itu bukan berhala. Saya
baru tahu dan sadar, China dan Jepang berkembang cepat, maju dan
mayoritas rakyatnya sejahtera karena kedua negara itu dibangun di atas
pondasi adat dan budaya. Kita di Papua ini sudah hancur, kami Gereja
Protestan yang sudah kasih hancur. Ini dosa gereja, dosa kami, dan dosa
saya.”
Berangkat dari
kata-kata penyesalan dari pendeta yang berusia lanjut ini, ada beberapa
hal yang perlu dipahami dalam hal kaitan ajaran Alkitab dan Adat sebagai
berikut.
Pertama, (ajaran) agama apapun selalu terkontaminasi dengan adat dan budaya dimana agama itu lahir dan/atau berkembang. Misalnya, agama Kristen cenderung terkontaminasi dengan budaya Eropa (belakangan agama Protestan di Papua cenderung bersifat dan/atau berbudaya “keyahudi-yahudian ”atau “keisrael-israelan”), agama Islam cenderung terkontaminasi dengan adat dan budaya Arab, agama Hindu dan Budha cenderung terkontaminasi dengan adat dan budaya India, agama Yahudi cenderung terkontaminasi dengan adat dan budaya Yahui/Israel (bahkan adat dan budaya Yahudi itulah yang dianut sebagai “agama” Tahudi), agama Kong Hu Chu cenderung terkontaminasi dengan adat dan budaya Thionghoa (bahkan adat dan budaya Thionghoa itulah yang dianut sebagai “agama” Kong Hu Chu), dan agama lainpun cenderung begitu.
Kedua, jika ajaran agama Kristen telah terkontaminasi dengan adat dan budaya Eropa (yang belakangan agama Protestan di Papua cenderung bersifat dan/atau berbudaya “keyahudi-yahudian” atau “keisrael-israelan”), maka harus dipahami bahwa ajaran agama Kristen yang diwartakan di Papua juga merupakan pewartaan adat dan budaya Eropa (dan Yahudi/Israel) yang terselib dan terikat kuat dalam ajaran dan tradisi Alkitab. Uniknya, adat dan budaya Eropa dan Yahudi/Israel diwartakan, tetapi pada saat yang sama adat dan budaya Papua dihancurkan dan dimusnahkan. Adat dan budaya Eropa (dan Yahudi/Israel) dianggap “firman Tuhan”, sedangkan adat dan budaya Papua dianggap “firman Iblis”. Banyak pendeta atau siapa saja di Papua telah menjadi “Tim Sukses” yang sukses “meng-eropa-kan” dan “meng-yahudi-kan/meng-israel-kan” orang Papua dan mengasingkan orang Papua dari adat dan budaya luhurnya.
Ketiga, banyak dedominasi Gereja Protestan di Papua yang tidak mampu membedakan antara “ajaran Alkitab” dan “ajaran Adat”. Akibatnya, ajaran adat dan budaya yang terselib dan tertradisi dalam ajaran Alkitab dianggap, diimani, dan diagung-agungkan sebagai ajaran adat dan budaya yang luhur (bahkan dianggap sebagai “firman Tuhan”), sedangkan ajaran adat dan budaya yang tidak terkontaminasi dalam ajaran Alkitab dianggap ajaran kafir dan dihancurkan. Ajaran adat dan budaya Eropa dan Yahudi/Israel dianggap, diimani, dan diagung-agungkan sebagai ajaran adat dan budaya yang luhur (bahkan dianggap sebagai “firman Tuhan”), sedangkan ajaran adat dan budaya Papua dimusuhi, dilecehkan, dan dihancurkan (karena dianggap sebagai “firman Iblis”).
Keempat, selain tidak mampu membedakan antara ajaran Alkitab dan ajaran Adat, banyak dedominasi Gereja Protestan di Papua yang mempunyai “tradisi memahami isi Alkitab secara parsial dan hanya tekstual”. Isi Alkitab selalu dipahami secara sepotong-potong dan terpisah-pisah. Isi Alkitab selalu dipahami hanya secara tekstual (semata-mata yang tertulis) tanpa dikaitkan dengan kondisi kontekstual (perkembangan zaman; waktu dan tempat dimana isi Alkitab itu diwartakan). Dalam pewartaan Alkitab, kondisi Papua selalu dipahami seakan-akan sebagai “Israel di masa Perjanjian Lama” atau “Israel di masa Perjajian Baru”).
Padahal saat ini, ketika isi Alkitab di wartakan di Papua, tempatnya adalah “Papua di abad 20 dan abad 21”. Tentu saja tempatnya, waktunya dan konteksnya sudah berbeda. Sehingga seharusnya pemaknaan, penafsiran, dan peruntukan firman Tuhan sudah berbeda mengikuti perkembangkan zaman, kondisi masyarakat/jemaat, tempat, dan waktu tanpa meninggalkan nilai dasar firman Tuhan. Kondisi faktual Papua di abad 20 dan abad 21 (dan seterusnya) dan segala dinamikanya harus menjadi “lahan garapan” penyebaran ajaran Alkitab.
Kelima, jika adat dan budaya Papua adalah ajaran kafir yang harus dihancurkan dan dimusnahkan, lalu (setelah adat dan budaya Papua telah hancur dan musnah, dan setelah kita menganut budaya Eropa dan Yahudi/Israel), sekarang apa hasil dari ajaran adat dan budaya Eropa dan Yahudi/Israel yang terselib di dalam ajaran Alkitab di Papua? Apakah kita telah menjadi orang-orang beradab? Apakah kita telah menjadi orang-orang yang beretika dan bermoral? Apakah kita telah menjadi orang-orang yang bercinta-kasih? Apakah kita telah menjadi orang-orang yang telah bahagia dan sejahtera? Apakah kita telah menjadi orang-orang yang sukses dalam pembangunan? Apakah kita menjadi orang-orang yang telah memenuhi syarat untuk masuk surga? Atau jangan-jangan kita sudah tidak menjadi apa-apa lagi; tidak laku di dunia dan tidak laku di surga. Lantas?
Keenam, saya kira yang paling penting kedepan adalah “revolusi”. Segenap orang di Papua yang beragam Kristen harus merevolusi otak, merevolusi hati, dan merevolusi tindakan dalam memahami dan/atau menghayati dan mengamalkan firman Tuhan yang diajarkan melalui Alkitab secara sungguh-sungguh. Harus dipahami, kita baru mengenal dan baru beragama Kristen tetapi leluhur kita sudah ada sebelum kita mengenal dan beragama Kristen. Itu artinya, cinta-kasih Allah dan firman Allah sudah ada dalam hidup orang Papua sejak leluhur perdana orang Papua diciptakan dan/atau dilahirkan. Jadi, hargailah dan lestarikanlah adat dan budaya Papua bersandingan dengan ajaran Alkitab, karena keduanya adalah “kekuatan hidup”.
(Dumupa Odiyaipai)
Pertama, (ajaran) agama apapun selalu terkontaminasi dengan adat dan budaya dimana agama itu lahir dan/atau berkembang. Misalnya, agama Kristen cenderung terkontaminasi dengan budaya Eropa (belakangan agama Protestan di Papua cenderung bersifat dan/atau berbudaya “keyahudi-yahudian ”atau “keisrael-israelan”), agama Islam cenderung terkontaminasi dengan adat dan budaya Arab, agama Hindu dan Budha cenderung terkontaminasi dengan adat dan budaya India, agama Yahudi cenderung terkontaminasi dengan adat dan budaya Yahui/Israel (bahkan adat dan budaya Yahudi itulah yang dianut sebagai “agama” Tahudi), agama Kong Hu Chu cenderung terkontaminasi dengan adat dan budaya Thionghoa (bahkan adat dan budaya Thionghoa itulah yang dianut sebagai “agama” Kong Hu Chu), dan agama lainpun cenderung begitu.
Kedua, jika ajaran agama Kristen telah terkontaminasi dengan adat dan budaya Eropa (yang belakangan agama Protestan di Papua cenderung bersifat dan/atau berbudaya “keyahudi-yahudian” atau “keisrael-israelan”), maka harus dipahami bahwa ajaran agama Kristen yang diwartakan di Papua juga merupakan pewartaan adat dan budaya Eropa (dan Yahudi/Israel) yang terselib dan terikat kuat dalam ajaran dan tradisi Alkitab. Uniknya, adat dan budaya Eropa dan Yahudi/Israel diwartakan, tetapi pada saat yang sama adat dan budaya Papua dihancurkan dan dimusnahkan. Adat dan budaya Eropa (dan Yahudi/Israel) dianggap “firman Tuhan”, sedangkan adat dan budaya Papua dianggap “firman Iblis”. Banyak pendeta atau siapa saja di Papua telah menjadi “Tim Sukses” yang sukses “meng-eropa-kan” dan “meng-yahudi-kan/meng-israel-kan” orang Papua dan mengasingkan orang Papua dari adat dan budaya luhurnya.
Ketiga, banyak dedominasi Gereja Protestan di Papua yang tidak mampu membedakan antara “ajaran Alkitab” dan “ajaran Adat”. Akibatnya, ajaran adat dan budaya yang terselib dan tertradisi dalam ajaran Alkitab dianggap, diimani, dan diagung-agungkan sebagai ajaran adat dan budaya yang luhur (bahkan dianggap sebagai “firman Tuhan”), sedangkan ajaran adat dan budaya yang tidak terkontaminasi dalam ajaran Alkitab dianggap ajaran kafir dan dihancurkan. Ajaran adat dan budaya Eropa dan Yahudi/Israel dianggap, diimani, dan diagung-agungkan sebagai ajaran adat dan budaya yang luhur (bahkan dianggap sebagai “firman Tuhan”), sedangkan ajaran adat dan budaya Papua dimusuhi, dilecehkan, dan dihancurkan (karena dianggap sebagai “firman Iblis”).
Keempat, selain tidak mampu membedakan antara ajaran Alkitab dan ajaran Adat, banyak dedominasi Gereja Protestan di Papua yang mempunyai “tradisi memahami isi Alkitab secara parsial dan hanya tekstual”. Isi Alkitab selalu dipahami secara sepotong-potong dan terpisah-pisah. Isi Alkitab selalu dipahami hanya secara tekstual (semata-mata yang tertulis) tanpa dikaitkan dengan kondisi kontekstual (perkembangan zaman; waktu dan tempat dimana isi Alkitab itu diwartakan). Dalam pewartaan Alkitab, kondisi Papua selalu dipahami seakan-akan sebagai “Israel di masa Perjanjian Lama” atau “Israel di masa Perjajian Baru”).
Padahal saat ini, ketika isi Alkitab di wartakan di Papua, tempatnya adalah “Papua di abad 20 dan abad 21”. Tentu saja tempatnya, waktunya dan konteksnya sudah berbeda. Sehingga seharusnya pemaknaan, penafsiran, dan peruntukan firman Tuhan sudah berbeda mengikuti perkembangkan zaman, kondisi masyarakat/jemaat, tempat, dan waktu tanpa meninggalkan nilai dasar firman Tuhan. Kondisi faktual Papua di abad 20 dan abad 21 (dan seterusnya) dan segala dinamikanya harus menjadi “lahan garapan” penyebaran ajaran Alkitab.
Kelima, jika adat dan budaya Papua adalah ajaran kafir yang harus dihancurkan dan dimusnahkan, lalu (setelah adat dan budaya Papua telah hancur dan musnah, dan setelah kita menganut budaya Eropa dan Yahudi/Israel), sekarang apa hasil dari ajaran adat dan budaya Eropa dan Yahudi/Israel yang terselib di dalam ajaran Alkitab di Papua? Apakah kita telah menjadi orang-orang beradab? Apakah kita telah menjadi orang-orang yang beretika dan bermoral? Apakah kita telah menjadi orang-orang yang bercinta-kasih? Apakah kita telah menjadi orang-orang yang telah bahagia dan sejahtera? Apakah kita telah menjadi orang-orang yang sukses dalam pembangunan? Apakah kita menjadi orang-orang yang telah memenuhi syarat untuk masuk surga? Atau jangan-jangan kita sudah tidak menjadi apa-apa lagi; tidak laku di dunia dan tidak laku di surga. Lantas?
Keenam, saya kira yang paling penting kedepan adalah “revolusi”. Segenap orang di Papua yang beragam Kristen harus merevolusi otak, merevolusi hati, dan merevolusi tindakan dalam memahami dan/atau menghayati dan mengamalkan firman Tuhan yang diajarkan melalui Alkitab secara sungguh-sungguh. Harus dipahami, kita baru mengenal dan baru beragama Kristen tetapi leluhur kita sudah ada sebelum kita mengenal dan beragama Kristen. Itu artinya, cinta-kasih Allah dan firman Allah sudah ada dalam hidup orang Papua sejak leluhur perdana orang Papua diciptakan dan/atau dilahirkan. Jadi, hargailah dan lestarikanlah adat dan budaya Papua bersandingan dengan ajaran Alkitab, karena keduanya adalah “kekuatan hidup”.
(Dumupa Odiyaipai)