Thomas Dandois. Foto: Ist. |
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Kepolisian Daerah (Polda) Papua,
Kepolisian Resort (Polres) Jayawijaya menangkap seorang wartawan asal
Prancis, Thomas Dandois (40) di Hotel Mas Budi, Wamena, Kabupaten
Jayawijaya, Kamis (07/08/14) kemarin, Pukul 09.30 waktu setempat.
Ia ditangkap bersama tiga orang yang menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Sulistyo Pudjo Hartono adalah anak buah Puron Wenda dan Enden Wanimbo berinisial JW, 24 tahun, LK (17), dan DD (27).
Puron Wenda dan Enden Wanimbo adalah komandan Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) wilayah Lanny Jaya. Kelompok Puron Wenda dan Enden Wanimbo dalam beberapa pekan terakhir ini melakukan baku tembak dengan TNI/Polri dan menewaskan sejumlah polisi.
Thomas Dandois adalah seorang sutradara Prancis dan peliput berita di daerah konflik seperti Somalia, Darfur, Chechnya dan Burma.
Melakukan "Peliputan Ilegal"
Alasan penangkapan Thomas Dandois menurut Sulistyo Pudjo Hartono adalah karena dia telah menyalahi izin visa seperti yang tertulis dalam paspornya.
"Dalam visa Thomas, dia berkunjung ke Wamena sebagai turis. Tapi, kenyataannya, dia meliput di Wamena. Jelas dia melakukan peliputan ilegal," katanya.
Dikatakan, Polda Papua masih menyelidiki keberadaan jurnalis Prancis ini, apakah sebagai jurnalis atau orang yang bekerja di lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing. Karena, kata dia, hingga saat ini, baik jurnalis maupun LSM asing masih dilarang pemerintah Indonesia untuk melakukan peliputan ataupun penelitian di Papua.
Dalami Aturan Hukum
Polda Papua mengatakan, hingga siang tadi, pihaknya masih mendalami regulasi yang akan diterapkan terkait pelanggaran yang dilakukan wartawan Prancis ini.
Dikatakannya, ada tiga peraturan yang dapat dipakai dalam kasus ini, yakni Undang-Undang Pers, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan peraturan tentang keimigrasian.
Seperti dirilis sejumlah media, Kepala Pelaksana Harian Kantor Imigrasi Wilayah Jayapura Edward Infaindan mengatakan, nama Thomas tidak terdaftar dalam daftar kunjungan di Jayapura. Kemungkinan dia telah membayar visa kunjungan di Denpasar, Bali, sebelum bertolak ke Papua.
Sementara, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura, Victor Mambor mengatakan, masalah terkait Thomas telah masuk ranah politik karena berkaitan dengan keamanan negara. Karena itu, pihaknya masih menanti proses pemeriksaan Thomas di Polda Papua.
Tak Dibenarkan dalam Konteks Kebebasan Pers
Victor Mambor berpendapat, walaupun penangkapan ini sudah masuk ke ranah politik, dalam konteks kebebasan pers, tindakan aparat keamanan menahan jurnalis asing di Wamena tidak dapat dibenarkan.
"Karena peluang wartawan asing mendapat izin meliput di Papua sangat sulit. Padahal, banyak wartawan asing bebas meliput di kota-kota lain di Indonesia," kata Mambor.
Hal senada juga dikatakan peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono. "Pertanyaannya sederhana. Bila seseorang hendak bikin film dokumenter, katakanlah, di Makassar atau di Solo, apakah dia akan ditangkap?" tuturnya dalam wawancara elektronik malam ini, Jumat (08/08/14).
Papua, Secara Hukum, Bukan Wilayah Konflik
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Sulistyo Pudjo Hartono mengatakan, baik jurnalis maupun LSM asing masih dilarang pemerintah Indonesia untuk melakukan peliputan ataupun penelitian di Papua. Padahal, secara hukum Papua belum ditetapkan sebagai wilayah konflik.
"Papua, secara hukum, bukan wilayah konflik karena ia tak dinyatakan dengan hukum," kata peneliti HRW, Andreas Harsono.
"Menurut UU Pers tahun 1999, negara boleh membatasi akses ke suatu daerah di Indonesia dengan alasan-alasan keamanan, tapi ia harus dinyatakan dengan undang-undang. Apakah ada undang-undang yang menyatakan Papua sebagai daerah darurat militer?" katanya mempertanyakan.
"Saya kira tidak ada, sehingga secara hukum, akses wartawan asing ke Papua seharusnya sama dengan akses ke Makassar atau Solo karena di daerah lain juga ada kriminalitas. Papua, Makassar dan Solo harus dianggap kriminalitas saja bila terjadi kekerasan," jelasnya.
Ia lebih lanjut menjelaskan, Dewan Pers pernah menyatakan bahwa akses wartawan asing ke Papua harus diberlakukan sama dengan provinsi-provinsi lain karena tak boleh ada diskriminasi di Indonesia. Prakteknya, sejak 1963, naik dan turun, selalu ada pembatasan akses wartawan dan peneliti internasional ke Papua.
"Ini praktek diskriminasi. Ia harus dihentikan," pintanya.
Penangkapan Wartawan Prancis di Papua Tidak Hanya Thomas Dandois
Pada tahun 2010, dua wartawan TV Prancis, Baudoin Koenig (kameramen) dan Carol (reporter) ditangkap pihak Imigrasi Kelas 1 Jayapura, saat sedang melakukan peliputan aksi demonstrasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Gedung DPR Papua.
Ketika itu, Baudoin Koenig dan Carol dinilai menyalahgunakan izin masuk ke Indonesia.
Menurut Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Jayapura, Edward Silitonga, penangkapan terhadap dua warga asing kala itu dikarenakan keduanya menyalahgunakan izin yang diberikan. (GE/003/MS)
Ia ditangkap bersama tiga orang yang menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Sulistyo Pudjo Hartono adalah anak buah Puron Wenda dan Enden Wanimbo berinisial JW, 24 tahun, LK (17), dan DD (27).
Puron Wenda dan Enden Wanimbo adalah komandan Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) wilayah Lanny Jaya. Kelompok Puron Wenda dan Enden Wanimbo dalam beberapa pekan terakhir ini melakukan baku tembak dengan TNI/Polri dan menewaskan sejumlah polisi.
Thomas Dandois adalah seorang sutradara Prancis dan peliput berita di daerah konflik seperti Somalia, Darfur, Chechnya dan Burma.
Melakukan "Peliputan Ilegal"
Alasan penangkapan Thomas Dandois menurut Sulistyo Pudjo Hartono adalah karena dia telah menyalahi izin visa seperti yang tertulis dalam paspornya.
"Dalam visa Thomas, dia berkunjung ke Wamena sebagai turis. Tapi, kenyataannya, dia meliput di Wamena. Jelas dia melakukan peliputan ilegal," katanya.
Dikatakan, Polda Papua masih menyelidiki keberadaan jurnalis Prancis ini, apakah sebagai jurnalis atau orang yang bekerja di lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing. Karena, kata dia, hingga saat ini, baik jurnalis maupun LSM asing masih dilarang pemerintah Indonesia untuk melakukan peliputan ataupun penelitian di Papua.
Dalami Aturan Hukum
Polda Papua mengatakan, hingga siang tadi, pihaknya masih mendalami regulasi yang akan diterapkan terkait pelanggaran yang dilakukan wartawan Prancis ini.
Dikatakannya, ada tiga peraturan yang dapat dipakai dalam kasus ini, yakni Undang-Undang Pers, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan peraturan tentang keimigrasian.
Seperti dirilis sejumlah media, Kepala Pelaksana Harian Kantor Imigrasi Wilayah Jayapura Edward Infaindan mengatakan, nama Thomas tidak terdaftar dalam daftar kunjungan di Jayapura. Kemungkinan dia telah membayar visa kunjungan di Denpasar, Bali, sebelum bertolak ke Papua.
Sementara, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura, Victor Mambor mengatakan, masalah terkait Thomas telah masuk ranah politik karena berkaitan dengan keamanan negara. Karena itu, pihaknya masih menanti proses pemeriksaan Thomas di Polda Papua.
Tak Dibenarkan dalam Konteks Kebebasan Pers
Victor Mambor berpendapat, walaupun penangkapan ini sudah masuk ke ranah politik, dalam konteks kebebasan pers, tindakan aparat keamanan menahan jurnalis asing di Wamena tidak dapat dibenarkan.
"Karena peluang wartawan asing mendapat izin meliput di Papua sangat sulit. Padahal, banyak wartawan asing bebas meliput di kota-kota lain di Indonesia," kata Mambor.
Hal senada juga dikatakan peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono. "Pertanyaannya sederhana. Bila seseorang hendak bikin film dokumenter, katakanlah, di Makassar atau di Solo, apakah dia akan ditangkap?" tuturnya dalam wawancara elektronik malam ini, Jumat (08/08/14).
Papua, Secara Hukum, Bukan Wilayah Konflik
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Sulistyo Pudjo Hartono mengatakan, baik jurnalis maupun LSM asing masih dilarang pemerintah Indonesia untuk melakukan peliputan ataupun penelitian di Papua. Padahal, secara hukum Papua belum ditetapkan sebagai wilayah konflik.
"Papua, secara hukum, bukan wilayah konflik karena ia tak dinyatakan dengan hukum," kata peneliti HRW, Andreas Harsono.
"Menurut UU Pers tahun 1999, negara boleh membatasi akses ke suatu daerah di Indonesia dengan alasan-alasan keamanan, tapi ia harus dinyatakan dengan undang-undang. Apakah ada undang-undang yang menyatakan Papua sebagai daerah darurat militer?" katanya mempertanyakan.
"Saya kira tidak ada, sehingga secara hukum, akses wartawan asing ke Papua seharusnya sama dengan akses ke Makassar atau Solo karena di daerah lain juga ada kriminalitas. Papua, Makassar dan Solo harus dianggap kriminalitas saja bila terjadi kekerasan," jelasnya.
Ia lebih lanjut menjelaskan, Dewan Pers pernah menyatakan bahwa akses wartawan asing ke Papua harus diberlakukan sama dengan provinsi-provinsi lain karena tak boleh ada diskriminasi di Indonesia. Prakteknya, sejak 1963, naik dan turun, selalu ada pembatasan akses wartawan dan peneliti internasional ke Papua.
"Ini praktek diskriminasi. Ia harus dihentikan," pintanya.
Penangkapan Wartawan Prancis di Papua Tidak Hanya Thomas Dandois
Pada tahun 2010, dua wartawan TV Prancis, Baudoin Koenig (kameramen) dan Carol (reporter) ditangkap pihak Imigrasi Kelas 1 Jayapura, saat sedang melakukan peliputan aksi demonstrasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Gedung DPR Papua.
Ketika itu, Baudoin Koenig dan Carol dinilai menyalahgunakan izin masuk ke Indonesia.
Menurut Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Jayapura, Edward Silitonga, penangkapan terhadap dua warga asing kala itu dikarenakan keduanya menyalahgunakan izin yang diberikan. (GE/003/MS)
Sumber : www.majalahselangkah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar