Minggu, 20 Juli 2014

KONFLIK DICIPTAKAN DAN DIPELIHARA DEMI PEMUSNAHAN ETNIS DI PAPUA

Foto: Konlik ideologi ganda/ist, dok B-TPN
Konflik, Sudah tidak asing lagi di telinga kita bahkan hampir sakit mendengarnya. Papua sebuah pulau yang tidak pernah luput dari yang namanya konflik. Mulai dari sebelum papua secara sah dianeksasi ke dalam wilayah Indonesia konflik itu sudah menjadi masalah yang tidak pernah terobati hingga saat ini.
Konflik sendiri berasal dari sebuah kata dalam bahasa latin configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik dipandang sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau dua kelompok yang berusaha untuk saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya. Konflik itu pun terbagi dalam dua bentuk, konflik fungsional yaitu konflik yang disengaja dan disfungsional konflik yang tidak disengaja.

Konflik pada dasarnya bertentangan dengan integrasi. Konflik berjalan sebagai sebuah siklus di dalam kehidupan masyarakat. Konflik yang terkontrol menghasilkan sebuah integrasi. Dan integrasi yang tidak sempurna akan menghasilkan konflik. Integrasi yang tidak sempurna ini yang mengakibatkan konflik di Papua tidak pernah terselesaikan hingga saat ini.

Dalam pandangan pribadi penulis, konflik yang berjalan di Papua tergolong konflik fungsional. Karena, jika dilihat dan diamati secara mendalam, konflik itu sengaja diciptakan dan tercium unsur-unsur kesengajaan misalnya perdagangan miras oleh para penegak hukum dan tidak pernah ada langkah tegas yang dilakukan baik dari pusat maupun daerah. Konflik di Papua terus terjadi akibat integrasi yang tidak sempurna. Ribuan rakyat diteror dan diintimidasi bahkan dibunuh karena menolak untuk memilik bergabung ke dalam Indonesia. Integrasi yang tidak sempurna ini akhirnya melahirkan konflik yang tidak pernah surut di tanah Papua.

Konflik pada hakikatnya terjadi karena adanya perbedaan suku, ras, budaya, adat, Bahasa, kepentingan antar kelompok, maupun pendapat perseorangan. Integrasi Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah pokok atau inti dari segala konflik yang ada di Papua. Integrasi yang tidak sempurna penuh kemunafikan tipu daya, penuh kepentingan negara hukum berkedok demokrasi Indonesia, demi kepentingan ekonomi dan politik di Papua.

Jika kita melihat kembali tujuan awal Indonesia menganeksasi Papua ke dalam Indonesia karena Sumber Daya Alam (SDA) yang begitu melimpa dan bukan karena Sumber Daya Manusia (SDM) di Papua. Hal ini dikatakan oleh Bapak Elias Yos Moiwend saksi hidup yang saat itu bertugas membantu Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mensosialisasikan soal pelaksanaan PEPERA di Papua. Perkataan Bapak E. Y. Moiwend itu, diperkuat oleh perkataan Ali Murtopo yang mengatakan jika Orang Papua ingin merdeka minta kepada Amerika untuk mengantar Orang Papua ke bulan atau pergi mencari pulau baru di lautan pasifik untuk merdeka di sana. Jelas dan nyata dalam setiap praktek yang dilakukan Indonesia terhadap Orang Asli Papua hari ini.

Eksploitasi besar-besaran terus dilancarkan demi menguras harta kekayaan yang terkandung di dalam perut Bumi Papua. Eksploitasi luar biasa yang dilakukan demi kekayaan perut kapitalis tidak memandang nasib dan masa depan masyarakat yang memiliki hak atas tanah leluhur mereka. Rakyat pemilik hak tanah dianggap virus yang harus dibasmi demi kelancaran pengekploitasian. Militer pun menjadi tujuan akhir untuk menjadi tameng terkuat demi kenyamanan pengoperasian. Rakyat pribumi semakin tersisih dan berkurang secara perlahan dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun.

Dalam sebuah laporan West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: Slow Motion Genocide or not? For Comprehending West Papua Conference, Sydney University, February 23-24, 2011." tahun 1971, Penduduk Asli Papua 887.000 orang. Pendatang 36.000 orang. Total Penduduk 923.000; dalam presentase Papua 96% dan Pendatang 4%.

Tahun 1990, Penduduk Asli Papua 1.215,897 dan Pendatang 414.210. Total Penduduk 1.630.107. Presentase 75% Penduduk Asli Papua dan 25% Pendatang. Tahun 2005, Penduduk Asli Papua 1.558.795 dan Pendatang 1.087.694. Total 2.646.489. Presentase 59% Penduduk Asli Papua dan 41% Pendatang.

Tahun 2011, Penduduk Asli Papua 1.700.000 dan Pendatang 1.980.000. Total 3.680.000. Presentase 47% Penduduk Asli Papua dan Pendatang 55%.

Sehingga diperkirakan pada tahun 2020, Penduduk Asli Papua 1.956.400 dan Pendatang 4.743.600. Total 6.700.000. Presentase 29,2% Penduduk Asli Papua dan 70.8% Pendatang. Tahun 2030, Penduduk Asli Papua 2.371.200 dan Pendatang 13.228.800. Total 15.600.000. Presentase 15,2% dan Pendatang mencapai 84.80%.

Bila dikomparasikan (dibandingkan) jumlah penduduk OAP Papua tahun 1969 sebanyak 800.000 dan PNG 700.000. Sekarang penduduk PNG sebanyak 6.000.000 (enam juta) jiwa. (lihat: Majalah Selangkah)

Sampai hari ini berbagai kebijakan terus diluncurkan ke Papua untuk meningkatkan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Pribumi Papua. Namun ketidakkonsistenan pemerintah pusat terus berjalan. Dan pengabaian terhadap kasus korupsi yang memuncak ini, membuktikan bahwa pemerintah pusat sedang membiarkan atau merawat konflik yang semakin komplex.

Semua konflik di Papua terorganisir dari pusat dengan tujuan akhir Orang Asli Papua (OAP) musnah (Pemusnahan Etnis Melanesia di Papua). Hal ini dilakukan agar dengan leluasa dapat menguras kekayaan alam di Papua.

Kembali kepada tujuan awal Indonesia mengintegrasi Papua ke dalam wilayah Republik Indonesia karena Sumber Daya Alamnya dan bukan karena Sumber Daya Manusianya. Orang Asli Papua (OAP) sejak dipersatukan dengan paksa, dijadikan warga negara kelas ke 2, ke 3, dan seterusnya oleh pemerintah pusat di Jakarta. Banyak konflik yang terorganisir dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap Orang Papua.

Setelah diikuti, Orang Papua di zaman sekarang, lebih bernafsu untuk berjuang demi jabatan dan uang. Hal itu dianut setelah Orang Papua mengenal uang kertas dan kemewaan seperti motor, mobil, dll.

Bagi Orang Papua zaman sekarang menjadi sukses dan bisa mendapatkan uang banyak hanya dengan berprofesi sebagai pejabat yang mempunyai jabatan tinggi di pemerintahan. Hal tersebut dibenarkan penulis karena banyak Orang Papua yang berpindah profesi sebagai politikus.Itu terjadi karena, dengan berprofesi sebagai pejabat pemerintahan memiliki jaminan hidup yang lebih tinggi dibanding profesi lain, walaupun profesi itu hanya sebatas waktu. Namun, beribu kecurangan yang dilakukan selama menjabatnya seperti korupsi yang berlebihan demi memadatkan isi perut, yang mengakibatkan rakyat kembali menjadi sengsara. Aneh jika hal ini tidak diketahui Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), sementara kasus korupsi hambalang yang dimainkan oleh politikus hebat, seperti Anas Urbaninggrum dapat terungkap.

Berbicara mengenai politikus dan jabatan, Papua hari ini ramai dengan pemekaran yang membuat para politikus pemadat uang bergirang. Walau tidak pernah berpikir jumlah Orang Asli Papua (OAP) yang semakin berkurang.

Pdt. Socratez Sofyan Yoman mengecam dengan tegas bahwa pemekaran yang dilakukan oleh Indonesia di Papua hanya untuk memisahkan relasi yang baik yang sudah terbangun di antara Orang Papua sejak dulu dan ujung-ujungnya mematikan perjuangan Papua Merdeka yang berujung pada pemusnahan etnis Melanesia di Papua.

Dalam sebuah dokumen sangat rahasia yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri Ditjen Kesbang dan Linmas dalam nota dinas No. 578/ND/KESBANG/DIV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000 berdasarkan radio gram Gubernur (Caretaker) Kepala Daerah tingkat I Irian Jaya No. BB.091/POM/060200, tertanggal Juni 2000 dan No. 190/1671/SET/ tertanggal 3 Juni 2000. Tujuan utama dokumen itu ialan pengondisian wilayah dan pengembangan jaringan komunikasi dan pembentukan provinsi dan kabupaten atau kota di Papua.(lihat: Majalah Selangkah)

Dokumen lain adalah dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariatan Jendral, Jakarta, 27 Mei 2003 dan tanggal 28 Mei 2003 tentang strategis penyelesaian konflik berlatar belakang separatis di Provinsi Papua dengan pendekatan bidang politik keamanan.(lihat: Majalah Selangkah)

Kedua dokumen itu menurut Pdt. Yoman memperlihatkan wajah dan karakter militeristik pemerintah Indonesia yang mencaplok dan menduduki tanah Papua Barat dan menjajah penduduk pribumi, Orang Melanesia melalui rekayasa politik sejak 1 Mei 1963, PEPERA 1969 dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus sampai saat ini.

Secara tidak langsung Pemerintah Indonesia merencanakan konflik yang mungkin terjadi antar kelompok, suku, agama, bahkan antar para politikus dengan lawan politiknya.

Penulis sedang kuliah di Tanah Kolonial, dipanggil Robinh Hugo C. A.*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar