![]() |
Uskup Timika Mgr John Philip Saklil (Foto/Kobogaunews |
Timika, KOBOGAUNEWS - Tanah Papua selalu bergejolak. Pertikaian dan konflik sosial hampir
terjadi tiap hari di pulau paling timur Indonesia itu.
Masyarakat
pun tak henti menuntut kemerdekaan. Mereka tidak puas dengan bergabung ke
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Uskup
Timika Mgr John Philip Saklil mengemukakan penyebab semua gejolak itu karena
adanya ketimpangan sosial yang tajam terjadi di Papua. Ketimpangan terjadi
hampir di semua lini kehidupan masyarakat.
Yang
kaya semakin kaya, sementara yang miskin terus melarat. Yang parahnya adalah
masyarakat yang kaya itu kebanyakan pendatang, sementara masyarakat lokal
terpinggirkan.
Ketimpangan
sosial juga berupa hampir semua kekayaan tanah Papua dikuasai pemodal dan pihak
luar. Sementara masyarakat lokal tidak diberi akses atau kesempatan untuk
menguasai kekayaannya karena tidak punya modal dan kekuatan.
Anehnya,
hasil kekakayaan itu tidak dinikmati masyarakat lokal. Masyarakat tetap saja
terisolir dan miskin. Sementara masyarakat pendatang seperti karyawan PT
Freeport menikmati gaji yang sangat tinggi dan hidup sangat mewah.
Ketimpangan
lainnya adalah elite dan pejabat di Papua hidup sangat mewah, sementara
masyarakat di pedesaan hidup melarat. Pembangunan tidak sampai ke desa atau
kampung, tetapi menumpuk di kota dan hanya dinikmati segelintir orang.
"Kalau dibawa ke persentasi, maka angka ketimpangan mencapai 75 persen.
Ini yang menimbulkan gejolak. Ketimpangan terjadi di berbagai segi dengan
investor besar dan masyarakat pendatang satu sisi dan masyarakat lokal di sisi
lain. Tidak ada upaya adanya pemerataan pembangunan di tanah Papua," kata
John .
Ia
mengemukakan itu sebagai hasil analisisnya setelah delapan tahun memimpin
Keuskupan Timikia. Sebagai putra asli Timikia, dia juga sangat memahami dan
mengetahui persoalan yang terjadi di Papua.
Dia
mengemukakan otonomi khusus (Otsus) memang sebagai satu jalan yang baik untuk
mengatasi ketimpangan, sekaligus untuk membangun Papua. Tetapi sayangnya Otsus
itu tidak dilengkapi dengan aturan dan kebijakan pendukung di lapangan.
Otsus
dilemparkan begitu saja oleh pemerintah pusat, tanpa ada aturan dan kemauan
politik yang serius untuk membangun Papua.
Sebagai
contoh dana yang digelontorkan terkait program Otsus sangat besar. Namun dana
itu tidak diikuti aturan yang mendorong agar bisa sampai ke masyarakat
setempat. Dana hanya menumpuk di elit dan pusat kota. Akibatnya, yang terjadi
adalah perebutan dana otsus.
Celakanya,
perebutan dana itu terjadi di antara orang-orang yang masuk ke Papua berupa
rebutan proyek.
"Semua
orang ke Papua untuk rebutan proyek dan kekayaan tanah Papua. Dana yang mereka
peroleh bukan untuk memajukan Papua, tetapi di bawa ke luar. Ini yang membuat
Papua tidak maju-maju karena dananya tidak mengalir dan bergerak di tanah
Papua, tetapi dibawa keluar," ujar pemimpin umat Katolik se-Keuskupan
Timika tersebut.
Dia
juga mengkritisi ide Otsus yang membaca Papua menurut kaca mata Jakarta
(pemerintah pusat). Masalah Papua diselesaikan menurut pemahaman orang Jakarta.
Partisipasi masyarakat setempat sangat minim, bahkan hampir tidak ada.
Akibatnya,
masyarakat setempat tidak bersemangat untuk mensukseskan program Otsus. Apalagi
Otsus hanya menjadi ajang rebutan proyek di tingkat elite dan orang luar.
"Otsus itu baik dan masih perlu diterapkan, tetapi harus disempurnakan.
Harus ada peraturan-peraturan di lapangan yang bisa mengefektifkan program
otsus. Peraturan daerah atau kebijakan lain untuk mendukung Otsus harus dibuat.
Perlu juga melibatkan masyarakat setempat dalam menyusunya. Jangan melempar
begitu saja tanpa ada peraturan yang mengaturnya," tutur John yang juga
Ketua Komisi Kepemudaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI).
Dia
juga secara khusus mengkritis kehadiran PT Freeport di Papua. Menurutnya,
kehadiran perusahaan raksasa Amerika Serikat itu tidak memberikan perubahan
banyak bagi masyarakat Papua.
Yang
terjadi malah dia membentuk kota atau negara tersendiri di Timika. Kota yang
dibentuk beda sendiri dan sangat jomplang dengan masyarakat sekitarnya.
Kompleks PT Freeport sangat mewah dengan karyawan berpenghasilan tinggi.
Lampu-lampu listrik menyala di mana-mana dengan sangat megah.
Berbeda sekali dengan masyarakat yang berada di luar pagarnya, yang tidak
mendapat penerangan listrik dan hidup sangat miskin. Mereka hanya menonton
kemewahan kompleks Freeport.
Kondisi
ini tidak dipikirkan PT Freeport. Akibanya menimbulkan kecemburuan sosial yang
berujung pada gejolak.
Dia
juga menyayangkan sikap negara atau pemerintah yang sangat lemah terhadap
Freeport. PT Freeport dinilainya lebih mengendalikan negara atau pemerintah,
baik di daerah maupun di pusat.
Bukan
sebaliknya negara Indonesia yang mengatur Freeport. Kondisi ini menimbulkan
penilaian dalam masyarakat bahwa pemerintah lebih melindungi Freeport, bukan
mempengaruhi Freeport untuk memajukan Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar