Minggu, 23 Maret 2014

PEMIMPIN MELANESIA SEDANG MEMPERTIMBANGKAN, KEANGGOTAAN PAPUA BARAT DI MSG

Perdana Menteri Solomon Kepulauan Gordon Darcy Lilo dan Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono(Jubi/ist)
Jayapura, 23/3 (Jubi)-Perdana Menteri Kepulauan Solomon Gordon Darcy Lilo mengatakan setiap upaya untuk penentuan nasib sendiri(self determination) di wilayah Papua Indonesia harus dibuat dalam hubungannya dengan Jakarta.

Perdana Menteri Kepulauan Solomon Gordon Darcy Lilo dan pemimpin lain di Melanesia Spearhead Group sedang mempertimbangkan tawaran untuk keanggotaan oleh Ujung Tombak Negara-negara Melanesia bagi Papua Barat (Provinsi Papua dan Papua Barat).

Dia mengatakan mengatakan Jakarta telah mengambil pelajaran dari seruannya untuk mengakhiri pelanggaran oleh pasukan keamanan di Papua dan  menggambarkan serta mempertanyakan legitimasi Indonesia atas wilayah tersebut.

Dia mengatakan pilihan bebas yang telah dilakukan orang Papua Barat untuk bergabung dengan Indonesia telah terjadi pada 1969 dalam Pepera atau Act of Free Choice, meskipun dianggap sebagai referendum secara luas.

“Mereka telah melakukan itu dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kita harus menghormati proses tersebut. Kita perlu bekerja dalam otoritas yang sah bahwa mereka telah membuat keputusan. Kita dapat menemukan cara untuk itu otoritas yang sah dan membuat keputusan. Apakah tidak untuk pilihan otonomi atau pilihan independen yang akan jalan bagi kedua belah pihak dan setuju untuk menempatkan agenda kerja mereka menuju masa depan,”katanya dalam wawancara dengan Radio New Zeland belum lama ini yang dikutip tabloidjubi.com. Minggu(23/3)

Sementara itu dalam buku Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera) di Irian Barat, 1969 terbitan Pemerintah Daerah Propinsi Irian Barat dalam Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 dilakukan dengan memilih 1025 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP). Pelaksanaan Pepera dimulai pada 14 Juli 1969 di Merauke dan selanjutnya berturut-turut di Wamena, Nabire, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura. Pelaksanaan Pepera ini berakhir pada 2 Agustus 1969 tepat pada pukul 12.00 waktu setempat jatuhlah tiga kali pukulan palu dari tangan Ketua Sidang Dewan Musyawarah Pepera Kabupaten Jayapura, Drs Anwar Ilmar.

Mendiang Herman Wayoi dalam makalahnya berjudul Quo Vadis Papua mengutip  Perjanjian Roma menjamin/menyetujui beberapa hal antara lain,
  1. Referendum Pepera untuk 1969 diatur dalam Perjanjian New York, Agustus 1962. Ditunda atau jika mungkin dibatalkan.
  2. Indonesia akan memerintah di Irian Barat (West Irian) untuk dua puluh lima(25) tahun ke depan terhitung efektif 1 Mei 1963.
  3. Metode yang akan digunakan dalam pelaksanaan Pepera atau referendum adalah”sistem musyawarah” yang sejalan dengan praktek perwakilan Indonesia.
  4. Laporan akhir dari Perserikatan Bangsa-bangsa(PBB) tentang pelaksanaan Pepera disampaikan ke Sidang Umum PBB akan diterima tanpa debat terbuka.
  5. Amerika Serikat(United State of America) bertanggungjawab untuk menanamkan investasi melalui perusahaan-perusahaan negara(BUMN) untuk mengeksploitasi bahan tambang, minyak bumi dan sumber daya alam lainnya di Irian Barat.
  6. Pemerintah Amerika Serikat akan menjamin ADB(Bank Pembangunan Asia) untuk meminjamkan dana sebesar US $ 30 juta kepada UNDP untuk membangun Irian Barat(West Irian) untuk jangka waktu dua puluh lima tahun.
  7. Pemerintah Amerika Serikat menamin Bank Dunia dana untuk Pemerintah Indonesia merencanakan dan melaksanakan program-program transmigrasi, di mana Pemerintah Amerika Serikat menjamin dana Bank Dunia(World Bank) untuk orang-orang Indonesia dimukimkan di Irian Barat terhitung sejak 1977.
Menurut Herman Wayoi salah satu pejuang dari Merah Putih hingga akhirnya mendirikan Partai Nasional Papua dan berjuang untuk Papua Merdeka menyebutkan apa yang disebut Pepera tidak hanya suatu pelanggaran terhadap aturan-aturan dan prinsip-prinsip PB B tentang dekolonisasi, tetapi juga suatu tindakan yang tidak mempunyai dasar hukum dalam Hukum Internasional.

“Oleh karena itu Pepera dinyatakan secara tepat sebagai ACT OF NO CHOICE(TIDAK ADA PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT). Klaim atau tuntutan Indonesia atas Papua Barat(West Irian) untuk itu tidak berlaku berdasarkan Hukum Internasional dan tidak memiliki efek hukum,”tulis Herman Wayoi salah satu tokoh dalam tim 100 saat menghadap Presiden BJ Habibie.

Dia menegaskan untuk alasan-alasan tersebut, maka PBB dan masyarakat Internasional perlu meninjau dukungannya bahwa Irian Barat/Papua Barat adalah bagian dari Republik Indonesia dan mendaftarkan kembali Papua Barat ke dalam daftar wilayah-wilayah yang belum merdeka.

Menurut Wayoi hak dari Papua Barat sebagai suatu negara dan bangsa juga memperoleh dukungan dalam Hukum Internasional sebagai suatu bangsa jajahan baru di bawah prinsip-prinsip hukum Internasional.

“Praktek-praktek di atas belum pernah terjadi sebelumnya dalam hukum Internasional. Terakhir ini Bangladesh dan Eritrea merupakan pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari praktek Hukum Internasional seperti ini,”tulis Wayoi.

Dia menegaskan hak-hak tersebut yang diberikan adalah berlaku apabila negara paska kolonial telah membuat diskriminasi dan menekan suatu etnit kelompok tertentu dalam negaranya.

“Pemisahan diri Bangladesh dari Pakistan Barat menggambarkan kemungkinan tentang penentuan nasib sendiri dalam situasi paska kolonial,”tegas Herman Wayoi dalam makalahnya.

Dia menambahkan kenyataannya tuntutan untuk penentuan nasib sendiri dalam situasi yang non kolonial atau situasi pasca kolonial semakin berkembang baik secara jumlah maupun intensitasnya. “Hal ini juga sama benarnya, penentuan nasib sendiri yang eksterna(dalam negara yang ada). Pemisahan diri Bangladaesh dari Pakistan Barat menggambarkan kemungkinan tentang penentuan nasib sendiri pasca kolonial,” tulis Herman Wayoi. (Jubi/tabloidjubi.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar