Perdana Menteri Solomon Kepulauan Gordon Darcy Lilo dan Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono(Jubi/ist) |
Jayapura, 23/3 (Jubi)-Perdana Menteri Kepulauan Solomon Gordon
Darcy Lilo mengatakan setiap upaya untuk penentuan nasib sendiri(self
determination) di wilayah Papua Indonesia harus dibuat dalam hubungannya
dengan Jakarta.
Perdana Menteri Kepulauan Solomon Gordon Darcy Lilo dan pemimpin lain
di Melanesia Spearhead Group sedang mempertimbangkan tawaran untuk
keanggotaan oleh Ujung Tombak Negara-negara Melanesia bagi Papua Barat
(Provinsi Papua dan Papua Barat).
Dia mengatakan mengatakan Jakarta telah mengambil pelajaran dari
seruannya untuk mengakhiri pelanggaran oleh pasukan keamanan di Papua
dan menggambarkan serta mempertanyakan legitimasi Indonesia atas
wilayah tersebut.
Dia mengatakan pilihan bebas yang telah dilakukan orang Papua Barat
untuk bergabung dengan Indonesia telah terjadi pada 1969 dalam Pepera
atau Act of Free Choice, meskipun dianggap sebagai referendum secara
luas.
“Mereka telah melakukan itu dibawah naungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Kita harus menghormati proses tersebut. Kita perlu
bekerja dalam otoritas yang sah bahwa mereka telah membuat keputusan.
Kita dapat menemukan cara untuk itu otoritas yang sah dan membuat
keputusan. Apakah tidak untuk pilihan otonomi atau pilihan independen
yang akan jalan bagi kedua belah pihak dan setuju untuk menempatkan
agenda kerja mereka menuju masa depan,”katanya dalam wawancara dengan
Radio New Zeland belum lama ini yang dikutip tabloidjubi.com.
Minggu(23/3)
Sementara itu dalam buku Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera) di Irian
Barat, 1969 terbitan Pemerintah Daerah Propinsi Irian Barat dalam
Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 dilakukan dengan memilih 1025
anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP). Pelaksanaan Pepera dimulai pada
14 Juli 1969 di Merauke dan selanjutnya berturut-turut di Wamena,
Nabire, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura. Pelaksanaan Pepera
ini berakhir pada 2 Agustus 1969 tepat pada pukul 12.00 waktu setempat
jatuhlah tiga kali pukulan palu dari tangan Ketua Sidang Dewan
Musyawarah Pepera Kabupaten Jayapura, Drs Anwar Ilmar.
Mendiang Herman Wayoi dalam makalahnya berjudul Quo Vadis Papua
mengutip Perjanjian Roma menjamin/menyetujui beberapa hal antara lain,
- Referendum Pepera untuk 1969 diatur dalam Perjanjian New York, Agustus 1962. Ditunda atau jika mungkin dibatalkan.
- Indonesia akan memerintah di Irian Barat (West Irian) untuk dua puluh lima(25) tahun ke depan terhitung efektif 1 Mei 1963.
- Metode yang akan digunakan dalam pelaksanaan Pepera atau referendum adalah”sistem musyawarah” yang sejalan dengan praktek perwakilan Indonesia.
- Laporan akhir dari Perserikatan Bangsa-bangsa(PBB) tentang pelaksanaan Pepera disampaikan ke Sidang Umum PBB akan diterima tanpa debat terbuka.
- Amerika Serikat(United State of America) bertanggungjawab untuk menanamkan investasi melalui perusahaan-perusahaan negara(BUMN) untuk mengeksploitasi bahan tambang, minyak bumi dan sumber daya alam lainnya di Irian Barat.
- Pemerintah Amerika Serikat akan menjamin ADB(Bank Pembangunan Asia) untuk meminjamkan dana sebesar US $ 30 juta kepada UNDP untuk membangun Irian Barat(West Irian) untuk jangka waktu dua puluh lima tahun.
- Pemerintah Amerika Serikat menamin Bank Dunia dana untuk Pemerintah Indonesia merencanakan dan melaksanakan program-program transmigrasi, di mana Pemerintah Amerika Serikat menjamin dana Bank Dunia(World Bank) untuk orang-orang Indonesia dimukimkan di Irian Barat terhitung sejak 1977.
Menurut Herman Wayoi salah satu pejuang dari Merah Putih hingga
akhirnya mendirikan Partai Nasional Papua dan berjuang untuk Papua
Merdeka menyebutkan apa yang disebut Pepera tidak hanya suatu
pelanggaran terhadap aturan-aturan dan prinsip-prinsip PB B tentang
dekolonisasi, tetapi juga suatu tindakan yang tidak mempunyai dasar
hukum dalam Hukum Internasional.
“Oleh karena itu Pepera dinyatakan secara tepat sebagai ACT OF NO
CHOICE(TIDAK ADA PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT). Klaim atau tuntutan
Indonesia atas Papua Barat(West Irian) untuk itu tidak berlaku
berdasarkan Hukum Internasional dan tidak memiliki efek hukum,”tulis
Herman Wayoi salah satu tokoh dalam tim 100 saat menghadap Presiden BJ
Habibie.
Dia menegaskan untuk alasan-alasan tersebut, maka PBB dan masyarakat
Internasional perlu meninjau dukungannya bahwa Irian Barat/Papua Barat
adalah bagian dari Republik Indonesia dan mendaftarkan kembali Papua
Barat ke dalam daftar wilayah-wilayah yang belum merdeka.
Menurut Wayoi hak dari Papua Barat sebagai suatu negara dan bangsa
juga memperoleh dukungan dalam Hukum Internasional sebagai suatu bangsa
jajahan baru di bawah prinsip-prinsip hukum Internasional.
“Praktek-praktek di atas belum pernah terjadi sebelumnya dalam hukum
Internasional. Terakhir ini Bangladesh dan Eritrea merupakan pihak-pihak
yang memperoleh keuntungan dari praktek Hukum Internasional seperti
ini,”tulis Wayoi.
Dia menegaskan hak-hak tersebut yang diberikan adalah berlaku apabila
negara paska kolonial telah membuat diskriminasi dan menekan suatu
etnit kelompok tertentu dalam negaranya.
“Pemisahan diri Bangladesh dari Pakistan Barat menggambarkan
kemungkinan tentang penentuan nasib sendiri dalam situasi paska
kolonial,”tegas Herman Wayoi dalam makalahnya.
Dia menambahkan kenyataannya tuntutan untuk penentuan nasib sendiri
dalam situasi yang non kolonial atau situasi pasca kolonial semakin
berkembang baik secara jumlah maupun intensitasnya. “Hal ini juga sama
benarnya, penentuan nasib sendiri yang eksterna(dalam negara yang ada).
Pemisahan diri Bangladaesh dari Pakistan Barat menggambarkan kemungkinan
tentang penentuan nasib sendiri pasca kolonial,” tulis Herman Wayoi. (Jubi/tabloidjubi.com)
Sumber : www.tabloidjubi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar