Selasa, 20 Oktober 2015

Sikap PPRI: Satu Tahun Jokowi-JK GAGAL

aksi ppri satu tahun jokowi
Aksi Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI) satu tahun pemerintahan Jokowi-JK, 20 Oktober 2015.
“Satu Tahun Jokowi-JK Gagal: Menyejahterakan Rakyat, Menyelamatkan Lingkungan, Memperluas Demokrasi dan Partisipasi Rakyat, serta Menjaga Kedaulatan Rakyat”
Setelah setahun berkuasa, tidak ada tanda-tanda bahwa pemerintahan Jokowi-JK sanggup mengatasi persoalan rakyat hari ini akibat dari kesalahan kebijakan pemerintahan di masa lalu. Memang, pemerintahan Jokowi-JK baru satu tahun, tapi ditunggu sampai kapan pun, selama kebijakan pemerintahan Jokowi-JK tidak berdasarkan program yang menyelesaikan akar persoalan rakyat, maka akan GAGAL.
Pemerintahan Jokowi-JK tidak dan tidak akan meletakkan kebijakan darurat apalagi strategis yang menjamin terpenuhinya kesejahteraan dan kedaulatan rakyat. Kami dari Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI) menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi-JK GAGAL.
1. Gagal Menyejahterahkan Rakyat
Tidak banyak perbedaan kebijakan ekonomi Jokowi dengan SBY, bahkan dengan dengan rezim sebelumnya, yang sama-sama menggenjot investasi yang hanya memberikan keuntungan pada kapitalis dengan menekan kesejahteraan rakyat. Kebijakan ekonomi Jokowi saat pelemahan rupiah pada Maret 2015 lalu juga sama dengan SBY, yakni sama memberikan keringanan pajak untuk investor dan diperkuat oleh Bank Indonesia.
Ada 89 peraturan dari 154 regulasi yang sifatnya menghambat daya saing industri yang akan dirombak. Telah disiapkan pula 17 rancangan peraturan pemerintah, 11 Rancangan Peraturan Presiden, 2 Rancangan Instruksi Presiden, 63 Rancangan Peraturan Menteri dan 5 aturan lain untuk mendorong daya saing industri.
Salah satu deregulasi itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan yang meninjau besaran komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) setiap 5 tahun sekali berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi belaka, bukan berdasarkan keuntungan perusahaan. Pemerintah sendiri tak pernah mewajibkan pengusaha untuk memberikan upah buruh berdasarkan keuntungan perusahaan yang pembukuannya bisa diperiksa oleh serikat buruh. Padahal, rata-rata keuntungan perusahaan yang beroperasi di Indonesia sebesar 30-40 % dari nilai penjualan, suatu besaran keterlaluan yang mencerminkan watak kapitalisme yang super eksploitatif dalam beroperasi di negeri-negeri berkembang. Sedangkan, nilai upah buruh tidak melebihi 6 % dari angka penjualan. Serikat-serikat buruh disibukkan dengan perundingan-perundingan palsu berdasarkan angka KHL, inflasi dan segala tetek bengeknya, tapi keuntungan perusahaan sendiri tidak dipakai, bahkan tidak dibuka.
Debirokratisasi pelayanan pemerintah tersebut dilakukan dengan penyederhanaan izin, penyelesaian masalah tata ruang, mempercepat pengadaan barang dan jasa, serta memberikan diskresi (pengambilan keputusan sendiri oleh pejabat) menyangkut hambatan hukum. Birokrasi Indonesia yang berbelit selain mempersulit rakyat menerima pelayanan pemerintah, juga menambah biaya pengusaha. Dengan alasan memberikan pelayanan prima kepada rakyat, maka mudah mendapatkan dukungan rakyat dalam soal debirokratisasi ini. Sekaligus, memenangkan perluasan investasi di mata rakyat. Tapi, tentu saja, dengan melihat bagaimana pemerintah Jokowi-JK menetapkan upah buruh, maka kita akan segera tahu pemerintah lebih berpihak pada kapitalis.
Jokowi-JK berupaya untuk menarik investasi ke sektor riil dengan cara menggenjot penanaman modal di sektor properti dan infrastruktur sebagai andalannya. Tapi, jangan lupakan ada 95 proyek mangkrak di Indonesia dengan nilai fantastis Rp 423,7 Triliun yang beraroma korupsi.
Demi proyek-proyek infrastruktur ini, sumber dananya harus dicari. Dalam rumus kemudahan investasi, mencari dana segar harus dengan tidak membebani investor, tapi membebani rakyat kelas bawah. Subsidi harus dihemat, atau bahkan dicabut, kembali berhutang dan melibatkan investor infrastruktur dengan jaminan pengembalian keuntungan.
Sektor riil Indonesia memang terancam, sejak 1998, investasi di sektor finansial yang justru meningkat di atas investasi di sektor riil, yang sebenarnya sangat membahayakan ekonomi rakyat. Jangan tertipu dengan pertumbuhan ekonomi yang dibangun di atas investasi sektor finansial dan suku bunga Bank Indonesia yang tinggi, karena begitu mudahnya nilai rupiah terpuruk jika spekulan transaksi model finansial menarik dananya untuk “pulang kampung”.
Lapangan pekerjaan dan gairah ekonomi yang diciptakan oleh proyek infrastruktur ini bersifat sementara belaka. Pemerintahan Jokowi-JK tidak memiliki rencana untuk membangun industri nasional yang strategis sebagai kekuatan ekonomi yang riil (nyata) dan strategis.
Makanya, tidak heran jika biaya pendidikan semakin mahal (apalagi di perguruan tinggi), biaya kesehatan ditanggung sendiri oleh rakyat melalui iuran (BPJS), kenaikan harga BBM dan harga-harga barang meroket, ketergantungan pada impor, daya beli rakyat menurun, dan seterusnya.
2. Gagal Selamatkan Lingkungan
Pada alam, kerusakan lingkungan terparah terjadi di penambangan emas Newmont di Nusa Tenggara Barat, tambang tembaga dan emas Freeport di Papua, kerusakan terumbu karang yang mencapai 30,4 % sampai dengan kabut asap yang merusak paru-paru anak-anak kita.
Kerusakan terumbu karang ini akan semakin parah dengan jika rencana reklamasi di berbagai tempat seperti Teluk Benoa, Teluk Palu, dan Teluk Jakarta, terlaksana.
Pemerintahan Jokowi-JK tidak juga menetapkan kabut asap sebagai darurat nasional, padahal sudah 425 ribu orang yang menderita ISPA dan 1,7 juta hektar lahan dibakar. Dari sekitar 300an perusahaan sawit yang diperiksa, baru 10 perusahaan yang ditetapkan sebagai pembakar hutan dan itupun hanya dikenakan sanksi administrasi. Penetapan ini juga beraroma tebang pilih, karena perusahaan-perusahaan sekelas Sinar Mas dan Wilmar belum tersentuh. Sedangkan, di Singapura, produk-produk Sinar Mas sudah diboikot.
Masalah lingkungan sejalan dengan konflik agraria yang terus meningkat akibat penggusuran paksa yang dilakukan oleh korporasi untuk menguasai lahan rakyat. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2014 saja, telah terjadi 472 konflik agraria dengan luas wilayah mencapai 2.860.977,07 Ha yang melibatkan 105.887 KK. Jumlah warga yang ditahan 256 orang, dianiaya 110 orang, tertembak 17 orang, dan tewas 19 orang. Jumlah konflik ini meningkat sebanyak 103 konflik (27,9%) jika dibandingkan dengan jumlah konflik di tahun 2013 (369 konflik). Ini tentunya belum termasuk dengan pembunuhan Salim Kancil dan penganiyaan Tosan yang terjadi baru-baru ini.
3. Gagal Menjaga Kedaulatan Rakyat
Berdasarkan hasil penelitian KPA, sekitar 35% daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara. Sementara menurut Institut Global Justice (IGJ), sejak 2007 para pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan paling lama 95 tahun dan 175 juta hektar atau setara 93% luas daratan di Indonesia dimiliki para pemodal swasta/asing. Berarti ada segelintir elit, yaitu 0,2% penduduk, menguasai 56% aset nasional dalam bentuk kepemilikan tanah. Investor asing juga diperbolehkan untuk berinvestasi di sektor tenaga listrik hingga 95 %. Investor asing sudah menguasai sektor angkutan laut hingga 90 %. Begitu juga teknologi yang digunakan dalam produksi dan konsumsi sebanyak 90 % lebih dikuasai oleh investor asing. Menurut Agro Ekonomika Foundation, penguasaan asing di sektor minyak bumi sebesar 85 %, gas alam 85 %, batu bara 85 %, emas 90 %, tembaga 80 %, nikel 79 %, timah 75 % dan mutiara 90 %.
Di luar negeri, lebih dari 6 juta rakyat Indonesia justru bekerja sebagai buruh migran yang rentan mengalami perkosaan, penyiksaan dan hukuman mati. Akhir 2014 lalu, seorang buruh migran bernama Nuraini dipulangkan dari Kuwait setelah disiksa selama 8 bulan oleh majikannya dan gajinya selama 10 tahun tidak dibayar. Ia dipulangkan dalam keadaan lumpuh dan akhirnya meninggal dunia baru-baru ini setelah operasi pemulihannya gagal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Selain itu, ada 290 buruh migran yang terancam hukuman mati di luar negeri.
Terhadap penguasaan sumber daya alam ini, pemerintahan Jokowi-JK tidak menunjukkan langkah-langkah untuk melakukan redistribusi keuntungan (kekayaan nasional) yang lebih besar untuk kepentingan rakyat dan kebijakan pengurangan jam kerja untuk menyerap lebih banyak pekerja (tanpa mengurangi upah dan kesejahteraan pekerja), tapi justru mengundang lebih banyak investasi lagi. Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, kebijakan ekonomi Jokowi yang keluar bulan September lalu adalah sepenuhnya debirokratisasi dan deregulasi perizinan yang dibungkus dengan demagogi demi kepentingan rakyat. Undang-Undang yang ada diatur kembali melalui Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri untuk memudahkan investasi masuk dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Dalam PP Pengupahan, tidak saja menetapkan penentuan KHL setiap 5 tahun sekali, Pemerintahan Jokowi-JK juga melemahkan posisi tawar buruh dengan hanya memberikan sanksi administrasi bagi pengusaha yang melanggar. Di sisi lain, pemerintah melakukan deregulasi dan debirokratisasi untuk meningkatkan investasi perkebunan, mempermudah pengadaan tanah untuk kepentingan umum (yang dikuasai swasta), memperpendek jangka pengurusan izin pengelolaan tambang mineral dan batu bara serta mempermudah izin pendirian toko modern (tidak meningkatkan kemampuan usaha kecil), dan seterusnya.
4. Gagal Memperluas Demokrasi dan Partisipasi Rakyat
Yang paling menyolok dari semua kegagalan Jokowi-JK sekaligus bukti yang paling kuat bahwa Jokowi-JK telah gagal, adalah popularitas Jokowi tidak digunakan untuk memperkuat demokrasi rakyat. Sejak awal, wakil presiden Jusuf Kalla adalah elit politik sekaligus pengusaha yang anti rakyat. Kemudian, Jokowi tidak berhasil membuat rakyat berorganisasi dan bergerak untuk memperjuangkan program-program populis sekalipun. Justru, Jokowi lebih memilih membangun kompromi dengan partai-partai politik dan militer. Pandangan naif yang mengatakan bahwa relawan-relawan Jokowi pada masa Pilpres akan bertransformasi menjadi kekuatan yang terorganisir (seperti Lingkaran Bolivarian di Venezuela), tidak terbukti. Yang ada hanya bagi-bagi jabatan dan kekuasaan, ada 600an lebih jabatan di BUMN yang disediakan para relawan Jokowi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), salah satu lembaga yang menjadi andalan publik dalam memberantas korupsi yang merajalela justru dikebiri di masa Pemerintahan Jokowi-JK , saat berusaha membongkar kasus yang melibatkan para petinggi kepolisian dan kasus BLBI. Para pimpinan KPK dan aktivis dikriminalisasi dengan pasal-pasal karet secara terang-terangan di hadapan rakyat.
Sebaik dan semerakyat apapun Jokowi dalam kacamata orang awam, dia tak mungkin mampu membawa rakyat keluar dari kemelaratan dan kemiskinan tanpa rakyat itu sendiri yang mengorganisir diri, bergerak, mengambil keputusan dan mewujudkan program-program kerakyatan. Hal ini sudah terbukti di negeri-negeri Amerika Latin seperti Bolivia, Brazil, Chile dan Venezuela yang berhasil melakukan revolusi atau pun hanya perubahan sosial-demokrasi kiri, bahwa tak mungkin ada perubahan yang (cukup) radikal tanpa pengorganisasian kekuatan rakyat. Rakyat harus menyadari kenyataan bahwa tak mungkin ada jalan menuju kesejahteraan dan martabat tanpa rakyat itu sendiri mengorganisir kekuatannya sendiri. Sudah waktunya membuang harapan-harapan dan ilusi-ilusi (palsu) pada kedatangan Ratu Adil seperti Jokowi. Bagaimana kita bisa mempercayai Jokowi yang tak punya keinginan dan kemampuan menjadikan rakyat sebagai motor perubahan yang terorganisir.
Yang terbaru, pemerintahan Jokowi-JK justru menyandarkan diri dengan pada kekuatan militer dengan memberikan sogokan berupa program Bela Negara. 100 juta rakyat akan dididik menjadi milisi sipil oleh militer. Coba saja bayangkan, dalam situasi belum ada program bela negara saja, milisi-milisi sipil reaksioner (preman) sudah melakukan aksinya dalam memberangus kekuatan rakyat. Dari mulai diskusi, pemutaran film Senyap, demonstrasi, sampai dengan mogok buruh dibubarkan dengan kekerasan. Program Bela negara hanya akan membuat milisi sipil menjadi semakin efisien dalam melakukan membungkam masyarakat sipil demi kepentingan kaum modal dan pemerintahan yang berkuasa.
Program Bela Negara ini akan semakin memperkuat gagasan kembalinya TNI ke dalam politik dan parlemen seperti pada masa Orde Baru, yang diinginkan betul oleh sisa-sisa Orde Baru (Orba). Bahkan, mereka bisa saja mengambil keuntungan darinya. Sisa-sisa Orba terkuat berhimpun bersama Prabowo dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang saat ini berusaha membangun kekuatan untuk berkuasa kembali. Mereka mengonsolidasikan massa berbasis fundamentalisme agama, ormas reaksioner dan serikat buruh, seperti FSPMI. Perlu diingat juga, 17 tahun reformasi sejauh ini, tidak berhasil mengembalikan TNI ke barak-barak di perbatasan sesuai konsep militer profesional. Komando-komando teritorial TNI masih berdiri dari babinsa (desa), koramil (kecamatan), kodim (kabupaten/kota), korem (provinsi) sampai Pangdam. Jika kekuatan rakyat sipil terlalu lemah, militer dapat saja kembali ke lapangan politik seperti pada masa 32 tahun Orba di mana ABRI memiliki fraksi tersendiri sebanyak 100 kursi di parlemen yang membuat para politisi sipil bungkam. Jika sampai TNI kembali berpolitik dengan mengambil keuntungan dari pertentangan-pertentangan politik elit yang ada saat ini, maka tuntas sudah demokrasi di Indonesia.
Sedangkan, kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu maupun yang terjadi baru-baru ini di Papua (seperti pembunuhan di Paniai), pemerintahan Jokowi-JK tidak sanggup untuk menuntaskannya. Jangankan menuntaskan kasus pembunuhan massal tahun 1965, meminta maaf pada korban dan keluargnya saja, pemerintahan Jokowi-JK tidak berani. Kasus-kasus intoleransi yang mengatasnamakan agama malah semakin marak.
Demikianlah alasan-alasan kami yang menjelaskan bahwa pemerintahan Jokowi-JK telah gagal dalam menyejahterahkan rakyat. Kami menyerukan kepada seluruh buruh dan rakyat untuk bersama-sama memperjuangkan program-program yang mampu menuntaskan persoalan rakyat, yakni:
1. Redistribusi kekayaan nasional.
2. Demokrasi dan Partisipasi rakyat yang seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya.
3. Nasionalisasi Kekayaan Nasional dibawah Kontrol Rakyat
4. Tangkap, Adili dan Sita Harta Koruptor
5. Lapangan Kerja, Status Kerja Tetap dan Upah Layak untuk Kaum Buruh
6. Tanah, Teknologi Modern dan Pupuk Murah untuk Petani
7. Air Minum, Perumahan Bersih, Transportasi Murah, Bersih, dan Massal untuk Rakyat
8. Pendidikan dan Kesehatan Gratis untuk Rakyat
9. Reformasi TNI/POLRI dan TNI Kembali ke Barak
10. Tarik Militer dari daerah Konflik-Papua
Demikian Pernyataan Sikap ini kami sampaikan. Salam Pembebasan dan terima kasih.
Jakarta, 20 Oktober 2015
Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI):
Humas:
Surya Anta (PPR) : 0813 177 374 98
Dika (SPRI) : 0813 82 111 912
Mika (KPO-PRP) : 087 8893 272 81
Ata (GSPB) : 085 770 213 715
Sultoni (SGBN) : 089 6505 449 39
Sam (Pembebasan) : 08234 8853 652
Nisma (SBMI) : 0878 759 661 36
Andri Yunarko (SEDAR): 082213556358
Sarinah (Solidaritas.Net): 087 86 1100 297
Saiful (SEBUMI Nanbu) : 0858 9132 0886
Amang (SGMK) : 082 337 117 243
Ibob : 0815 6738 704

Tidak ada komentar:

Posting Komentar