Selasa, 28 Juli 2015

KETIDAKADILAN STRUKTURAL DI PAPUA

Ilustrasi ( Foto'Kobogaunews)
Oleh Endang Suryadinata
Masyarakat tentu masih ingat insiden Tolikara, Papua Jumat (17/7). Kejadian ini disorot luas media Tanah Air. Orang luar Papua yang tidak tahu duduk, sering membumbui, sehingga persoalan sebenarnya menjadi kabur. Padahal menurut Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Papua, Lipiyus Binilub, insiden Tolikara terjadi karena komunikasi tidak jalan.
Lagi pula, persoalan di Tolikara sudah diselesaikan secara damai, lewat upacara adat “bakar batu.” Pihak korban pun sudah menerima kesepakatan damai. Demikian kata Lipiyus, seusai bertemu Presiden Joko Widodo, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (24/7/2015).
Yang perlu direnungkan, menurut Ketua Majelis Syuro Komite Umat untuk Tolikara (Komat), Didin Hafidhuddin, konflik berlatar belakang agama tidak pernah terjadi di tanah Papua. Warga memandang, keyakinan atau agama itu sakral. Maka, konflik kemarin ditengarai berasal dari kepentingan yang mencoba merusak keutuhan NKRI.
Sementara, Sekretaris Daerah Pemeritah Kabupaten Tolikara, Dance Y Flassy minta semua pihak tidak hanya fokus pada pelaku yang membuat kios dan mushala terbakar. Aparat keamanan juga diminta untuk menyelidiki korban tewas dan luka akibat tembakan. Menurut dia, ada ketidakadilan dalam insiden Tolikara karena warga setempat ditembak, tewas dan terluka, tapi justru kasusnya tidak diangkat.
Ketidakadilan itulah yang dirasakan sebagian besar warga asli Papua hingga detik ini, tiap kali mereka merenungkan relasi dengan orang luar Papua. Inilah masalah Papua sesungguhnya, yang sering diabaikan. Bahkan di tengah ribut-ribut Tolikara, ketidakadilan yang kian dirasakan rakyat Papua bisa dianggap kecil atau disepelekan. Ujung-ujungnya pemerintah dan semua gagal merebut hati mereka.
Sejak zaman Belanda, Freeport, sampai kini, ketidakadilan bagi warga Papua terus berlagsung. Misalnya, kasus anggota Polres Porong, Aiptu Labora Sitorus (LS) yang punya rekening gendut sampai 1,5 triliun. Semuanya hanya menunjukkan watak ekspolitatif ”orang luar” Papua yang serakah di tengah kemiskinan dan keterbelakangan warga asli Papua.
Struktural
Menyedihkan memang memikirkan keterbelakangan Papua. Bayangkan masih ada warga yang tak tahu, bila habis bensinnya. Mereka menganggap rusak sehingga harus membeli motor baru. Ada ibu di Papua menjual pisang mentah. Ketika ditanya, mengapa dia jualan pisang mentah? Dia menjawab untuk membeli pisang goreng.
Sayang keterbelakangan itu tidak pernah dicarikan solusinya. Pendidikan yang seharusnya bisa mencerdaskan, belum sepenuhnya digarap. Malah keterbelakangan kadang coba dilestarikan, demi mengeruk keuntungan. Maka ada yang menyebut, warga dan alam Papua menjadi korban ketidakadilan struktural.
Memang pemerintah Indonesia sudah punyak “good will” dengan menawarkan Otonomi Khusus Papua berdasarkan UU No 21 Tahun 2001, dengan Majelis Rakyat Papua yang dibentuk pada 31 Oktober 2005. UU ini, misalnya, menjamin 80% hasil hutan dan tambang untuk rakyat Papua.
Tapi dalam implementasi, banyak penyelewengan, termasuk bantuan pusat yang hanya dinikmati segelintir elite. Penderitaan dirasakan kebanyakan warga Papua. Tidak heran, jika kaum separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), kini kian dilirik sebagian orang muda Papua yang merasa getir melihat ketidakadilan di depan hidung. Apalagi, perjuangan diplomasi OPM tampaknya juga kian diakui, diterima sebagian kalangan di Australia, Afrika atau Eropa.
Negeri ini beberapa waktu lalu merasa kebakaran jenggot menyusul pembukaan kantor OPM di Inggris.Sebagian publik Belanda setuju pada gagasan Papua merdeka. Apalagi, di bumi Papua, Belanda masih menyisakan cukup banyak jejak historis. Mulai abad ke 16, sudah ada jejak pelaut Belanda di Papua seperti William Jansen, William Schouten dan Le Maire. Tonggak sejarah yang cukup mengagetkan tertoreh pada 1 Desember 1961, ketika Belanda memerintahkan bendera Bintang Kejora Papua Barat dikibarkan berdampingan dengan bendera Belanda. Momentum ini yang dianggap Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat.
Sebagai reaksinya pada 11 Januari 1962 Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat berkedudukan di Makassar. Komando ini dipimpin Mayor Jenderal Soeharto. Berkat operasi militer ini, perjuangan diplomasi untuk mengembalikan Irian berhasil. Amerika Serikat mendesak Belanda untuk mengembalikan Irian Bagian Barat kepada Indonesia lewat PBB.
Puncaknya pada 15 Agustus 1962 tercapai persetujuan New York Agreement. Isinya antara lain mengamanatkan, Indonesia wajib mengadakan semacam referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebelum akhir tahun 1969: warga Irian Barat bisa memilih tetap dalam NKRI atau memutuskan hubungan dengan Indonesia.
Akhirnya, sesuai New York Agreement juga, maka pada 1 Oktober 1962, Belanda resmi meninggalkan Irian Barat menyerahkan kepada PBB. Lalu pada 1 Mei 1963, PBB menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Sebagian kalangan di Belanda sudah mendesak agar Pemerintah Belanda melakukan “pressure”, mengingat jejak dekatnya di Papua. Namun pemerintah Belanda selalu mengacu pada hukum Internasional bahwa masalah Papua urusan internal Indonesia (Secara de facto dan de jure Pepera telah diterima secara resmi Sidang Umum PBB. Votingnya, 84 suara mendukung, tidak ada yang menentang, dan 30 abstain. 
Kemudian keluar Resolusi PBB No 2504 tanggal 19 November 2005).
Ini perlu ditegaskan, agar kasus Papua tidak semakin seperti benang ruwet. Sebab jika semakin banyak pihak luar Indonesia yang campur tangan, persoalan justru kian rumit. Meski begitu, kita jangan hanya mengatakan bahwa Papua bagian NKRI. Sebab jika mereka sendiri tetap merasa sebagai anak tiri, keinginan merdeka di antara rakyat Papua jelas susah dibendung.
Coba dicamkan, ada ketidakadilan ekonomi. Banyak perusahaan beroperasi di Papua, tetapi nyaris tidak ada kontribusi ekonomi bagi masyarakat setempat seperti dari Freeport. Ini berjalan seiring dengan perusakan lingkungan, sungai, hutan, dan gunung-gunung. Padahal itu semua sangat dihormati sebagai sumber energi kehidupan dalam tradisi lokal. Belum lagi pelanggaran HAM terkait operasi militer. Hal-hal seperti ini (perusakan ekologis dan pelanggaran HAM) menyebabkan kematian budaya warga Papua yang telah bertahan sedemikian lama (Amirudin & Aderito Jesus De Soares; 2003).
Memang persoalan di Papua sangat kompleks.
Menurut buku ‘Papua Roadmap’ (2008), yang merupakan penelitian dan kerja keras tim LIPI, sejak 1962-an hingga sekarang, masalahnya adalah: marginalisasi-diskriminasi, kegagalan pembangunan, kekerasan negara-pelanggaran HAM, serta 4) sejarah-status politis. Semua saling terkait.
Berbagai persoalan bisa diselesaikan dengan dialog untuk mencari jalan keluar permanen. Ini sejalan dengan tradisi Papua seperti: bakar batu sebagai simbol kesepakatan damai. Semua harus mengupayakan damai dan tiada lag ketidakadilan di Papua. Sudah terlalu lama warga Papua terpinggirkan secara ekonomi dan terdesak dari sisi sosial, politik, dan budaya. Pemerintah jangan tergoda menggunakan senjata dalam mencari solusi damai.
Penulis lulusan Erasmus Universiteit Rotterdam Belanda