Kamis, 15 Januari 2015

PAPUA DALAM BIDIKAN KOLONIALISME

Ilustrasi/Ist.
Oleh : Andreas M. Yeimo

Ini adalah tulisan lanjutan dari sebelumnya, Papua dalam Bidikan Kapitalisme. Kami sarankan membaca dulu tulisan bertama, di sini.

Sebelum penulis menjelaskan lebih jauh, penulis ingin mengartikan beberapa inti kata dalam artikel berikut ini. Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut [1]. Militerisme adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan keamanannya terletak pada kekuatan militernya dan mengklaim bahwa perkembangan dan pemeliharaan militernya untuk menjamin kemampuan itu adalah tujuan terpenting dari masyarakat [2].

****
Pergantian masa jabatan Presiden Republik Indonesia
 dari rezim Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo telah berlangsung beberapa dekade di akhir tahun 2014. Orang Papua harapkan perubahan. Tetapi masih saja terdengar dentuman senjata aparat keamanan yang menembak warga sipil di Kabupaten Paniai, dan di awal tahun 2015 terjadi penyiksaan terhadap ratusan warga sipil di area pertambangan PT. Freeport Indonesia (PT. FI).

Militer Indonesia terus bertindak brutal. Penembakan yang terjadi pada Minggu (7/12/2014) di Lapangan Karel Gobay, Enarotali, Kabupaten Paniai, sebuah kejadian aneh yang membawa 5 nyawa manusia (warga sipil Papua) melayang dan 6 orang lainnya luka-luka, [3] dan pada awal tahun 2015 di area PT. FI, Polda Papua telah menurunkan kekuatan sedikitnya 1.576 personil gabungan polisi dan TNI untuk mengejar pelaku penembakan. Hingga malam Kamis (8/1/15), Polisi telah menangkap 65 warga dan menembak satu warga atas nama Yondiman Waker [4].

Dengan gagalnya Jokowi melindungi nyawa rakyat Papua, ia juga kini punya kewajiban untuk mengungkapkan pelaku kasus penembakan di Paniai dan menghapus sistem militerisme yang sedang merajalela di wilayah Papua. Bila mungkin, mencabut izin pertambangan PT. FI.  

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi, tetapi demokrasi itu juga dikendalikan stakeholder ekonomi kapitalis dan Negara ini melalui militernya di wilayah Papua.

Penangkapan dua wartawan asing yang ke Papua dengan tujuan meliput berita tentang pelanggaran hak-hak sipil masyarakat di wilayah Papua oleh oknum militer Indonesia; menangkap secara paksa para pemimpin demo damai warga saat warga ingin mengungkapkan pendapat di muka umum; buku-buku masalah Papua dilarang untuk diperjualbelikan di toko buku dan tempat umum; semua ini contoh tidak adanya demokrasi di Papua.

Diskriminasi antara ras mulai nyata antara masyarakat yang berkulit putih, berambut lurus dan berkulit hitam berambut keriting. 

Diskriminasi antara agama yang satu dengan agama yang lain mulai nyata terjadi. Pada saat Jokowi dilantik menjadi presiden RI, lalu jabatan yang ditinggalnya (Gubernur Jakarta) diganti oleh Ahok, banyak masyarakat yang protes agar menurunkan Ahok dari jabatan dengan alasan Ahok beragama Nasrani. 

****
Sistem pemerintahan Pusat 
dan di sistem pemerintahan Daerah (Pemda) di wilayah Papua sangat berbeda. Semua penyelewengan pemerintahan di Papua dibiarkan begitu saja tanpa kontrol dari pusat. 

Misalnya, pejabat tinggi Papua ketika korupsi uang baik itu dana Otsus, APBD dan APBN, dibiarkan begitu saja. Tidak diproses dan diadili sesuai hukum yang berlaku. Mengapa demikian? Selama ini pusat berkilah, ketika Pemda setempat diproses secara hukum dan diadili, maka oknum pejabat Pemda tersebut selalu mengungkit masalah politik Papua merdeka. 

Sistem pemerintahan yang digunakan di Papua bisa disebut sebagai sistem pemerintahan keturunan,  ketika seorang pejabat yang marganya Kayame (Suku Mee) menjabat sebagai kepala daerah, maka jabatan yang akan diberikan semua marga Kayame dan dari lingkungan Mee. 

Kejujuran dalam menilai kapasitas dan kapabilitas setiap orang untuk penempatan kerja dalam dunia pemerintahan sudah tidak ada di Papua. Umumnya, kepala daerah membagi jabatan dengan marga yang sama atau dengan sesuku dengan alasan-alasan tertentu. Misalnya, untuk melindungi dan menutupi indikasi korupsi dan memperlancar proses sembunyi diri. Maka pemimpin yang disiplin, jujur hati dan pintar dalam dunia pemerintahan untuk membangun Papua tidak dipakai, yang ada hanya pemimpin yang jiwa korupsi.

Uang hasil korupsi disimpan untuk membayar dan mencari massa untuk mencalonkan diri di periode berikutnya dan untuk yang lain-lain. Kita semua tahu itu. 

Ini yang akhirnya dialami rakyat Papua: kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin. Yang dijajah tetap ditindas, dan yang menjajah makin berkuasa. Rakyat Papua semakin sulit untuk bangkit dengan kerja-kerja halal, kecuali bila ikut basah bermain di dalam sistem yang telah berakar-urat. Masyarakat Papua hanya membisu ketika dirampas hak-hak sipil dan politik.

***
Penjajahan masuk melalui pintu Pendidikan
 mulai nyata seperti di sekolah Dasar (SD) mulai dari berpakaian anak-anak SD, cara mendidik anak dan sistem kurikulum yang digunakan semakian nyata dilakukan dengan sistem Milterisme Indonesia, untuk memaksa meng-Indonesia-kan orang Papua.

Lihat. Siswa semenjak SD sudah dibiasakan mengenakan seragam berwarna Putih dan Merah, setiap  hari Senin siswa melakukan upacara bendera. Semua yang dilakukan merupakan penanaman nasionalisme Indonesia di hati Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Lihatlah pendidikan di pulau Jawa.  Jarang sekali terlihat kalau siswa mengadakan upacara di sekolah setiap hari Senin pagi.

Kurikulum yang sementara ini digunakan adalah kurikulum terpusat. Tidak ada rangkulan kearifan lokal di dalamnya. Juga ini persoalannya di Papua: militer mengajar. Padahal, mereka tidak berpengalaman  dalam praktek mengajar di bidang keguruan.

Konsekwensinya, hasil dari proses pendidikan kita di Papua mengarahkan para lulusannya untuk menjadi DPR, Bupati, Camat, ingin menjabat dengan jabatan dan kedudukan yang tinggi, tetapi untuk punya mobil, uang, rumah mewah, dan yang sejenisnya. Sistem pendidikan kita di Papua tidak mengarahkan kita orang Papua untuk memahami persoalan Papua dan menumbuhkan keprihatinan yang pada gilirannya membangkitkan pemikiran akan tanggungjawab sebagai anak bangsa untuk memperbaikinya, tanpa pikir gelar, jabatan, kehormatan.

Ketika memandang rakyat Papua di era Otsus, fakta kemiskinan ditinjau dari aspek ekonomi, kesehatan dan pendidikan telah menjadi bukti konkrit bahwa Indonesia telah gagal dalam mensejahterakan orang Papua. Seperti yang dikutip dalam buku karya Markus Haluk: 

"Hak atas Ekonomi, masyarakat Papua masih terus bergumul dengan persoalan kemiskinan diatas tanah yang menghasilkan devisa besar bagai pendapat nasional negara Indonesia. Pada tahun tahun 2009, masyarakat Papua kembali dikejutkan dengan bencana kelaparan di Kabupaten Yahukimo. Sebagaimana dilaporkan Gereja setempat, 96 orang telah meninggal dunia. Dalam tahun yang sama pula terjadi bencana bencana kelaparan di Puncak papua. Akibat kelaparan ini sekitar 12.000 jiwa menjadi korban di Distrik Agandugume Kabupaten Puncak Papua.

Hak Atas Kesehatan, ibu dan anak sangat memprihatin di papua amat memprihatinkan. Karena Otonomi khusus yang telah berjalan tidak menyelesaikan persoalan kesehatan di Papua karena mengakibatkan sebanyak 173 orang meninggal dunia karena terserang wabah kolera di Moanemani, Kabupaten Dogiyai, selama April sampai Juli.

Hak atas pendidikan, nampak mengecewakan. Banyak persoalan muncul di lingkungan yang kurang direspon serius oleh pemerintah, bahkan pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan sangat kurang bergerak cepat dalam melindungi dan menjamin akses pendidikan bagi anak-anak Papua. Dari urusan birokrasi, tenaga pengajar atau guru hingga sarana dan fasilitas pendidikan. Pemerintah dan negara gagal dalam memberikan jaminan dan perlindungan terhadap anak-anak dan generasi  muda Papua untuk mendapatkan hak pendidikan yang layak.

Indonesia gagal mengindonesiakan Papua karena sampai saat ini semua derita, ironi, tragedi yang dilakukan oleh kaum Kolonialisme itu tidak terbukti, maka masyarakat di wilayah Papua menuntut agar kebebasan itu terwujud." [5].

****
Untuk meretas tali merah penjajahan yang identik dengan eksploitasi SDA Papua dan pemarginalan orang asli Papua dalam segala aspek disertai upaya-upayaa pemusnahan, yang dibangun oleh negara Indonesia dan Amerika di wilayah Papua Barat, maka perjuangan pembebasan Papua Barat adalah solusi. Tapi ia butuh suatu persatuan yang kuat dalam garis perlawanan.

Untuk menambah referensi perjuangan perlawanan pembebasan Papua Barat, harus banyak belajar  dari beberapa tokoh yang telah berhasil melawan, mengusir, dan telah membebaskan bangsa yang telah dijajah. Baik bila baca karya Yakobus Odiyaipai Dumupa, "Belajar dari Pemimpin-Pemimpin Besar".  
Mohamad Karamac Gandi (India), kebenaran Hakiki adalah hidup bebas di tanah airnya sendiri tanpa ada penjajah (Kolonialisme) dari bangsa lain.Karenanya, ia tidak menghendaki penjajah Inggris atas bangsa India dan oleh karenanya ia menentang penjajah tersebut.

Bagi Fidel Alejandro Castro Ruz (Kuba), Hugo Rafael Chaves Fraias (Venezuela), Subcomandante Marcos (Mexico), Ernes GuevaraLinch de la Sarne (Argentina, Kuba, Bolivia) dan Muhamad Ahmaddinejad (Iran), kebenaran hakiki adalah hidup dengan kepala tegak dan keinginan sendiri  di negerinya sendiri tanpa ada campur tangan dari negara kuat seperti (Amerika Serikat, sebagai negara penganut paham neoliberalisme), apalagi harus melayani kepentingan Neoliberalisme kapitalisme yang menguntungkan mereka (sambil merugikan rakyat di negara-negara lemah). Karenanya mereka menentang campur tangan Amerika Serikat dan sekutunya di negara mereka demi menyelamatkan negara dan rakyatnya[6].  

Banyak yang membicarakan kemerdekaan pembebasan bangsa Papua Barat, tetapi sedikit yang menyuarakan. Sadar bahwa Bangsa Papua sedang dijajah adalah obat untuk melawan dan mengusir  tirani kolonialisme dan militerisme penjajah dari atas tanah Papua.

Derita negeri yang selama ini kita melihat adalah pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan perampasan hak wilayah, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri Bangsa Papua. Tetapi yang lebih menyakitkan adalah ketika masyarakat Papua tidak pernah merasa bahwa kita sedang dijajah oleh bangsa lain. Itu wujud penjajahan sempurna!

Andreas M. Yeimo, Mahasiswa Papua Kuliah di Yogyakarta

Referensi:

[1]. Pengerian Kolonialisme wakipedia Bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Kolonialisme
[2]. Pengertian militerisme wakipedia Bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Militerisme
[3]. http://majalahselangkah.com/content/aparat-brutal-tembak-mati-4-warga-sipil-6-dirawat-di-rsud-paniai
[4]. http://majalahselangkah.com/content/-kejar-penembak-polisi-kerahkan-1-576-personil-65-warga-ditangkap-dan-1-ditembak.
[5]. Haluk, Markus. Hilangnya Harapan Hidup dan Hak Asasi Manusia di Papua, 2013.
[6]. Dumupa Odiyaipai Yakobus. Mengenal dan Belajar dari Pemimpin Besar, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar