Ilustrasi |
Semua masalah itu bertolak belakang dengan kekayaan alam di Tanah Papua. Masalah Tanah Papua sudah sangat jelas dan terang benderang. Meski masalah sudah jelas, penyelesaian masalah-masalah itu sangat parsial dan reaktif sesaat. Padahal, Tanah Papua membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan komprehensif.
Persoalan Tanah Papua sangat kompleks. Bukan saja persoalan kesejahteraan, ketertinggalan, kemiskinan, keterisolasian, dan kebodohan, melainkan persoalan Tanah Papua memiliki dimensi internasional dan sensitivitas politik yang tinggi.
Masalah Papua tidak boleh disederhanakan seolah hanya masalah pangan, sandang, dan papan. Persoalan Papua berkaitan dengan keadilan dan kemanusiaan. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan, “No peace without justice” (“tidak ada kedamaian tanpa keadilan”). Itulah salah satu masalah utama di Tanah Papua.
Masalahnya, bukan hanya keadilan secara ekonomi, melainkan berkaitan dengan keadilan sosial dan politik. Hal ini, misalnya, sampai kini alokasi kursi DPR untuk setiap daerah berdasarkan jumlah penduduk. Jika tetap mengacu pada basis penduduk, Tanah Papua tidak pernah diperlakukan adil.
Semestinya, perlu dikombinasikan dengan luas wilayah ataupun proporsi berdasarkan kontribusi terhadap anggaran negara. Akibatnya, orang Papua merasa tidak adil karena kekayaan dikeruk. Namun, orang Papua tidak memiliki akses yang cukup untuk mengontrol dan mendistribusikan anggaran negara.
Jadi, tidak perlu terburu-buru mengeluarkan stigma tidak nasionalis, jika orang Papua meminta kuota khusus di parlemen maupun di pemerintahan nasional.
Kebijakan afirmasi seperti itu dibutuhkan untuk menjamin keadilan secara sosial, ekonomi, dan politik. Keadilan seperti ini merupakan inti demokrasi (substansi demokrasi), bukan demokrasi formalis, prosedural, yang hanya berkutat pada kalah-menang, mayoritas-minoritas, atau sebatas pemungutan suara.
Di berbagai negara demokratis juga masih memberlakukan kebijakan afirmasi bagi warga negara minoritas. Di Selandia Baru, misalnya, Suku Maori mendapat jatah kursi di parlemen dengan persentase yang cukup besar.
Indonesia tidak akan rugi jika ada kuota untuk orang asli Papua di parlemen. Begitu juga kalau irang asli Papua menduduki sejumlah posisi penting di kabinet.
Bahkan, sangat tepat jika Jokowi-JK membentuk satu lembaga setingkat menteri yang khusus menangani masalah Papua. Itu karena sangat adil kalau rakyat Tanah Papua yang memiliki kontribusi besar terhadap anggaran negara untuk ikut membagi ataupun mengawasi penggunaan anggaran.
Namun, orang terlalu mudah melancarkan stigma tidak nasional, ketika sedikit mempersoalkan wakil rakyat atau pemerintah dari daerah minus untuk mengatur jatah daerah penghasil.
Ini sama sekali bukan sikap tidak nasionalis. Pendiri negara ini telah jauh hari mengingatkan, nasionalisme Indonesia harus ditopang di atas keadilan dan kemanusiaan. (jadikan ancam kepentingan)
#medawogii
Oleh Micky Yeimo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar