Pelajar di Pedalaman Papua. Disiplin dalam belajar. Foto ist |
Persoalan pendidikan masih menjadi isu strategis di Papua. Setelah satu dekadeberlalu,wajah suram itu belumlah pudar.
Salah satu masalah besar yang dihadapi
Papua saat ini adalah kualifikasi guru Sekolah Dasar (SD). Sesuai data
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta LPMP Papua, dari 11.461 guru, baru
1.224 berkualifikasi S1 atau 10,6 persen. Hal ini tentu tidak sejalan
dengan pelaksanaan Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan
dosen yang menyebutkan bahwa pada tahun 2015, pemerintah mesti
menuntaskan kualifikasi guru ke jenjang S1.
“Sangat mustahil pada akhir tahun 2015,
kita mampu menuntaskan kualifikasi guru-guru kita, kita tidak bisa
memecahkannnya secara konvensional dan bekerja sendiri,” kata Gubernur
Papua Lukas Enembe, belum lama ini.
Menyikapi masih minimnya guru yang
belum berkualifikasi, Lukas meminta semua pihak bekerja keras serta
mampu menjalin kerjasama dengan berbagai pemangku kunci. “Harus segera
kita realisasikan kerjasama dengan lembaga pendidikan dan tenaga
kependidikan seperti FKIP Uncen dan Kolose pendidikan guru, serta
lembaga pendidikan tinggi di Indonesia untuk menjawab masalah ini,”
tandasnya.
Salah satu tantangan pendidikan adalah
masalah geografis dan terbatasnya akses, fasilitas dan sumber daya
manusia untuk menunjang proses belajar.
Lukas menambahkan, sampai saat ini
masih banyak penduduk usia 0 sampai 6 tahun yang belum mendapatkan
layanan Pendidikan Anak Usia Dini karena terbatasnya lembaga PAUD.
Lagi, masih banyak penduduk usia 7
sampai 12 tahun dan 13 sampai usia 15 tahun belum memperoleh kesempatan
menikmati layanan pendidikan dasar, karena terbatasnya ketersediaan
gedung sekolah di sejumlah kampung di daerah gunung dan lembah.
Hal ini mengakibatkan rendahnya capaian
Angka Partisipasi Murni SD dan Angka Partisipasi Murni SMP di beberapa
kabupaten. Dampaknya jelas berpengaruh pada rendahnya rata-rata lama
sekolah dan angka melek huruf di Papua yang digunakan sebagai indikator
pengukur keberhasilan pembangunan pendidikan oleh MDGs.
Salah satu contoh kabupaten yang
memiliki APM SD terendah yakni, Kabupaten Nduga, 15,6 persen. Ini
artinya penduduk usia 7 sampai 12 tahun di Kabupaten Nduga yang
bersekolah di SD hanya 15,6 persen, sedangkan 84,4 persen tidak
bersekolah.
“Masih banyak sekolah dasar di wilayah
terpencil dan terisolir juga belum memiliki rumah kepala sekolah dan
guru, sehingga banyak dari mereka meninggalkan tempat tugas yang
berdampak tingginya angka ketidakhadiran di tempat tugas,” ucapnya.
Problema pendidikan ini terlihat pula
dari tingginya angka tuna aksara atau buta aksara penduduk usia 15 – 59
tahun. Terdapat sekitar 675,253 jiwa atau 35,98 persen dari 1,876,746
jiwa, masih tuna aksara.
Ditempat terpisah, Dinas Pendidikan,
Pemuda, dan Olahraga Provinsi Papua mengklaim hampir di seluruh wilayah
Papua, minim guru. Walau ditempatkan guru, tapi tak pernah melaksanakan
tugas secara baik. Bahkan, terdapat satu sekolah dengan enam kelas,
namun hanya ada satu guru saja mengajar.
“Guru (selalu) menetap di ibukota
provinsi dan tak berada di tempat tugas. Sehingga, ketika siswa datang
ke sekolah, gurunya tak ada,” kata Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan
Olahraga Provinsi Papua, Elias Wonda.
Selain itu, kata Elias, beberapa
wilayah seperti di Kabupaten Puncak Jaya, anggota Tentara Nasional
Indonesia mesti turun tangan membantu mengajar sebagai guru dalam kelas.
“Ada juga di kampung-kampung yang sebenarnya sebagai guru sekolah
Alkitab, tapi terpaksa mengajar pelajaran umum di sekolah. Hal seperti
ini juga terjadi di daerah pedalaman lainnya di Papua.”
Sebenarnya, kata Elias, guru yang
mangkir dari tugas, disebabkan pula rendahnya tingkat kesejahteraan
mereka. Misalnya saja, sampai saat ini di daerah-daerah pedalaman Papua,
banyak guru yang belum memiliki rumah. “Kita bangun sekolah, tapi
gurunya tinggal jauh. Jika rumah guru dibangun dekat sekolah, saya rasa
mereka akan bertahan di situ,” katanya.
Menjawab masalah edukasi ini,
Pemerintah Provinsi Papua memberi respon luar biasa atas peluncuran
program ‘Bagimu Guru Kupersembahkan’ yang dilaksanakan oleh PT.
Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) bekerja sama dengan Unit
Implementasi Kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, sebagai bagian dari program Corporate Social Responsibility
(CSR).
Program ‘Bagimu Guru Kupersembahkan’
adalah sebuah project untuk meningkatkan keahlian para guru sehingga
memiliki kemampuan ajar yang baik. Hasil dari program ini, diharapkan
guru akan memiliki kompetensi dan keahlian yang baik untuk mendukung
tugas-tugasnya sebagai guru yang nantinya berpengaruh pada anak
didiknya.
Masalah pendidikan di Merauke
Kekosongan tenaga guru di wilayah
pedalaman Merauke bukan hal yang baru. Di SD Inpres Rawa Biru, Kampung
Rawa Biru Distrik Sota, Merauke, sejumlah guru selama empat bulan bahkan
tak pernah datang mengajar.
“SD Inpres Rawa Biru ada 15 guru, 13
PNS dan 2 guru honor. Namun yang aktif hanya 7 guru PNS dan 2 guru
honor,” beber Novita, salah seorang tenaga pengajar.
Mantan Ketua Komisi A DPRD Merauke,
Dominikus Ulukyanan mengemukakan, masalah pendidikan di Merauke, begitu
kompleks. “Roling kepala sekolah beberapa waktu lalu perlu segera
dievaluasi. (Ini disebabkan) antara lain, karena para guru yang
ditugaskan di pedalaman tidak betah. Mereka hanya ke sekolah pada waktu
ujian akhir,” ujarnya.
Menurut dia, disiplin pengelolaan keuangan sekolah juga membingungkan. “Pengelolaan keuangan sekolah sekehendak hati.”
Terkait program asrama, Ulukyanan
meminta Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Merauke untuk mulai
menganggarkan biaya operasional asrama pelajar pada tahun 2015
mendatang. “Supaya kepala asrama tidak mencari donatur ke sana kemari,
kalau dianggarkan, harap seadil-adilnya, sesuai dengan jumlah pelajar di
asrama.”
Katanya, pendidikan memang tidak
terlepas dari berbagai masalah. Pendidikan sesungguhnya membutuhkan
totalitas dalam penanganannya, baik oleh penyelenggara, praktisi maupun
pada tataran pelaku pendidikan.
Wakil Bupati Merauke, Sunarjo
menegaskan, pendidikan di Merauke, masih menjadi masalah besar dan
diibaratkan bencana. “Karena banyak sekolah, terutama di kampung-kampung
lokal, kegiatan belajar mengajar tak jalan sama sekali.”
“Saya harus jujur mengatakan, ketika
ada program kompetensi yang merupakan aturan dari tingkat pusat, hampir
semua guru berbondong-bondong meninggalkan tempat tugas untuk
melanjutkan kuliah di kota,” tegasnya.
Dengan ketidakhadiran para guru di kampung, demikian Wabup, secara tidak langsung proses belajar mengajar terhenti.
Soal Umum
Potret pendidikan di Papua memang jauh
dari unggul. Ketua Badan Pengurus Harian Ikatan Pelajar dan Mahasiswa
Dogiyai (IPMADO) se-Jawa dan Bali, Martinus Pigome mengatakan,
pemerintah mesti transparan dalam pembagian dana pendidikan, pemondokan,
dan tugas akhir pada anggaran tahun 2014. “Pembagian dana pendidikan
selayaknya transparan dan tepat sasaran bagi mahasiswa yang sedang
menempuh pendidikan di berbagai kota studi,” kata Martinus.
Di Biak, Kepala Kampung Sunyar, Distrik
Yendidori, Kabupaten Biak Numfor Yesaya Ayer, mengeluhkan pula kegiatan
belajar mengajar di SD Inpres Sunyar yang berjalan morat marit. “Saya
bingung kenapa bisa begitu, padahal ada rumah guru dan rumah kepala
sekolah yang tinggal kosong-kosong,” kata Ayer.
Rumah guru dibangun sebanyak tiga unit berisi 6 kopel. Namun tak pernah ditempati.
Melihat KBM di sekolah tersebut, Ayer
berharap ada perhatian Pemerintah Daerah Biak Numfor. “Pemerintah perlu
menambah guru mengingat tenaga guru di SD Inpres Sunyar hanya tiga orang
saja,” pinta Ayer. (JO/dari berbagai sumber/www.jeratpapua.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar