Otsus di Papua sebagai pusat dapur stakeholder. (Foto: MBEKO) |
Dewasa ini, kita mengenal sistem sentralisasi (orde baru)
dan sistem desentralisasi pada pemerintahan saat ini. Dalam artikel ini, penulis ingin membandingkan pemerintahan pada masa orde
baru dengan sistem sentralisasi dan pemerintahan saat ini
dengan sistem desentralisasi NKRI, khususnya di Papua.
1. Sistem Sentralisasi
Masa pemerintahan orde baru diatur dan
dikenal dengan sistem sentralisasi. Sistem sentralisasi dapat diartikan
sebagai sistem pemungutan hasil
rempah-rempah di daerah, kemudian diproses (dikelola) oleh pusat dan dibagikan
ke tiap daerah–daerah di seluruh Indonesia secara merata.
Namun sayangnya, dapat dipertanyakan di sini; mengapa di
daerah-daerah yang memiliki potensi kekayaan alam yang cukup banyak, tidak dapat menikmati hasilnya sesuai dengan kekayaan alam yang
dimiliki daerah tersebut, contohnya Papua? Bahkan pada saat
itu, proses pembagian pun juga “tidak merata“ bagi daerah-daerah yang memiliki
kekayaan yang melimpah. Tetapi, bagaimana sampai pembagian kepada semua daerah
disamakan? Inilah yang menjadi pertanyaan esensial. Mengapa? Daerah-daerah
yang memiliki kekayaan alam
melimpah, hanya
mendapatkan 10% dari hasil pembagian tersebut. Selain dari itu, 40% diterima di
pusat (Jakarta). Secara real, sejak orde baru, pembangunan di
daerah-daerah tersebut pun tidak merata. Kemudian, terjadi banyak
masalah sosial dan masalah kesehatan, di
antaranya gizi buruk, penyakit-penyakit menular, dan minimnya fasilitas
kesehatan dan rumah sakit serta tenaga medis (dokter dan suster) dalam hal
pelayanan di daerah-daerah tersebut.
Anehnya saat itu, pembangunan terus berkembang dan maju,
hanya berpusat di ibu kota Indonesia, yaitu Jakarta atau di daerah pulau Jawa.
Sedangkan daerah-daerah yang lain, mengalami ketertinggalan dalam hal
pembangunan dan dalam hal aspek ekonomi, social, dan politik serta juga banyak
aspek yang lain. Ini merupakan masalah- masalah vertikal. Ini juga
merupakan salah satu intimidasi yang bersifat tidak langsung, dalam hal mematikan ruang gerak demokrasi dalam konteks
politik, social, dan ekonomi serta karakter dan motivasi seseorang dalam
mengembangkan potensi yang dimiliki dalam diri seseorang.
Dengan melihat kenyataan yang terjadi di daerah-daerah,
khususnya di Papua sejak itu, masalah-masalah
tersebut tidak dapat diaspirasikan secara langsung kepada pemerintahan daerah
dan pusat, karena pada masa resim itu, segala ruang demokrasi ditutup rapat dan atau
dibungkam. Bahkan, hal ini juga dirasakan oleh daerah – daerah yang lain. Hal-hal yang dirasakan berupa ketidak puasan,
kesengsaraan, dan merasakan duri yang timbul dari dalam tubuh, menikam. Maka dengan hal ini, segala tindakan dan upaya mulai digencarkan dari berbagai elemen-elemen, mulai dari mahasiswa/i, LSM, dan ORMAS di seluruh
Indonesia. Elemen-elemen tersebut
digencarkan agar dapat
menjatuhkan kepemimpinan Soeharto yang otoriter dengan sistem yang sentralisasi tersebut. Akhirnya, segala upaya itu tercapai. Sehingga, masa rezim yang otoriter dan sistem sentralisasi tersebut lenyap dan
berakhir tahun
1999.
2. Sistem Desentralisasi
Setelah terjadi berbagai macam persoalan di dalam
pemerintahan masa orde baru, para stakeholder di dalam
pemerintah pusat (Jakarta) banyak mencari solusi agar Indonesia bisa menjadi satu “ikatan”, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menurut pandangan stakeholder pemerintah pusat.
Dengan berbagai solusi
terkait masalah di atas, maka ditetapkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian, diubah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan diatur melalui UU Nomor 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan. Sehingga, salah satu perubahan yang dilakukan
adalah merubah sistem sentralisasi menjadi
desentralisasi, dengan melihat pembagian dana yang
diatur sesuai dengan UU 25 Tahun 1999 yang telah ditetapkan.
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan kepada daerah-daerah untuk mengurus
dan mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Dengan pemberian kewenangan
kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, merupakan salah satu peluang bagi daerah-daerah dalam meningkatkan
pemberdayaan serta pelayanan kepada masyarakat, khususnya kepada daerah otonom atau
otonomi daerah.
Menurut Marixist, terdapat beberapa penjelasan yang melandasi ketidak berpihakkan pandangan
ini sendiri terhadap sistem desentralisasi,
yaitu:
a. Pandangan ini melihat bahwa pembagian
wilayah dalam konteks desentralisasi hanya akan menciptakan terjadinya
akumulasi modal, sehingga memunculkan kembali kaum
kapitalis.
b. Desentralisasi juga akan mempengaruhi
konsumsi kolektif, sehingga akan dipolitisasi. Konsumsi
kolektif dimaksudkan untuk memberikan pelayanan atas dasar kepentingan semua
kelas. Desentralisasi hanya akan menghasilakn ketidakadilan baru dalam konsumsi
kolektif antar wilayah di daerah tersebut.
c.
Meskipun pada
dasarnya demokrasi akan menempatkan mayoritas dalam pemerintahan daerah, tetapi
ada banyak cara yang biasa dilakukan kaum kapitalis untuk menghalangi–halangi
munculnya kelas pekerja dalam pemerintahan. Lembaga-lambaga perwakilan dalam
pemerintahan daerah tetap merupakan simbol demokrasi liberal dan tetap akan
dikuasai kaum kapitalis.
d. Dalam kaitannya dengan hubungan
pemerintahan, maka pemerintahan daerah hanya menjadi tangan panjang aparat
pemerintahan pusat untuk menjaga kepentingan monopoli kapital.
e. Terdapat berbagai rintangan mengenai
bagaimana demokrasi daerah akan berjalan dalam suasana desentralisasi.
Rintangan ini mencakup aspek ekologi, politik,
sosial, dan ekonomi
yang menyebabkan demokrasi di tingkat lokal hanya akan mengalami kegagalan.
Pandangan Marixist tersebut sangat benar, mengapa? Menurut pandangan penulis terhadap system desentralisasi yang
diluncurkan pemerintahan ini melalui UU Nomor 32 Tahun 2004, merupakan hal politik bukan melalui ekonomi atau
sosial. Secara implementasi, sesungguhnya yang terjadi di daerah-
daerah otonom, sama sekali tidak ada hasilnya dalam
pemberdayaan masyarakat, yang ada hanya kepentingan-kepentingan pribadi semata yang menghasilkan benih-benih kaum kapitalis, pejabat
politikus, dan membangun sarang “pencurian” di kabupaten/kota otonom. Dari
sini akan muncul istilah, “Yang kaya akan semakin kaya dan miskin akan
tetap semakin miskin”.
Salah
satu tujuan sistem desentralisasi yang perlu kita ketahui dan pahami ialah
pemerintah memberikan kewenangan kepada daerah untuk membantu meringankan tugas
dan fungsi pemerintah pusat, “bukan” untuk menyejahterakan masyarakat otonom daerah, khususnya Papua. Ini merupakan salah satu manipolitik pemerintah pusat
terhadap daerah-daerah otonomi. Maka, densentralisasi ini merupakan
jembatan penghubung antara pemerintah pusat dan daerah dalam berpolitik
kepentingan antara kaum kapitalis dan stakeholder di daerah-daerah Papua. Salah satu contohnya adalah dengan membuka pemekaran kabupaten dan provinsi di Papua tanpa memikirkan sumber daya manusia
(SDM) yang relatif minim dan
tanpa adanya
kesepakatan di antara masyarakat dengan stakeholder di daerah kabupaten,
hingga pada tingkat kecamatan/desa. Kemudian dengan banyak dana atau modal yang
diluncurkan pusat ke tiap daerah-daerah juga merupakan salah satu
kewajiban yang harus dipenuhi pusat. Hal ini merupakan aspirasi masyarakat
melalui stakeholder, tetapi ada sebab akibatnya dengan meluncurkan dana/modal
miliaran hingga triliun ke tiap daerah-daerah juga
yang akan
mempengaruhi gaya hidup masyarakat saat ini. Salah satunya adalah
merubah kebiasaan yang lama ke taraf hidup yang modernisasi. Misalnya, dulu masyarakat bisa bercocok tanam, kemudian menuai hasilnya. Tetapi sekarang, masyarakat hanya dapat melipat tangan dan menaruh harapan pada beras JPS dan dana-dana bantuan yang akan dicairkan dari pusat. Harapan masyarakat yang mandiri
tidak terwujud di sini. Inilah masalah sosial
dan ekonomi yang
di hadapi Papua saat ini.
Perubahan sangat diutamakan pemerintah dengan
mengutamakan sistem desentralisasi, berupa pemberian dana/modal.
Pemberian dana/modal untuk merubah infrastruktur dan sarana prasarana serta ruang lingkup tata
kota di daerah, seharusnya dilakukan pemerintah
daerah. Namun secara real, di daerah daerah
tidak 100%, hingga saat ini. Maka yang ada, tugas dan harapan pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah hanyalah sebatas impian yang
tak tercapai dan tak menyentuh harapan masyarakat Papua. Dengan demikan, seharusnya desentralisasi
pemerintahan dan daerah dapat mengaplikasikan kriteria terhadap wilayah-wilayah
atau daerah-daerah tersebut.
Terdapat teori para ahli yang dapat menyimpulkan
permasalan-permasalahan di daerah atau
wilayah yang telah dibahas di atas, di antaranya; Wood. Wood menyimpulkan bahwa kita telah mengupayakan kesejahteraan
dengan mengorbankan kebebasan dan kesamaan. Kita juga telah mencapai efesien
dalam ketentuan pelayaan publik, tetapi telah mengabaikan debat,
diskusi, dan partisipasi publik secara terbuka atau langsung dalam mengaplikasikan kriteria ini terhadap pemerintah daerah. Di sisi lain, Willbern juga menyimpulkan bahwa kita telah
mengupayakan kebebasan dan mengabaikan kesejahteraan. Bahkan, daerah-daerah telah membagi dan membatasi kemampuan mereka untuk mengatur
pelayanan publik yang tidak dapat disediakan secara
efektif melalui amandemen konstitusi suksesif dan cara-cara lain. Jadi, keduanya benar. Tetapi, kontras dan perbandingan memang bersifat instruktif.
Dengan demikian penulis berharap, semoga artikel ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya kaum Melanesia. Apa bila dalam penulisan ini terdapat kesalahan teknis dalam penulisan, mohon dimaafkan, karena semua manusia mempunyai
kelemahan dan kelebihan yang ada dalam diri kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar