Senin, 24 November 2014

OTONOOMI DAERAH PAPUA SEBAGAI PUSAT DAPUR BAGI STAKEHOLDER

Otsus di Papua sebagai pusat dapur stakeholder.
(Foto: MBEKO)


Oleh :  Stephan Yogi ##

Dewasa ini, kita mengenal sistem sentralisasi (orde baru) dan sistem  desentralisasi pada pemerintahan saat ini. Dalam artikel ini, penulis ingin membandingkan pemerintahan pada masa orde baru dengan sistem sentralisasi dan pemerintahan saat ini dengan  sistem desentralisasi  NKRI, khususnya di Papua.

1. Sistem Sentralisasi
Masa pemerintahan orde baru diatur dan dikenal dengan sistem sentralisasi. Sistem sentralisasi dapat diartikan sebagai  sistem pemungutan  hasil rempah-rempah di daerah, kemudian diproses (dikelola) oleh pusat dan dibagikan ke tiap daerah–daerah di seluruh Indonesia secara merata.

Namun sayangnya, dapat dipertanyakan di sini; mengapa di daerah-daerah yang memiliki potensi kekayaan alam yang cukup banyak, tidak dapat menikmati  hasilnya sesuai dengan kekayaan alam yang dimiliki daerah tersebut, contohnya Papua? Bahkan pada saat itu, proses pembagian pun juga “tidak merata“ bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan yang melimpah. Tetapi, bagaimana sampai pembagian kepada semua daerah disamakan? Inilah yang menjadi pertanyaan esensial. Mengapa? Daerah-daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah, hanya mendapatkan 10% dari hasil pembagian tersebut. Selain dari itu, 40% diterima di pusat (Jakarta). Secara real, sejak orde baru, pembangunan di daerah-daerah  tersebut pun tidak merata. Kemudian, terjadi banyak masalah sosial dan masalah kesehatan, di antaranya gizi buruk, penyakit-penyakit menular, dan minimnya fasilitas kesehatan dan rumah sakit serta tenaga medis (dokter dan suster) dalam hal pelayanan di daerah-daerah tersebut.

Anehnya saat itu, pembangunan terus berkembang dan maju, hanya berpusat di ibu kota Indonesia, yaitu Jakarta atau di daerah pulau Jawa. Sedangkan daerah-daerah yang lain, mengalami ketertinggalan dalam hal pembangunan dan dalam hal aspek ekonomi, social, dan politik serta juga banyak aspek  yang lain. Ini merupakan masalah- masalah vertikal. Ini juga merupakan salah satu intimidasi yang bersifat tidak langsung,  dalam hal mematikan ruang gerak demokrasi dalam konteks politik, social, dan ekonomi serta karakter dan motivasi seseorang dalam mengembangkan potensi yang dimiliki dalam diri seseorang.

Dengan melihat kenyataan yang terjadi di daerah-daerah, khususnya  di Papua sejak itu, masalah-masalah tersebut tidak dapat diaspirasikan secara langsung kepada pemerintahan daerah dan pusat, karena pada masa resim itu, segala ruang demokrasi ditutup rapat dan atau dibungkam. Bahkan, hal ini juga dirasakan oleh daerah – daerah yang lain. Hal-hal yang dirasakan berupa ketidak puasan, kesengsaraan, dan merasakan duri  yang timbul dari dalam tubuh, menikam. Maka dengan hal ini, segala tindakan dan upaya mulai digencarkan dari berbagai elemen-elemen, mulai dari  mahasiswa/i, LSM, dan ORMAS  di seluruh Indonesia. Elemen-elemen tersebut digencarkan agar dapat menjatuhkan kepemimpinan Soeharto yang otoriter dengan sistem yang sentralisasi tersebut. Akhirnya, segala upaya itu tercapai. Sehingga, masa rezim yang otoriter dan sistem sentralisasi tersebut lenyap dan berakhir tahun 1999.

2. Sistem Desentralisasi
Setelah terjadi berbagai macam persoalan di dalam pemerintahan masa orde baru, para stakeholder di dalam pemerintah pusat (Jakarta) banyak mencari solusi agar Indonesia bisa menjadi satu “ikatan”, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menurut pandangan stakeholder pemerintah pusat.

Dengan berbagai solusi terkait masalah di atas, maka ditetapkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian, diubah menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan diatur melalui UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan. Sehingga, salah satu perubahan yang dilakukan adalah merubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi, dengan melihat pembagian dana yang diatur sesuai dengan UU 25 Tahun 1999 yang telah ditetapkan.

Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Dengan pemberian kewenangan kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, merupakan salah satu peluang bagi daerah-daerah dalam meningkatkan pemberdayaan serta pelayanan kepada masyarakat, khususnya kepada daerah otonom atau otonomi daerah.

Menurut Marixist, terdapat beberapa penjelasan yang melandasi ketidak berpihakkan pandangan ini sendiri terhadap sistem desentralisasi, yaitu:
a.  Pandangan ini melihat bahwa pembagian wilayah dalam konteks desentralisasi hanya akan menciptakan terjadinya akumulasi modal, sehingga memunculkan kembali kaum kapitalis.
b.  Desentralisasi juga akan mempengaruhi konsumsi kolektif, sehingga akan dipolitisasi. Konsumsi kolektif dimaksudkan untuk memberikan pelayanan atas dasar kepentingan semua kelas. Desentralisasi hanya akan menghasilakn ketidakadilan baru dalam konsumsi kolektif antar wilayah di daerah tersebut.
c.   Meskipun pada dasarnya demokrasi akan menempatkan mayoritas dalam pemerintahan daerah, tetapi ada banyak cara yang biasa dilakukan kaum kapitalis untuk menghalangi–halangi munculnya kelas pekerja dalam pemerintahan. Lembaga-lambaga perwakilan dalam pemerintahan daerah tetap merupakan simbol demokrasi liberal dan tetap akan dikuasai kaum kapitalis.
d.  Dalam kaitannya dengan hubungan pemerintahan, maka pemerintahan daerah hanya menjadi tangan panjang aparat pemerintahan pusat untuk menjaga kepentingan monopoli kapital.
e.  Terdapat berbagai rintangan mengenai bagaimana demokrasi daerah akan berjalan dalam suasana desentralisasi. Rintangan ini mencakup aspek ekologi, politik, sosial, dan ekonomi yang menyebabkan demokrasi di tingkat lokal hanya akan mengalami kegagalan.

Pandangan Marixist tersebut sangat benar, mengapa? Menurut pandangan penulis terhadap system desentralisasi yang diluncurkan pemerintahan ini melalui UU Nomor 32 Tahun 2004, merupakan hal politik bukan melalui ekonomi atau sosial. Secara implementasi, sesungguhnya yang terjadi di daerah- daerah otonom, sama sekali tidak ada hasilnya dalam pemberdayaan masyarakat, yang ada hanya kepentingan-kepentingan pribadi semata yang menghasilkan benih-benih kaum kapitalis, pejabat politikus, dan membangun sarang “pencurian” di kabupaten/kota otonom. Dari sini akan muncul istilah, “Yang kaya akan semakin  kaya dan miskin akan tetap semakin miskin.

Salah satu tujuan sistem desentralisasi yang perlu kita ketahui dan pahami  ialah pemerintah memberikan kewenangan kepada daerah untuk membantu meringankan tugas dan fungsi pemerintah pusat, “bukan” untuk menyejahterakan masyarakat otonom daerah, khususnya Papua. Ini merupakan salah satu  manipolitik pemerintah pusat terhadap daerah-daerah otonomi. Maka, densentralisasi ini merupakan jembatan penghubung antara pemerintah pusat dan daerah dalam berpolitik kepentingan antara kaum kapitalis dan stakeholder di daerah-daerah Papua. Salah satu contohnya adalah dengan membuka pemekaran kabupaten dan provinsi di Papua tanpa memikirkan sumber daya manusia (SDM) yang relatif minim dan tanpa adanya kesepakatan di antara masyarakat dengan stakeholder di daerah kabupaten, hingga pada tingkat kecamatan/desa. Kemudian dengan banyak dana atau modal yang diluncurkan pusat ke tiap daerah-daerah juga merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi pusat. Hal ini merupakan aspirasi masyarakat melalui stakeholder, tetapi ada sebab akibatnya dengan meluncurkan dana/modal miliaran hingga triliun ke tiap daerah-daerah juga yang akan mempengaruhi  gaya hidup masyarakat saat ini. Salah satunya adalah merubah kebiasaan yang lama ke taraf hidup yang modernisasi. Misalnya, dulu masyarakat bisa bercocok tanam, kemudian menuai hasilnya. Tetapi sekarang, masyarakat hanya dapat melipat tangan dan menaruh harapan pada beras JPS dan dana-dana bantuan yang akan dicairkan dari pusat. Harapan masyarakat yang mandiri tidak terwujud di sini. Inilah masalah sosial dan ekonomi yang di hadapi Papua saat ini.

Perubahan sangat diutamakan pemerintah dengan mengutamakan  sistem desentralisasi, berupa pemberian dana/modal. Pemberian dana/modal untuk merubah infrastruktur dan sarana prasarana serta ruang lingkup tata kota di daerah, seharusnya dilakukan pemerintah daerah. Namun secara real, di daerah daerah tidak 100%, hingga saat ini. Maka yang ada, tugas dan harapan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah hanyalah sebatas impian yang tak tercapai dan tak menyentuh harapan masyarakat Papua. Dengan demikan, seharusnya desentralisasi pemerintahan dan daerah dapat mengaplikasikan kriteria terhadap wilayah-wilayah atau daerah-daerah tersebut.

Terdapat teori para ahli yang dapat menyimpulkan permasalan-permasalahan di daerah atau wilayah  yang telah dibahas di atas, di antaranya; Wood. Wood menyimpulkan bahwa kita telah mengupayakan kesejahteraan dengan mengorbankan kebebasan dan kesamaan. Kita juga telah mencapai efesien dalam ketentuan pelayaan publik, tetapi telah mengabaikan debat, diskusi, dan partisipasi publik secara terbuka atau langsung dalam mengaplikasikan kriteria ini terhadap pemerintah daerah. Di sisi lain, Willbern juga menyimpulkan bahwa kita telah mengupayakan kebebasan dan mengabaikan kesejahteraan. Bahkan, daerah-daerah telah membagi dan membatasi kemampuan mereka untuk mengatur pelayanan publik yang tidak dapat disediakan secara efektif melalui amandemen konstitusi suksesif dan cara-cara lain. Jadi, keduanya benar.  Tetapi, kontras dan perbandingan memang bersifat instruktif.

Dengan demikian penulis berharap, semoga artikel ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya kaum Melanesia. Apa bila dalam penulisan ini terdapat kesalahan teknis dalam penulisan, mohon  dimaafkan, karena semua manusia mempunyai kelemahan dan kelebihan yang ada dalam diri kita masing-masing.

(Stephan Yogi, Mahasiswa kota studi Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar