Bastian Tebai (foto Pdibadi fb) |
Oleh Topilus B. Tebai #
Ini beberapa dialog yang saya ikuti.
“Ah, sob, sa trada bakat di bagian situ jadi, kamu lanjutkan saja,” kata Mikha (bukan nama sebenarnya).
“Tra menulis juga kita hidup moo. Jangan saling paksa untuk menulis.
Semua mahasiswa to, jadi atur masing-masing,” begitu komentar Jack
(bukan nama sebenarnya) dalam sebuah diskusi soal tulis menulis.
“Kita itu bukan butuh orang yang jago tulis-tulis di media massa.
Kita itu butuh orang yang kerja di lapangan, turun ke jalan,” kata
seorang aktivis ketika seorang rekan mengajak penjelasan lisannya
dituliskan dalam bentuk tulisan untuk ditawarkan kepada media-media
online agar dibaca publik.
“Mantap. Tingkatkan adik-adik.” Itu saja komentarnya ketika ditawari
membeli sebuah majalah yang dibuat oleh anak-anak Papua di tanah rantau
dua hari yang lalu. Kakak itu bahkan tidak punya gairah untuk membeli.
Jangankan membeli, membuka lembar demi lembar, sekedar untuk melihat pun
tidak. Cover luar mungkin sudah cukup baginya.
Potongan-potongan dialog di atas saya kira telah mewakili sebagian
kecil dari gambaran realita hidup mahasiswa Papua ketika bersentuhan
dengan kalimat ‘tulis menulis’.
***
Ketika membuka facebook, saya dapati banyak mahasiswa Papua cukup up to date dengan perkembangan tanah Papua saat ini, perkembangan Indonesia dan dunia. Hal ini tercermin dari artikel dan berita yang dibagikan melalui facebookdan twitter.
Ketika membuka facebook, saya dapati banyak mahasiswa Papua cukup up to date dengan perkembangan tanah Papua saat ini, perkembangan Indonesia dan dunia. Hal ini tercermin dari artikel dan berita yang dibagikan melalui facebookdan twitter.
Mahasiswa Papua cenderung lebih suka membagi masalah-masalah hak
asasi manusia seperti pelanggaran HAM di Papua, mengenai Persipura dan
sepakbola, dan mengenai kekayaan alam Papua dan eksploitasinya.
Banyak mahasiswa Papua yang memaki, marah atas kekeliruan penulisan
dan perekayasaan fakta di media-media nasional atas peristiwa-peristiwa
-terutama yang bersentuhan dengan hak orang Papua untuk menentukan nasib
sendiri- yang terjadi di tanah Papua. Mahasiswa marah karena tahu,
fakta yang terjadi tidak seperti yang ditulis sang penulis.
Di beberapa tulisan yang dibuat oleh anak muda Papua, banyak dari
kita yang terlihat cukup pandai dengan memberi komentar mengenai apa
yang ditulis.
Beberapa dari kita merasa ‘nyaman’ dengan cukup menunggu artikel dan
berita yang dihasilkan beberapa media online untuk kemudian dicopy paste
ke blog milik pribadi dengan atau tanpa menyertakan sumber. Dari
blognya, kemudian artikel itu dibagikan kepada publik melalui facebook
dan twitter.
Di majalahselangkah.com misalnya, beberapa mahasiswa Papua mengirim
tulisan yang cukup ‘wah‘. Setelah dilacak melalui internet, banyak
tulisan yang ternyata adalah hasil copy paste karya orang lain. Ini
plagiat. Bisa kena hukuman karena melanggar hukum.
Beberapa dari kita sibuk mengambil potongan-potongan kalimat dari
beberapa tokoh orang Papua dan dibagikannya kepada publik, tanpa menilai
dahulu apakah kalimat yang terucap dari sang tokoh masih relevan untuk
dikonsumsi publik, cenderung ambigu bila dipotong dan disendirikan,
sehingga apakah bertentangan atau tidak dengan eksistensi dan pendirian
sang tokoh di tengah gejolak sosial politik ekonomi di Papua. Ini
sepele, tetapi dapat mengubah mindset publik soal elektabilitas tokoh.
Sementara yang lain bahkan fokus hanya untuk kuliah. Hidup selama
minimal 4 tahun kuliah hanya diabdikan untuk ke kampus, belajar, tidur
dan makan, sehingga akhirnya lupa diri dengan tugasnya sebagai
mahasiswa, menjalankan aspek lainnya dari Tri Dharma Mahasiswa.
***
Kondisi sosial-politik-ekonomi dan budaya di Papua dengan cepat berganti rupa. Zaman sedang bergerak. Perubahan sedang terjadi. Tahukah Anda kemana arah gerakannya? Bagaimana bila perubahan itu mengarah kepada kehancuran?
Kondisi sosial-politik-ekonomi dan budaya di Papua dengan cepat berganti rupa. Zaman sedang bergerak. Perubahan sedang terjadi. Tahukah Anda kemana arah gerakannya? Bagaimana bila perubahan itu mengarah kepada kehancuran?
Tugas mahasiswa Papua adalah mengarahkan perubahan itu ke arah yang
baik. Menentukan arah yang baik dan yang tidak baik yang harus dijauhi
juga adalah tugas mahasiswa. Mahasiswa bertugas mengobarkan api
demokrasi dengan menjadi corong suara rakyat.
Saluran untuk itu semua yang paling baik adalah menulis. Dengan
menulis, ide-ide konstruktif kita akan dikonsumsi publik, kritik dan
pendapat kita akan mengawal pembangunan, tulisan kita menjadi corong
suara rakyat. Mahasiswa mesti mengkritisi sistem dan birokrat yang
kapitalistik dan cenderung pro pusat dan pemodal- bila itu memang
terjadi.
Mahasiswa harus bangun dan mulai mengisi ruang-ruang yang disediakan
media-media milik orang Papua dengan menulis. Mahasiswa harus sadar diri
dan meningkatkan minat baca dan tulis.
Dan satu lagi, mahasiswa dituntut untuk sadar bahwa menulis itu
proses, bukan bakat. Meminjam kalimat Yermias Degey, “Tak ada seorang
ibu di dunia ini yang melahirkan seorang penulis”.
Mahasiswa dituntut sadar diri dengan statusnya sebagai mahasiswa,
untuk kegiatan copy paste berita dan atau artikel dan posting ke blog
pribadi karena hanya akan menjadi pupuk penyubur budaya malas tulis dan
instan. Mahasiswa Papua dituntut menulis sendiri, dan tidak plagiat.
Mahasiswa Papua sebagai kaum terdidik mesti bangkit mendidik rakyat
dengan menganalisa kondisi terkini dan ramalan akan hari esok, dan
menyampaikannya dalam bentuk penyampaian lisan dan tertulis yang enak
diterima.
Ini semua tugas kita, karena kita mahasiswa Papua sebenarnya punya
kewajiban menjalankan jawaban dari pertanyaan ini: “Ingin dibawa kemana
Papua ini?”
***
Zaman yang sedang bergerak menuntut mahasiswa Papua untuk menulis. Menulis apa yang dilihat, dialami, dirasakan, didengar. Menulis itu kegiatan reflektif. Kita dituntut banyak membaca.
Zaman yang sedang bergerak menuntut mahasiswa Papua untuk menulis. Menulis apa yang dilihat, dialami, dirasakan, didengar. Menulis itu kegiatan reflektif. Kita dituntut banyak membaca.
Bagaimana menulis? Banyak buku dan sumber yang dapat menjadi rujukan
mahasiswa. Yang dibutuhkan mahasiswa adalah kemauan dan tekad.
Sudah saatnya kita dengan tegas mengatakan akan menegur para penulis
berita dan artikel di media nasional yang menulis berita yang kita pikir
direkayasa itu dengan menyajikan yang sebenarnya terjadi, dan bukan
lagi dengan mengomentari singkat dan memaki di facebook dan twitter.
Ingat kata-kata Pramoedya Ananta Toer, “Jika umurmu tidak sepanjang
umur bumi, sambunglah dengan tulisan”. Sejarah bangsa harus lahir dan
diukir dan ditulis oleh anak bangsa sendiri.
Ini kata-kata Adolf Hitler, pimpinan Nazi Jerman pada Perang Dunia
II, “Saya tidak takut pada ujung senjata. Saya hanya takut pada ujung
pena.”
Topilus B. Tebai, Mahasiswa Papua, Penulis di majalahselangkah.com.
Sumber : http://majalahselangkah.com/content/zaman-menuntut-mahasiswa-menuli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar