Selasa, 29 Juli 2014

ZAMAN INI MENUNTUT MAHASISWA MENULIS

Bastian Tebai (foto Pdibadi fb)
Oleh Topilus B. Tebai #

Ini beberapa dialog yang saya ikuti.
“Ah, sob, sa trada bakat di bagian situ jadi, kamu lanjutkan saja,” kata Mikha (bukan nama sebenarnya). 

“Tra menulis juga kita hidup moo. Jangan saling paksa untuk menulis. Semua mahasiswa to, jadi atur masing-masing,” begitu komentar Jack (bukan nama sebenarnya) dalam sebuah diskusi soal tulis menulis.

“Kita itu bukan butuh orang yang jago tulis-tulis di media massa. Kita itu butuh orang yang kerja di lapangan, turun ke jalan,” kata seorang aktivis ketika seorang rekan mengajak penjelasan lisannya dituliskan dalam bentuk tulisan untuk ditawarkan kepada media-media online agar dibaca publik.

“Mantap. Tingkatkan adik-adik.” Itu saja komentarnya ketika ditawari membeli sebuah majalah yang dibuat oleh anak-anak Papua di tanah rantau dua hari yang lalu. Kakak itu bahkan tidak punya gairah untuk membeli. Jangankan membeli, membuka lembar demi lembar, sekedar untuk melihat pun tidak. Cover luar mungkin sudah cukup baginya.

Potongan-potongan dialog di atas saya kira telah mewakili sebagian kecil dari gambaran realita hidup mahasiswa Papua ketika bersentuhan dengan kalimat ‘tulis menulis’.
***
Ketika membuka facebook, saya dapati banyak mahasiswa Papua cukup up to date dengan perkembangan tanah Papua saat ini, perkembangan Indonesia dan dunia. Hal ini tercermin dari artikel dan berita yang dibagikan melalui facebookdan twitter.

Mahasiswa Papua cenderung lebih suka membagi masalah-masalah hak asasi manusia seperti pelanggaran HAM di Papua, mengenai Persipura dan sepakbola, dan mengenai kekayaan alam Papua dan eksploitasinya.

Banyak mahasiswa Papua yang memaki, marah atas kekeliruan penulisan dan perekayasaan fakta di media-media nasional atas peristiwa-peristiwa -terutama yang bersentuhan dengan hak orang Papua untuk menentukan nasib sendiri- yang terjadi di tanah Papua. Mahasiswa marah karena tahu, fakta yang terjadi tidak seperti yang ditulis sang penulis. 

Di beberapa tulisan yang dibuat oleh anak muda Papua, banyak dari kita yang terlihat cukup pandai dengan memberi komentar mengenai apa yang ditulis. 

Beberapa dari kita merasa ‘nyaman’ dengan cukup menunggu artikel dan berita yang dihasilkan beberapa media online untuk kemudian dicopy paste ke blog milik pribadi dengan atau tanpa menyertakan sumber. Dari blognya, kemudian artikel itu dibagikan kepada publik melalui facebook dan twitter.

Di majalahselangkah.com misalnya, beberapa mahasiswa Papua mengirim tulisan yang cukup ‘wah‘. Setelah dilacak melalui internet, banyak tulisan yang ternyata adalah hasil copy paste karya orang lain. Ini plagiat. Bisa kena hukuman karena melanggar hukum.

Beberapa dari kita sibuk mengambil potongan-potongan kalimat dari beberapa tokoh orang Papua dan dibagikannya kepada publik, tanpa menilai dahulu apakah kalimat yang terucap dari sang tokoh masih relevan untuk dikonsumsi publik, cenderung ambigu bila dipotong dan disendirikan, sehingga apakah bertentangan atau tidak dengan eksistensi dan pendirian sang tokoh di tengah gejolak sosial politik ekonomi di Papua. Ini sepele, tetapi dapat mengubah mindset publik soal elektabilitas tokoh.

Sementara yang lain bahkan fokus hanya untuk kuliah. Hidup selama minimal 4 tahun kuliah hanya diabdikan untuk ke kampus, belajar, tidur dan makan, sehingga akhirnya lupa diri dengan tugasnya sebagai mahasiswa, menjalankan aspek lainnya dari Tri Dharma Mahasiswa.
***
Kondisi sosial-politik-ekonomi dan budaya di Papua dengan cepat berganti rupa. Zaman sedang bergerak. Perubahan sedang terjadi. Tahukah Anda kemana arah gerakannya? Bagaimana bila perubahan itu mengarah kepada kehancuran?

Tugas mahasiswa Papua adalah mengarahkan perubahan itu ke arah yang baik. Menentukan arah yang baik dan yang tidak baik yang harus dijauhi juga adalah tugas mahasiswa. Mahasiswa bertugas mengobarkan api demokrasi dengan menjadi corong suara rakyat.

Saluran untuk itu semua yang paling baik adalah menulis. Dengan menulis, ide-ide konstruktif kita akan dikonsumsi publik, kritik dan pendapat kita akan mengawal pembangunan, tulisan kita menjadi corong suara rakyat. Mahasiswa mesti mengkritisi sistem dan birokrat yang kapitalistik dan cenderung pro pusat dan pemodal- bila itu memang terjadi.

Mahasiswa harus bangun dan mulai mengisi ruang-ruang yang disediakan media-media milik orang Papua dengan menulis. Mahasiswa harus sadar diri dan meningkatkan minat baca dan tulis. 

Dan satu lagi, mahasiswa dituntut untuk sadar bahwa menulis itu proses, bukan bakat. Meminjam kalimat Yermias Degey, “Tak ada seorang ibu di dunia ini yang melahirkan seorang penulis”.

Mahasiswa dituntut sadar diri dengan statusnya sebagai mahasiswa, untuk kegiatan copy paste berita dan atau artikel dan posting ke blog pribadi karena hanya akan menjadi pupuk penyubur budaya malas tulis dan instan. Mahasiswa Papua dituntut menulis sendiri, dan tidak plagiat.

Mahasiswa Papua sebagai kaum terdidik mesti bangkit mendidik rakyat dengan menganalisa kondisi terkini dan ramalan akan hari esok, dan menyampaikannya dalam bentuk penyampaian lisan dan tertulis yang enak diterima. 

Ini semua tugas kita, karena kita mahasiswa Papua sebenarnya punya kewajiban menjalankan jawaban dari pertanyaan ini: “Ingin dibawa kemana Papua ini?”
***
Zaman yang sedang bergerak menuntut mahasiswa Papua untuk menulis. Menulis apa yang dilihat, dialami, dirasakan, didengar. Menulis itu kegiatan reflektif. Kita dituntut banyak membaca. 

Bagaimana menulis? Banyak buku dan sumber yang dapat menjadi rujukan mahasiswa. Yang dibutuhkan mahasiswa adalah kemauan dan tekad.

Sudah saatnya kita dengan tegas mengatakan akan menegur para penulis berita dan artikel di media nasional yang menulis berita yang kita pikir direkayasa itu dengan menyajikan yang sebenarnya terjadi, dan bukan lagi dengan mengomentari singkat dan memaki di facebook dan twitter. 

Ingat kata-kata Pramoedya Ananta Toer, “Jika umurmu tidak sepanjang umur bumi, sambunglah dengan tulisan”. Sejarah bangsa harus lahir dan diukir dan ditulis oleh anak bangsa sendiri.

Ini kata-kata Adolf Hitler, pimpinan Nazi Jerman pada Perang Dunia II, “Saya tidak takut pada ujung senjata. Saya hanya takut pada ujung pena.”
Topilus B. Tebai, Mahasiswa Papua, Penulis di majalahselangkah.com.

Sumber : http://majalahselangkah.com/content/zaman-menuntut-mahasiswa-menuli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar