Ilustrasi Tapol Napol KNPB Wilayah Timika-West Papua ( Foto ,suarakolaitaga.blogspot.com) |
RINGKASAN
Pada akhir bulan Maret 2014, setidaknya terdapat 73 tahanan politik di penjara Papua.
Dalam dua kasus terpisah, enam orang ditangkap di Sasawa pada bulan Februari dan dua orang ditangkap di Sarmi pada bulan Desember 2013 menghadapi persidangan atas permufakataan untuk melakukan makar di bawah Pasal 106 and dan Pasal 110 KUHP. Sementara tahanan Sasawa dituduh atas pemilikian senjata dan sebagai anggota Tentera Nasional Papua Barat (TNPB), Edison Werimon dan Soleman Fonataba dalam penangkapan Sarmi didakwa karena mereka memiliki bendera 14 Bintang Melanesia Barat dan dokumen lain yang diduga berkaitan dengan makar.
Dakwaan permufakatan untuk melakukan makar terus dipergunakan dalam berbagai pelanggaran, termasuk aktivitas politik damai seperti kepemilikian bendera. Penangkapan Werimon dan Fonataba, yang terjadi hanya beberapa minggu sebelum kunjungan delegasi Melanesian Spearhead GroupI (MSG) pada bulan Januari, menunjukkan bahwa Indonesia berusaha untuk menekan identitas Melanesia yang berkembang antara orang pribumi Papua.
Wawancara yang dilakukan oleh pekerja HAM setempat mengungkapkan bahwa dalam penangkapan warga sipil di Kerom dan Jayapura pada tanggal 26 November, kepolisian Jayapura memalsukan kandungan Berita Acara Pemeriksaan untuk kedua kasus tersebut.Pihak Lembaga Pemasyarakatan (LP) terus menolak perawatan medis yang mendesak untuk Stephanus Banal, yang menderita cedera serius setelah ditembak oleh polisi dalam sebuah penggerebekan di Oksibil. Kegagalan pihak berwenang untuk memenuhi kewajiban hukum mereka dalam memastikan persidangan yang adil dan kegagalan menyediakan perawatan kesehatan yang memadai kepada tahanan politik mengakibatkan meruncingnya ketegangan antara orang pribumi Papua dan negara.
Sejak bulan Juni 2013, pembela HAM, terutama Gerakan Mahasiswa Pemuda Rakya Papua (Gempar-P), telah mengadakan aksi demo mengutuk Otsus Plus yang disusun secara rahasia. Aparat keamanan terus betindak keras dengan membubarkan demonstrasi-demonstrasi ini dan menganiaya para pemrotes. Demonstrasi yang diorganisir oleh Gempar-P pada tanggal 11 Maret dibubarkan oleh kepolisian Jayapura dengan alasan, antara lain, kelompok tersebut tidak terdaftar dengan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Cara ini dilakukan secara berulang-ulang oleh polisi untuk mendelegitimasi dan menguasai kelompok-kelompok warga sipil pribumi. Apabila mereka mencoba untuk mendaftarkan kelompok mereka ke Kesbanpol, pendaftaran mereka akan diabaikan.
Tidakadanya kemauan politik dari pihak pemerintah untuk berunding secara luas dengan masyarakat sipil dalam isu mendesak seperti Otsus Plus mencerminkan keengganan mempertimbangkan pandangan orang Papua. Pendekatan ‘top-down’ yang digunakan oleh Indonesia dalam pembangunan di Papua ini memicu kerusuhan. Aksi-aksi protes damai yang bertujuan untuk mengritisi pemerintah, seringkali ditanggapi dengan tekanan keras yang pada akhirnya menyebabkan kerusuhan lebih lanjut. Sikap pemerintah yang terus bersikeras dengan cara pendekatan pembangunan di Papua yang sama, menjadi faktor penting dalam memicu ketidakstabilan.
PENANGKAPAN
Petani Nabire ditangkap dan dituduh sebagai anggota OPM
Pada tanggal 2 Maret, Otis Waropen, seorang petani dari kampung Sima di Nabire ditangkap oleh Polres Nabire dan anggota Brimob. Dia dituduh sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah gerakan pro-kemerdekaan bersenjata. Simon Petrus Hanebora, kepala suku Yerisiam memberitahu Majalah Selangkah bahwa Waropen adalah seorang petani yang tidak mempunyai afiliasi politik apapun. Dia meminta aparat Brimob untuk meninggalkan distrik Yaur di Nabire karena mereka menganiaya penduduk. Dakwaan atas Otis Waropen masih belum jelas.
PEMBEBASAN
Tahanan makar Sarmi dibebaskan
Pada tanggal 1 Februari, Daniel Norotouw, satu dari empat orang yang ditangkap pada tanggal 3 Maret 2013 dengan dakwaan makar, telah dibebaskan setelah menyelesaikan hukuman penjara selama satu tahun. Keempat tahanan tersebut mengatakan bahwa mereka mengadakan acara sosialisi di Sarmi, dalam rangka perencanaan acara tanggal 1 Mei, yang menandai pemindahan administrasi Papua ke Indonesia. Norotouw divonis satu tahun penjara sementara Isak Demetouw, Niko Sasomar dan Soleman Teno dihukum dua tahun dan dua bulan penjara atas dugaan kepemilikian senjata.
Tiga orang ditangkap dalam penggerebakan militier di kampung Kontiunai dibebaskan
Informasi dari pengacara HAM yang mengunjungi tahanan di Polres Serui mengungkapkan bahwa tiga orang yang ditahan selepas penggerebekan di kampung Kontiunai di pulau Yapen sudah dibebaskan. Diduga bahwa Matias Merani dibebaskan pada awal bulan Maret. Agus Wondiwoi dan Piter Merani awalnya menghadapi dakwaan kepemilikian amunisi di bawah UU Darurat 12/1951 tetapi sudah dibebaskan. Menurut informasi yang didapat oleh pengacara HAM dari polisi di Yapen, kedua orang itu dibebaskan karena mereka bukan ‘target utama’. Polisi terus melakukan operasi penggerebekan di Konti dan Menawai untuk mencari Rudi Orarei, diduga sebagai kepala Tentera Nasional Papua Barat (TNPB). Sumber lokal melaporkan bahwa situasi di daerah ini masih tidak tenang dan warga sipil belum bisa melanjutkan aktivitas normal sehari-hari.
PENGADILAN BERNUANSA POLITIK DAN PANDANGAN SEKILAS TENTANG KASUS-KASUS
Enam tahanan yang ditangkap di Sasawa dikenakan dakwaan makar
Informasi diterima dari pengacara HAM mengatakan bahwa enam dari tujuh orang yang ditangkap pada saat penggerebekan militer besar-besaran di kampung Sasawa di pulau Yapen menghadapi dakwaan permufakatan untuk melakukan makar di bawah Pasal 106, 108 dan 110 KUHP dan kepemilikian senjata di bawah UU 12/1951. Septinus Wonawoai sudah dibebaskan tetapi dikenakan wajib lapor ke polisi, masih terus diinvestigasi dan mungkin akan disidang.
Seperti dilaporan dalan update Februari, beberapa antara mereka adalah warga sipil yang tidak terlibat dengan gerakan pro-kemerdekaan bersenjata TNPB. Masih belum jelas siapa di antara keenam orang tersebut – Salmon Windesi, Peneas Reri, Kornelius Woniana, Obeth Kayoi, Rudi Otis Barangkea dan Jimmi Yermias Kapanai – yang adalah warga sipil dan tidak terlibat dengan TNPB. Pengacara HAM sedang mencari cara untuk mewakili keenam orang itu tetapi terhambat karena kurangnya dana operasi. Penerbangan ke daerah tersebut dari Jayapura melalui Biak mahal, dan dengan kapal perjalanan memakan waktu satu minggu.
Pihak LP Abepura menolak untuk membayar operasi mendesak untuk Stefanus Banal
Pekerja HAM melaporkan bahwa kondisi fisik Stefanus Banal semakin memburuk dan memerlukan prosedur medis mendesak untuk mengeluarkan besi yang sebelumnya dimasukkan untuk memasang tulang kakinya yang patah. Banal ditembak oleh polisi dalam penggerebekan di Oksibili di kabupaten Pegunungan Bintang. Seorang aktivis HAM setempat yang mewawancarai Banal melaporkan bahwa dia mengalami sakit nyeri di dalam kakinya yang nampaknya menunjukkan tanda-tanda infeksi. Pihak LP Abepura menolak membayar biaya operasi dan mengabaikan tanggung jawab mereka untuk memberikan perawatan medis yang memadai. Sebaliknya mereka melemparkan tanggung jawab ke keluarga Banal, yang tidak mampu membayar biaya operasi yang diperlukan.
Polisi merekayasa berita acara pemeriksaan dalam kasus penangkapan warga sipil di Kerom
Seperti dilaporkan dalam update bulan Februari, tiga warga sipil ditangkap di Kerom dalam sebuah peristiwa di mana mereka tidak terlibat sama sekali, dan di mana penduduk setempat menentang aparat keamanan yang menebang kayu secara ilegal. Yulianus Borotian, Petrus Yohanes Tafor dan Wilem Tafor disidang di bawah dakwaan kekerasan terhadap orang atau barang di bawah Pasal 170 KUHP. Ketiga orang tersebut dituduh membunuh seorang anggota polisi yang tewas dalam kejadian tersebut pada tanggal 13 Desember 2013, di mana polisi bentrok dengan sekumpulan orang yang memprotes upaya mereka dalam mencuri sumber daya alam setempat. Menurut seorang peneliti HAM, polisi Kerom memalsukan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dalam kasus ini.
10 tahanan dalam penangkapan November di Jayapura akan disidang
Pada tanggal 26 November 2013, 12 orang ditahan selepas sebuah demonstrasi di Jayapura yang mendukung pembukaan kantor Free West Papua Campaign (FWPC) di Papua Nugini. Walaupun mereka tidak terlibat dalam demonstrasi tersebut, 11 dari 12 yang ditahan disidang. Pada tanggal 11 Februari, Nikson Mul yang berumur 16 tahun dibebaskan demi hukum. Pada akhir Februari, Penius Tabuni dihukum lima bulan penjara dan diharap akan dibebaskan pada bulan April 2014.
Sepuluh tahanan yang lain – Pendius Tabuni, Muli Hisage, Karmil Murib, Tomius Mul, Nius Lepi, Tinus Meage, Mathius Habel, Agus Togoti, Natan Kogoya dan Nikolai Waisal – disidang atas dakwaan kekerasan terhadap orang atau barang di bawah Pasal 170 dan 351 KUHP.
Pekerja HAM melaporkan bahwa kesaksian yang disampaikan di pengadilan menyatakan bahwa saksi-saksi tidak mengetahui keterlibatan kesepuluh tahanan tersebut dalam demonstrasi pada tanggal 26 November 2013. Sumber setempat juga melaporkan dugaan pemalsuan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh polisi. Seperti dilaporkan dalam update bulan Januari, duabelas tahanan tersebut dipaksa untuk menandatangani BAP yang dipalsukan itu dan diinterogasi tanpa kehadiran pengacara hukum. Saat ini, mereka menerima dampingan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
JPU menuduh dua tahanan Sarmi atas permufakatan untuk melakukan makar
Informasi dalam surat dakwaan untuk Edison Werimon dan Soleman Fonataba mengatakan bahwa kedua orang tersebut dituduh atas permufakatan untuk melakukan makar di bawah Pasal 106 dan 110 KUHP dalam kaitan dengan bendera-bendera 14 Bintang Melanesia Barat (bukan bendera Bintag Kejora, seperti dilaporakan dalam update bulan Januari kami) dan dokumen diduga berkaitan dengan makar ditemukan di rumah-rumah mereka.
Surat dakwaan tersebut mengatakan bahwa pada tanggal 13 Desember 2013, setelah sebuah bendera 14 Bintang Melanesia Barat ditemukan menggantung di dinding ruang tamu Edison Werimon, polisi Sarmi menangkapnya dan menggeledah rumahnya. Polisi dilaporkan menemukan beberapa dokumen yang menjelaskan sebuah pertemuan pada tanggal 2 November 2013 yang diadakan di rumah Werimon. Surat tersebut juga mengatakan bahwa tujuan pertemuan itu adalah untuk membentuk sebuah badan pro-Melanesia bernama ‘Senate Republik Melanesia Regional Sarmi,’ dengan Soleman Fonataba sebagai Ketua. Setelah itu, polisi Sarmi menggeledah rumah Fonataba walaupun mereka tidak mempunyai surat izin dan dilaporkan menemukan empat bendera 14 Bintang Melanesia Barat dan dokumen pro-Melanesia yang lain. Dia kemudian ditangkap pada tanggal 17 Desember.
Pengacara HAM Gustaf Kawer memberitahu Jubi bahwa penggeledahan polisi tersebut tidak sesuai dengan prosedur dan mengkritik aksi mereka sebagai aksi preman. Kawer melaporkan bahwa polisi bersenjata lengkap masuk ke rumah Werimon dan mengancam anak Werimon dengan todongan senjata, memaksanya berbaring tengkurap saat penggeledahan itu. Isteri Fonataba mengungkapkan kekecewaannya terhadap cara polisi dalam penggeledahan tersebut. Dia menyatakan bahwa sebelum mengelilingi rumahnya, polisi awalnya masuk melalui jendela. Saat dia menanyakan kepada polisi alasan mereka menggeledah rumahnya, mereka mengatakan bahwa mereka tidak ada alasan. Polisi menyita sebuah kopor kecil, tiga parang dan beberapa kapak kecil. Mereka juga menyita ijazah diploma anak-anakyna dan Rp 1,600,000, tetapi kemudian dikembalikan. Persidangan diharapkan akan mulai pada bulan April.
BERITA
Demonstrasi menentang Otsus Plus diblokir
Pada tanggal 11 Maret, Gerakan Mahasiswa Pemuda Rakyat Papua (Gempar-P), mengadakan demonstrasi memprotes Otsus Plus yang disusun secara rahasia. Para mahasiswa berkumpul di luar kampus Universitas Cenderawasih (UNCEN) untuk bergerak menuju ke kantor Gubernur sebagai tempat tujuan demonstrasi. Namun, menurut laporan dari pekerja HAM setempat, Polres Jayapura memblokir para demonstran yang berjalan menuju ke tempat tersebut, dan menyatakan dalam surat penolakan bahwa Gempar-P bukanlah organisasi yang terdaftar dengan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Polisi juga menulis bahwa mantan tahanan politik dan kepala Gempar-P Yason Ngelia pernah menyampaikan perasaan anti-Indonesia dalam pidato sebelumnya.
Para demonstran menuntut agar Pemerintah Indonesia memberhentikan penyusunan RUU Otsus Plus dan meminta pemerintah daerah untuk berkonsultasi dengan masyarakat Papua dan mengadakan referendum untuk Otsus Plus. Karena kehadiran besar-besaran aparat keamanan yang memblokir perjalanan mereka ke kantor Gubernur, para demonstran dipaksa untuk membubarkan diri. Pekerja HAM mengkritik aksi polisi sebagai upaya menutup ruang demokrasi di Papua.
TAHANAN POLITIK PAPUA BULAN MARET 2014
1. Otis Waropen
2. Kristianus Delgion Madai
3. Yenite Morib
4. Tiragud Enumby
5. Deber Enumby
6. Soleman Fonataba
7. Edison Werimon
8. Yulianus Borotian
9. Petrus Yohanes Tafor
10. Wilem Tafor
11. Pendius Tabuni
12. Muli Hisage
13. Karmil Murib
14. Tomius Mul
15. Nius Lepi
16. Tinus Meage
17. Mathius Habel
18. Agus Togoti
19. Natan Kogoya
20. Nikolai Waisal
21. Penius Tabuni
22. Piethein Manggaprouw
23. Apolos Sewa*
24. Yohanis Goram Gaman*
25. Amandus Mirino*
26. Samuel Klasjok*
27. Stefanus Banal
28. Victor Yeimo
29. Astro Kaaba
30. Hans Arrongear
31. Oktovianus Warnares
32. Yoseph Arwakon
33. Markus Sawias
34. George Syors Simyapen
35. Jantje Wamaer
36. Domi Mom
37. Alfisu Wamang
38. Musa Elas
39. Eminus Waker
40. Yacob Onawame
41. Hengky Mangamis
42. Yordan Magablo
43. Obaja Kamesrar
44. Antonius Saruf
45. Obeth Kamesrar
46. Klemens Kodimko
47. Isak Klaibin
48. Yahya Bonay
49. Yogor Telenggen
50. Isak Demetouw (alias Alex Makabori)
51. Niko Sasomar
52. Sileman Teno
53. Jefri Wandikbo
54. Timur Wakerkwa
55. Darius Kogoya
56. Selpius Bobii
57. Forkorus Yaboisembut
58. Edison Waromi
59. Dominikus Surabut
60. August Kraar
61. Wiki Meaga
62. Oskar Hilago
63. Meki Elosak
64. Obed Kosay
65. George Ariks
66. Ferdinand Pakage
67. Filep Karma
68. Yusanur Wenda
69. Linus Hiel Hiluka
70. Kimanus Wenda
71. Jefrai Murib
72. Numbungga Telenggen
73. Apotnalogolik Lokobal
* Apolos Sewa, Yohanis Goram Gaman, Amandus Mirino dan Samuel Klasjok saat ini menghadapi dakwaan makar. Walaupun mereka dibebas bersyarat sehari setelah penangkapan mereka, mereka masih menjalani pemeriksaan dan rentan untuk ditahan lagi. Pada saat ini mereka dikenakan wajib lapor ke kepolisian dua kali seminggu.
Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu upaya kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam kerangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.
Orang Papua di Balik Jeruji adalah sebuah upaya tentang tahanan politik di Papua Barat. Tujuan kami adalah memberikan data yang akurat dan transparan, dipublikasi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, untuk memfasilitasi dukungan langsung terhadap para tahanan dan meningkatkan diskusi dan kampanye lebih luas sebagai dukungan terhadap kebebasan berekspresi di Papua Barat.
Kami menerima pertanyaan, komentar dan koreksi. Anda dapat mengirimkannya kepada kami melalui info@papuansbehindbars.org.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar