Minggu, 23 Maret 2014

SEJARAH KEMERDEKAN PAPUA BARAT DAN DINAMIKA POLITIK PENJAJAHAN DI PAPUA BARAT

Saat Prkelamasi kemerdekan West Papua 1 Desember 1961
Pengantar

TUNTUTAN rakyat Papua Barat untuk merdeka lepas dari neo-kolonialisme Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan neo-kapitalisme Negara Dunia Pertama kini sedang menggema di seantero wilayah Papua Barat. Setelah sebelumnya tuntutan itu dilakukan secara gerilya dan diplomasi di luar negeri (internasional), maka sejak bergulirnya Reformasi di Indonesia (1998) tuntutan itu disampaikan secara terbuka, terutama di Indonesia tanpa meninggalkan tuntutan dengan cara gerilya.
                Sementara tuntutan itu bergulir, Indonesia yang secara real politik menguasai wilayah Papua Barat dan Negara Dunia Barat yang secara real menguasai ekonomi. Indonesia menguasai Papua Barat dengan “keras kepala” untuk tidak mendengarkan tuntutan kemerdekaan tersebut. Tuntutan kemerdekaan Papua Barat dianggap sebagai sebuah upaya ilegal (melawan hukum atau tidak sah) sehingga rakyat Papua Barat diberikan beberapa cap konyol seperti separatis, makar, anti pembangunan, goblok, pemberontak dan lainnya. Semua cap ini menjadi “surat izin” yang resmi bagi Indonesia dan Negara Dunia Pertama untuk tetap menanamkan hegemoninya lewat praktek penjajahan seperti pemberian “paket” Otonomi Khusus, Pemekaran Wilayah (Propinsi/Kabupaten), pembunuhan, pemerkosaan, penanggapan dan pemenjaraan sewenang-wenang di luar jalur hukum, penyiksaan dan beberapa jenis kejahatan lainnya. 
                Walaupun demikian, rakyat Papua Barat yang berpegang teguh pada keyakinan politiknya tidak menyerah. Sebaliknya “api perjuangan” dikobarkan terus-menerus untuk tetap melanjutkan aksi perlawanan dengan tuntutan utama “Papua Barat Merdeka”. Tuntutan itu bisa dilihat dari beberapa kejadian, di mana-mana dan di berbagai kalangan. Salah satu contoh adalah pembunuhan tiga orang Brimob yang menjaga keamanan PT. Freeport-Rio Tinto oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) dibawah pimpinan Gen. TPN-PB Goliath Tabun beberapa waktu lalu, 43 orang Papua mencari suaka politik ke Australia, aksi mahasiswa Papua Barat dimana-mana dengan tuntutan peninjauan kembali status politik Papua Barat, penarikan militer dari Papua Barat, tutup Freeport dan lainnya. Perjuangan itu tidak hanya dilakukan di dalam negeri, di luar negeri pun perjuangan untuk kemerdekaan Papua Barat sedang marak yang dilakukan oleh para diplomat Papua Barat yang didukung oleh berbagai Support Groups of West Papua Independence. Juga bukan hanya orang Papua asli yang memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat, tetapi diperjuangkan juga oleh orang non-Papua baik di Indonesia maupun di luar negeri.
                Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa rakyat Papua Barat “keras kepala” untuk minta merdeka? Mengapa Indonesia dan Negara Dunia Pertama juga “keras kepala” untuk tetap mempertahankan wilayah Papua Barat sebagai bagian dari NKRI? Tentunya punya alasan dan akar masalah. Untuk melihat alasan dan akar masalah, maka sejarah Papua Barat harus dipaparkan dan dipahami secara benar, selanjutnya harus dicari solusi atau upaya perjuangan yang harus dilakukan oleh rakyat Papua Barat dan pendukungnya, tentu saja di dalamnya ada mahasiswa sebagai bagian dari rakyat Papua Barat. Hal itu akan menjawab dua buah pertanyaan. Pertama: mengapa rakyat Papua Barat menuntut merdeka? Kedua: apakah mahasiswa Papua Barat harus berjuang untuk menuntut merdeka? 
                 Untuk menemukan “akar masalah” Papua Barat yang sesungguhnya, maka dibawah ini dipaparkan sekilas sejarah kemerdekaan Papua Barat dan dinamika politik penjajahan di Papua Barat. Kemudian akan dilanjutkan dengan sikap mahasiswa yang seharusnya dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat.

B. Hubungan Sejarah Indonesia dan Papua Barat

Tidak dapat dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia sebagai bagian dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah. Sementara aksi pencaplokan itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang harus dipelajari dan dipahami untuk dapat memetakan persoalan secara obyektif, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi pencarian solusi yang terbaik bagi penyelesaian status politik wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Indonesia. 
                Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah antara Indonesia dan Papua Barat, maka beberapa hal perlu dikemukakan. Pertama, sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat. Kedua, sejarah perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir penjajah. Ketiga, alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia. Keempat, sejarah kemerdekaan Papua Barat. Kelima, proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Keenam, sejarah dalam kekuasaan Orde Baru dan terakhir masa kebangkitan Papua Barat Kedua (Era Reformasi Indonesia).

1.         Sejarah Hidup Indonesia dan Papua Barat
Dalam sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, sebagai contoh: seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay.
Selain kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh pihak asing), juga sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat dan Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Bangsa Papua adalah ras Negroid sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras Mongoloid.

Dengan perbedaan ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah perbedaan fisik maupun mental, dan kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan apapun dalam sejarah kehidupan di masa silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya sendiri dengan karakteristiknya yang berlainan pula. Sehingga tindakan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia ini dianggap tindakan menjajah. Hal itu pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Presidium Dewan Papua, Tom Beanal, bahwa:
Dalam kehidupan sehariannya, moyang kami tidak pernah melihat asap api kebun Indonesia apabila mereka berkebun. Moyang kami tidak pernah bercerita kepada kami bahwa kami punya dendam perang dengan keturunan Soekarno dan soeharto dan moyang bangsa Indonesia. Kami bangsa Papua tahu dan sadar akan diri kami bahwa kami berbeda dengan bangsa Indonesia. …Bangsa Papua termasuk ras Negroid mendiami kepulauan Melanesia di  Pasifik selatan, karena bangsa Papua berbeda dengan bangsa Indonesia lainnya yang umumnya masuk ras Mongoloid dan Austronosoid yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia.”

Dari gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua Barat sama sekali tidak mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang bisa menyatukan kedua bangsa dalam satu negara yang bernama Indonesia. Alasan bahwa Indonesia dan Papua Barat mempunyai sejarah hidup yang sama sebagai sebuah bangsa pada masa sejarah sema sekali tidak obyektif, sebaliknya menjadi alasan politis untuk mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari wilayah  Indonesia. Hal semacam ini sering dibangun di Indonesia untuk membangun nasionalisme Indonesia bagi orang Papua (meng-Indonesia-kan orang Papua)

2.        Hubungan Sejarah Perjuangan Indonesia dan Papua Barat
Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina.

Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan  musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing. 
Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu.

Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka  biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.

Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat).[i] Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat. 
Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas mengadakan penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Dari hasil penelitian itu, ternyata pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian Barat Perjuangan.[ii]
Setelah peresmian Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua Barat tetap menjadi daerah sengketa antara Indonesia dan Belanda. Beberapa persitiwa politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh kedua bela pihak adalah:

a.         Sebelum penandatangan Perjanjian Lingggarjati pemerintah Belanda pernah menyatakan agar Papua Barat dapat menerima status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini Belanda mengadakan pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah tersebut tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.[iii]
b.         Dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quo wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.[iv] Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”[v]
c.         Dalam konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan surat Keputusan Para Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan tersebut, masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15 April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan masalah Papua Barat akan diselesaikan kemudian oleh United Nations Commission for Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan. [vi]
d.         Karena dirasa wilayah Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953 pihak Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika.
Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat.

3.        Sejarah Kemerdekaan Papua Barat
Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.[vii] Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool)[viii] di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari).[ix] Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:[x]
MANIVETO POLITIK PAPUA BARAT
1.         Menetukan nama Negara             : Papua Barat
2.        Menentukan lagu kebangsaan       : Hai Tanahku Papua
3.        Menentukan bendera Negara       : Bintang Kejora
4.        Menentukan bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.

Lambang Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi sOetelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto[xi] dan de jure[xii] sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.

4.        Alasan Pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia
Walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:

1.         Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial
2.        Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
3.        Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus).[xiii] Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu. 
Mengapa Soekarno sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat untuk memasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat ke wilayah Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang dipegang oleh Indonesia sebagai tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua Barat. Keempat klaim itu adalah:[xiv]

  1. Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.
  2. Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, oleh sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah “Indonesia Bagian Timur”.
  3. Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda.
  4. Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda. Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.
Apakah keempat klaim – sebagai alasan mengusai Papua Barat – ini benar? Mari kita buktikan.

  1. Klaim atas Kekuasaan Majapahit
Kerajaan Majapahit (1293-1520) lahir di Jawa Timur dan memperoleh kejayaannya di bawah raja Hayam Wuruk Rajasanagara (1350-1389). Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri Belanda memuat ringkasan sejarah Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit pada jaman Gajah Mada mencakup sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan Indonesia mengklaim bahwa batas wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar hingga ke pulau Pas (Chili).
Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti sejarah berupa ceritera tertulis maupun lisan atau benda-benda sejarah lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan ilmiah untuk membuat suatu analisa dengan definisi yang tepat bahwa Papua Barat pernah merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari kerajaan Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak memenuhi prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat, khususnya sejarah tertulis. 
Berkaitan dengan kekuasaan wilayah kerajaan Majapahit di Indonesia, secara jelas dijelaskan panjang lebar oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, bahwa kekuasaan kerajaan Majapahit, dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 disebutkan bahwa kerajaan Majapahit mempunyai wilayah yang luas sekali, baik di kepulauan Nusantara maupun di semenanjung Melayu. Pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa yang paling jauh tersebut dalam pupuh 14/15 ialah deretan pulau Ambon dan Maluku, Seram dan Timor; semenajung Melayu disebut nama-nama Langkasuka, Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dingin, Tumasik, Klang, Kedah, Jerai. Demikianlah, wilayah kerajaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk menurut Nagarakretagama meluputi wilayah yang lebih luas dari pada Negara Republik Indonesia sekarang. Hanya Irian yang tidak tersebut sebagai batas yang terjauh di sebelah timur. Boleh dikatakan bahwa batas sebelah timur kerajaan Majapahit ialah kepulauan Maluku.[xv] Ini berarti Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Karena itu sudah jelas bahwa Soekarno telah memanipulasikan sejarah.
  1. Klaim atas Kekuasaan Tidore
Di dalam suatu pernyataan yang di lakukan antara sultan Tidore dengan VOC pada tahun 1660, secara sepihak sultan Tidore mengklaim bahwa kepulauan Papua atau pulau-pulau yang termasuk di dalamnya merupakan daerah kesultanan Tidore.
Soekarno mengklaim bahwa kesultanan Tidore merupakan “Indonesia Bagian Timur”, maka Papua Barat merupakan bagian daripadanya. Di samping itu, Soekarno mengklaim bahwa raja-raja di kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, pernah mengadakan hubungan dengan sultan Tidore.
Apakah kedua klaim dari sultan Tidore dan Soekarno dapat dibuktikan secara ilmiah? Gubernur kepulauan Banda, Keyts melaporkan pada tahun 1678 bahwa dia tidak menemukan bukti adanya kekuasaan Tidore di Papua Barat. Pada tahun 1679 Keyts menulis lagi bahwa sultan Tidore tidak perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat.
Menurut laporan dari kapten Thomas Forrest (1775) dan dari Gubernur Ternate (1778) terbukti bahwa kekuasaan sultan Tidore di Papua Barat betul-betul tidak kelihatan.
Pada tanggal 27 Oktober 1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate dan Tidore yang disaksikan oleh residen Inggris, bahwa seluruh kepulauan Papua Barat dan distrik-distrik Mansary, Karandefur, Ambarpura dan Umbarpon pada pesisir Papua Barat (daerah sekitar Kepala Burung) akan dipertimbangkan kemudian sebagai milik sah sultan Tidore.
Kontrak ini dibuat di luar ketahuan dan keinginan rakyat Papua Barat. Berbagai penulis melaporkan, bahwa yang diklaim oleh sultan Tidore dengan nama Papua adalah pulau Misol. Bukan daratan Papua seluruhnya.
Ketika sultan Tidore mengadakan perjalanan keliling ke Papua Barat pada bulan Maret 1949, rakyat Papua Barat tidak menunjukkan keinginan mereka untuk menjadi bagian dari kesultanan Tidore. Adanya raja-raja di Papua Barat bagian barat, sama sekali tidak dapat dibuktikan dengan teori yang benar.

Lahirnya sebutan ‘Raja Ampat’ berasal dari mitos. Raja Ampat berasal dari telur burung Maleo (ayam hutan). Dari telur-telur itu lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi raja.
Mitos ini memberikan bukti, bahwa tidak pernah terdapat raja-raja di kepulauan Raja Ampat menurut kenyataan yang sebenarnya. Rakyat Papua Barat pernah mengenal seorang pemimpin armada laut asal Biak: Kurabesi, yang menurut F.C. Kamma, pernah mengadakan penjelajahan sampai ke ujung barat Papua Barat. Kurabesi kemudian kawin dengan putri sultan Tidore. Adanya armada Kurabesi dapat memberikan kesangsian terhadap kehadiran kekuasaan asing di Papua Barat.
Pada tahun 1848 dilakukan suatu kontrak rahasia antara Pemerintah Hindia Belanda (Indonesia jaman Belanda) dengan Sultan Tidore di mana pesisir barat-laut dan barat-daya Papua Barat merupakan daerah teritorial kesultanan Tidore. Hal ini dilakukan dengan harapan untuk mencegah digunakannya Papua Barat sebagai papan-loncat penetrasi Inggris ke kepulauan Maluku. Di dalam hal ini Tidore sesungguhnya hanya merupakan vassal proportion (hubungan antara seorang yang menduduki tanah dengan janji memberikan pelayanan militer kepada tuan tanah) terhadap kedaulatan kekuasaan
Belanda, tulis C.S.I.J. Lagerberg. Sultan Tidore diberikan mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1861 untuk mengurus perjalanan hongi (hongi-tochten, di dalam bahasa Belanda). Ketika itu banyak pelaut asal Biak yang berhongi (berlayar) sampai ke Tidore. Menurut C.S.I.J. Lagerberg hongi asal Biak merupakan pembajakan laut, tapi menurut bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu merupakan usaha menghalau penjelajah asing. Pengejaran terhadap penjelajah asing itu dilakukan hingga ke Tidore. Untuk menghadapi para penghalau dari Biak, sultan Tidore diberi mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Jadi, justru yang terjadi ketika itu bukan suatu kekuasaan pemerintahan atas teritorial Papua Barat. Setelah pada tahun 1880-an Jerman dan Inggris secara nyata menjajah Papua New Guinea, maka Belanda juga secara nyata memulai penjajahannya di Papua Barat pada tahun 1898 dengan membentuk dua bagian tertentu di dalam pemerintahan otonomi (zelfbestuursgebied) Tidore, yaitu bagian utara dengan ibukota Manokwari dan bagian selatan dengan ibukota Fakfak. Jadi, ketika itu daerah pemerintahan Manokwari dan Fakfak berada di bawah keresidenan Tidore.
Mengenai manipulasi sejarah berdasarkan kekuasaan Tidore atas wilayah Papua Barat ini, Dr. George Junus Aditjondro menyatakan bahwa:

Kita mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat adalah bagian dari Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya karena kesultanan Tidore mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai teluk Yotefa mungkin? Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda belum merasa otomatis mendapatkan hak atas penjajahan Tidore? Belanda mundur, Indonesia punya hak atas semua eks-jajahan Tidore? Itu kan suatu mitos. Sejak kapan berbagai daerah di Papua barat takluk kepada Tidore?... Saya kira tidak. Yang ada adalah hubungan vertikal antara Tidore dan Papua Barat, tidak ada kekuasaan Tidore untuk menaklukan Papua Barat. Atas dasar itu, klaim bahwa Indonesia berhak atas seluruh Hindia Belanda dulu, merupakan imajinasi.”[xvi]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Tidore.

  1. Klaim atas kekuasaan Hindia Belanda
Secara historis penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah Republik Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda. Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).[xvii]
 
Juga perlu diingat bahwa walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah.[xviii] Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina (Hindia Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).[xix]
Selain itu saat tertanam dan tercabutnya kaki penjajahan Belanda di Papua
Barat tidak bertepatan waktu dengan yang terjadi di Indonesia.  Kurun waktunya berbeda, di mana Indonesia dijajah selama tiga setengah abad sedangkan Papua Barat hanya 64 tahun (1898-1962). Tanggal 24 Agustus 1828, ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa Papua Barat merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak. Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Papua Barat ke dalam PBB. 
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda.

  1. Menghalau Pengaruh Imperialisme Barat di Asia Tenggara.
Soekarno mengancam akan memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni Sovyet untuk menganeksasi Papua Barat jika pemerintah Belanda tidak bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat anti imperialisme barat dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin mencegah kemungkinan terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia.
Maka Amerika Serikat memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke Washington (Amerika Serikat) pada tahun 1961. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno di dalam usaha menganeksasi Papua Barat.
Untuk mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice” (Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.

5.        Proses Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969
Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York)[xx] antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:[xxi]
1.          New York Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
2.         Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.


3.        Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan  dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu.

4.         Teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida kabupaten Merauke, isi surat tersebut:

“Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar.”[xxii]

Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.
Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991. Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971. 
Berikut ini adalah jadwal pelaksanaan PEPERA, Jumlah wakil/utusan berdasarkan unsur, dan jumlah wakil/utusan yang memberikan pendapat.


Jadwal Pelaksanaan Pepera

Tanggal
Kabupaten
Anggota DEMUS[xxiii]
Penduduk
14 Juli 1969
Merauke
175
144.171
16 Juli 1969
Jayawijaya
175
165.000
19 Juli 1969
Paniai
175
156.000
23 Juli 1969
Fakfak
75
43.187
26 Juli 1969
Sorong
110
75.474
29 Juli 1969
Manokwari
75
89.875
31 Juli 1969
Teluk Cenderawasih
130
83.000
02 Agustus 1969
Jayapura
110
81.246
J u m l a h
1.025
809.337

Jumlah Wakil/Utusan Berdasarkan Unsur

No
Unsur
Jumlah Wakil/Utusan
1
Kepala Suku/Adat
400 orang
2
Daerah (Gereja/Alim Ulama)
360 orang
3
Orpol/Ormas
265 orang
J u m l a h
1.025 orang


Jumlah Wakil/Utusan yang Memberikan Pendapat

No
Kabupaten
Memberikan Pendapat
Jumlah Utusan
Sakit
1
Merauke
20
175
1
2
Jayawijaya
18
175
1
3
Paniai
28
175
-
4
Fakfak
17
75
-
5
Sorong
16
110
-
6
Manokwari
26
75
-
7
Teluk Cenderawasih
24
130
1
8
Jayapura
26
110
1
J u m l a h
175
1.025
4

6.        Papua Barat dalam Kekuasaan Indonesia (Era Negara Orde Baru-NOB)
Banyak peristiwa politik dalam memperjuangan kemerdekaan Papua Barat yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat terutama oleh OPM pasca Penentuan Pendapat Rakyat 1969, tetapi secara umum di sini hanya akan dikemukakan empat peristiwa penting dalam upaya untuk memerdekakan Papua Barat dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

a.        Proklamasi 1 Juli 1971
Setelah wilayah Papua Barat dimasukan secara sepihak lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat oleh Indonesia pada tahun 1969, wilayah ini diduduki layaknya sebuah wilayah jajahan. Indonesia mulai memperketat wilayah ini untuk mematikan gerakan kemerdekaan Papua Barat yang dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM)[xxiv] lewat perjuangan diplomasi dan gerilya.
Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik" “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem[xxv] sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai[xxvi] sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL[xxvii]), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua Barat.
Isi teks Proklamasi 1 Juli 1971 adalah:
                        PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.

Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure).

Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bahwa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi. 
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
Seth Jafet Rumkorem
(Brigadir-Jenderal)
b.        Imajinasi Negara Melanesia Barat
Tiga tahun sesudah proklamasi di “Markas Victoria”, imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua New Guinea. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen”, yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua New Guinea) sampai ke Sorong, yang “100% merdeka di luar Republik Indonesia”. 
Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan “proklamasi Sorong-Samarai” itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan “bunuh diri” di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan “maker”.[xxviii]

c.        Gelombang Pengungsian dan Pembunuhan Arnold Clemens Ap
Pada tanggal 26 April 1984, pemerintah Indonesia melakukan “sesuatu” yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Papua Barat, Arnold Clemens Ap, ditembak oleh Koppasanda (sekarang Kopassus) di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Arnold Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua New Guinea, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.[xxix]

Pembunuhan ini berawal dari sebuah “tawaran” kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984. Sebelum “ditawar” untuk melarikan diri, pada tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Papua lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri.

Arnol dibunuh karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak. Selain itu, Indonesia merasa sangat khawatir dengan Group Musik Manbesak yang dicurigai membangkitkan semangat nasionalisme Papua Barat untuk merdeka lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[xxx]
 
Akibat kemelut politik, terutama karena pembunuhan Arnol C. Ap maka terjadi gelombang pengungsian secara besar-besaran ke Papua New Guinea. Sebanyak 11.000 orang Papua dari Papua Barat ditampung di kamp-kamp pengungsi Wabo dan Yako yang lebih dikenal dengan nama Black Water dan Black Wara, dimana para pengungsi tersebut diurus oleh perwakilan UNHCR (United Nations High Commision for Refugees) di Vanimo.[xxxi]
d.        Proklamasi Melanesia Barat
Pada tanggal 14 Desember 1988, Dr. Thomas Wapai Wanggai memproklamasikan Negara Melanesia Barat. Ia mengusung nama Negara Melanesia Barat untuk melepaskan Papua Barat dari kekuasaan Indonesia. Dia Mendeklarasikan Kemerdekaan Melanesia Barat dengan menaikan Bendera Bintang Empat Belas (B-14) di Lapangan Mandala Port Numbay tahun 1988. Akibatnya dia dipenjarakan di LP Cipinang Jakarta, tetapi dia meninggal dunia tahun 1996 karena sakit ketika menjalani hukumannya.[xxxii] Kematiannya dicurigai karena diracuni. Akhirnya banyak pengikutnya yang hingga kini melarikan diri ke luar negeri. 
Ide Thomas Wapai Wanggai mengenai Negara Melanesia Barat ini tidak jelas mengenai batas wilayah “Melanesia Barat” itu. Apakah Melanesia Barat juga meliputi Maluku, Timor Timur, dan Nusa Tenggara Timur, yang penduduknya serumpun Melanesia? Ataukah penggunaan istilah itu hanyalah suatu taktik politik, suatu appeal ke arah isu Solidaritas Melanesia yang populer di beberapa negara Pasifik Selatan. Yang jelas, proklamasi Tom Wanggai punya appeal yang besar terhadap sebagian penduduk kota Jayapura dan kota-kota satelit-satelitnya.[xxxiii]


Selain empat peristiwa politik yang telah disebutkan di atas, masih ada juga aksi-aksi perjuangan rutin baik secara diplomatik maupun gerilya yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat. Secara diplomatik misalnya terjadi lobi dan pembukaan kantor-kantor perwakilan OPM di berbagai negara, seperti di Swedia (1972), Senegal (1976), dan kampanye yang dilakukan di Belanda, Yunani, Jepang, PNG dan negara lainnya. Sementara secara gerilya misalnya terjadi penyerangan-penyerangan terhadap Pos Militer (TNI/POLRI) oleh TPN-OPM, terjadi penyanderaan, dan lainnya sepanjang kekuasaan Negara Indonesia era Orde Baru di Papua Barat. 
Sebagai balasannya Indonesia melalui kekuatan militer lewat penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) melakukan teror, intimidari, pengejaran, pemenjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas umum dan kampung, dan aksi kejahatan militer yang lainnya. Selain itu dilakukan Operasi Koteka pada tahun 1970-an, yang mana rakyat dipaksa untuk mengenakan pakaian ala orang Indonesia yang terbuat dari kain. 
Akibat Operasi Militer banyak rakyat Papua Barat yang telah menjadi korban. Hal dapat dilihat dari laporan Amnesty International[xxxiv] yang mengemukakan bahwa telah terjadi 100 ribu rakyat Papua Barat dibantai oleh militer Indonesia. Selain itu Universitas Yale mengeluarkan laporan resmi bahwa telah terjadi Genosida di Papua Barat yang dilakukan oleh pemerintah dan militer Indonesia yang berjudul “Indonesia Human Rights Abuse in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesia Control.” Selain Universitas Yale, John Wing dan Peter King dari Center for Peace and Conflict Studies di Universitas Sydney Australia juga telah menerbitkan sebuah laporan sebagai hasil riset tentang Genosida di Papua Barat yang berjudul “Genocide in West Papua? The Role of Indonesian State Apparatus and a Current Needs Assessment of the Papua People”.[xxxv]

Data Korban pelanggaran HAM[xxxvi]

No
Waktu/Tempat
Jenis Pelangaran HAM
Jumlah
1
1968-1998:
Kabupaten Paniai
Meninggal
Hilang
Diperkosa
614 orang
  13 orang
  94 orang
2
1969-1972 dan 1998:
Kabupaten Biak
Meninggal
Hilang
Dianiaya
Ditahan
102 orang
    3 orang
  37 orang
150 orang
3
1977: Jayawijaya (Perang 77):
1.     Kec. Kelila
2.     Kec. Asologaima
3.     Kec. Wosi

Meninggal (tewas)
Meninggal (tewas)
Meninggal (tewas)

201 orang
126 orang
148 orang
4
1996-1998: Jayawijaya

Meninggal
Hilang
Diperkosa
Dianiaya
Dibakar (materi):
- Gereja
- Kampung
- Rumah
137 orang
    2 orang
  10 orang
    3 orang

  13 buah
  13 buah
195 buah
5
1965-1999:
Kabupaten Sorong
Meninggal
Hilang
Diperkosa
  68 orang
    5 orang
    7 orang

7.        Kebangkitan Nasional Papua Barat (Era Reformasi Indonesia)
Bersamaan dengan tumbangnya “raja”[xxxvii] Soeharto dari kursi kekuasaanya, lahirnya masa Reformasi di Indonesia. hal itu terjadi sejak tahun 1998, dan sekarang ini juga kita berada dalam masa Reformasi Indonesia. Lahirnya Reformasi memberikan “angin segar” bagi rakyat Papua Barat untuk memperjuangan kemerdekaan negaranya secara terbuka. Berikut ini beberapa peristiwa politik (perjuangan) yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat dalam upaya untuk mendirikan Negara Papua Barat yang merdeka dan berdaulat, yaitu:[xxxviii]
1.         Demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat
Ada tiga peristiwa penting demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat selama bulan Mei dan Juni 1998, yaitu tanggal 25 Mei 1998, 5 Juni 1998, dan 11 Juni 1998. Ketiga demonstrasi tersebut menuntut pertanggungjawaban TNI/POLRI dan Pemerintah Indonesia atas segala pelanggaran HAM di Papua Barat.
2.        Surat Kongres Amerika Serikat dan RFK Memorian
Pada tanggal 22 Mei 1998 (sehari sesudah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat dari Kongres Amerika Serikat, dan tanggal 27 Mei 1998 (seminggu setelah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat dari Roberth F. Kennedy. Salah satu poin yang menjadi perhatian dan dorongan bagi rakyat Papua adalah butir keempat dari surat tersebut yang isinya berbunyi sebagai berikut: “Memprakarsai dialog yang langsung dan beritikat baik dengan masyarakat Timor Timur dan Irian Jaya menyangkut perlindungan HAM serta memprakarsai jalan keluar yang adil mengenai status politik kedua daerah”.
3.        Aksi Pengibaran Bendera Papua
Semangat kebangkitan rakyat Papua Barat menuju Papua Baru yang merdeka dan berdaulat semakin nyata dari sejumlah aksi-aksi politik yang berkisar pada pengibaran Bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua Barat dan luar Papua Barat. Beberapa aksi pengibaran Bendera Bintang Kejora dan aksi demonstrasi adalah:
a.         Pengibaran Bendera Papua di Jayapura, tanggal 1 Juli 1998
b.         Pengibaran Bendera Papua di Biak, tanggal 2-6 Juli 1998
c.         Pengibaran Bendera Papua di di Sorong, tanggal 2 -3 Juli 1998
d.         Pengibaran Bendera Papua di Wamena, tanggal 7 Juli 1998
e.         Pengibaran Bendera Papua di Manokwari, tanggal 2 Oktober 1998
f.          Aski pengibaran Bendera Papua juga terjadi di beberapa kota di Papua seperti Serui, Fak Fak, Timika, Nabire, Puncak Jaya dan Merauke.
g.         Demonstrasi mahasiswa Papua dibawah komando Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Jakarta yang diikuti oleh aksi demosntrasi mahasiswa di Bali dan Sulawesi.

4.        Pendirian FORERI
Dengan melihat perkembangan aspirasi dan perjuangan “Papua Barat Merdeka”, maka tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda dan wakil mahasiswa membentuk Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya (FORERI) pada tanggal 24 Juli 1998 di Kantor Elsham Kotaraja Jayapura.


Forum ini dibentuk untuk menjembatani semua aspirasi yang berkembang di masyarakat untuk disampaikan ke Pemerintah Pusat atau kemungkinan solusi lain dalam penyelesaian masalah Papua Barat, terutama dalam masalah kemerdekaan Papua Barat, tawaran otonomi oleh pemerintah Indonesia, masalah pelanggaran HAM, dialog nasional, pembebasan tahanan politik dan beberapa masalah aktual lainnya. Drs. Willy Mandowen diangkat sebagai Sekretaris Eksekutif yang dibantu oleh Drs. Martinus Patay dan beberapa sukarelawan dari mahasiswa dalam menjalankan tugasnya. 
5.        Tim Pencari Fakta DPR RI
Mengkristalnya tuntutan kemerdekaan Papua Barat memaksa DPR RI membentuk Tim Pencari Fakta. Pada tanggal 27 Juli 1998 Tim Pencari Fakta bertemu dengan para pendiri FORERI di hotel Matoa Jayapura. FORERI menyerahkan laporan pelanggaran HAM di Papua, kemudian Theys Hiyo Eluay mengusulkan untuk diadakan Dialog Nasional dan Dialog Internasional mengenai masalah Papua Barat, sementara Dr. Benny Giyai memaparkan penderitaan rakyat Papua selama 32 tahun dan akar masalah tuntutan kemerdekaan Papua Barat. 
6.        Deklarasi 1 Agustus 1999
Dalam usaha untuk mengakomodir semua gerakan kebangkitan Papua Barat yang semakin marak di Papua Barat, maka Theys Hiyo Eluway dan Yorrys Th. Raweyai menggelar pertemuan di Gedung BPD Jayapura. Pertemuan ini diawali dengan dengan doa kemudian dilanjutkan dengan penyampaian aspirasi oleh semua komponen yang hadir dalam pertemuan tersebut. Beberapa kesepakatan penting yang diambil dalam pertemuan ini adalah:
a.         Menyamakan persepsi politik, yakni rakyat ingin “Papua Merdeka”.
b.         Diusulkan nama Irian Jaya diganti dengan nama Papua.
c.         Perlu dilakukan Dialog Nasional antara rakyat Papua Barat dengan Presiden B.J. Habibie.
d.         Theys Hiyo Eluay mengundurkan diri dari segala aktivitas politik dalam NKRI dan menanggalkan segala atribut “Merah Putih” yang disandangnya sejak 1969 dan menyatakan diri sebagai “Pemimpin Gerakan Papua Merdeka” ke depan.
7.        Tim Seratus (T-100[xxxix])
Dalam pertemuan Tim Seratus (T-100) dengan Presiden B.J. Habibie yang dilaksanakan di Istana Negara Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999, seratus orang perwakilan rakyat Papua Barat dengan tegas menyampaikan keinginannya untuk merdeka sebagai negara berdaulat dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari isi pernyataan politik bangsa Papua bahwa:
a.         Kami keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk membentuk negara yang merdeka dan berdaulat penuh dan berdiri sejajajar dengan bangsa-bangsa lain. Kemerdekaan ini menjamin nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini diinjak-injak oleh bangsa Indonesia disamping pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Di dalam kemerdekaan itulah dapat dibangun tanah dan bangsa Papua.
b.         Segera dibentuk pemerintahan peralihan dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selambat-lambatnya bulan Maret 1999.
c.         Sebagai tindak lanjut politis adalah segera diadakan perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia, bangsa Papua Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
d.         Kami bangsa Papua Barat tidak ikut dalam Pemilihan Umum 1999.
8.        Musyawarah Besar Papua 2000
Pada tanggal 23-26 Februari 2000 dilakukan Musyawarah Besar (Mubes) di Sentani, Jayapura. Mubes ini dilakukan sebagai sebuah langkah strategis untuk mempersiapkan Kongres Papua 2000. Mubes ini dilaksanakan untuk menguji kematangan demokrasi rakyat Papua.
Selain untuk menguji kematangan demokrasi rakyat Papua, Mubes juga mempersiapkan dan merumuskan agenda-agenda penting sebagai pilar-pilar (tema-teman) perjuangan Papua Barat. Agenda-agenda itu antara lain tentang Agenda Pelurusan sejarah, Agenda Politik, dan Konsolidasi Komponen Perjuangan Papua. Yang paling penting dari Mubes ini adalah membuat kendaraan politik, yaitu dengan membentuk Dewan Papua yang terdiri dari Panel dan Presidium Dewan Papua.
9.        Kongres Rakyat Papua II (2000)
Kongres Papua II (2000) dilaksanakan pada tanggal 29 Mei-4 Juni 2000 di Gedung Olahraga Cenderawasih (GOR) Jayapura, dengan tema kongres: Mari Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat, sedangkan subtema kongres: Rakyat Bangsa Papua Bertekat Menegakan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Prinsip-Prinsip Kebenaran dan Keadilan Menuju Papua Baru.
Kongres ini dihadiri oleh 3000 peserta resmi yang diundang, selain itu dihadiri oleh ribuan rakyat Papua Barat yang tidak diundang. 3000 peserta resmi itu terdiri dari beberapa kategori, yaitu:
a.         Presidium Dewan Papua 31 orang.
b.         Panel Dewan Papua 400 orang.
c.         Utusan Langsung Masyarakat Papua 1800 orang
d.         Utusan Pemerintah dan DPR/DPRD 150 orang
e.         Pengamat 50 orang
f.          Peninjau Khusus 30 orang
g.         Pers-Jurnalis 100 orang
h.         Undangan Khusus 100 orang.
Kongres ini telah berhasil melahirkan sebuah Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dalam empat bidang, yaitu Bidang Ekonomi, Bidang Sosial (Pendidikan, Kesehatan, dan Kependudukan), Bidang Budaya, dan Bidang Hak-hak Sipil dan Politik. Kemudian pula melahirkan sebuah Resolusi Kongres Papua 2000[xl] yang menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di duniai: “mengakui kemerdekaan Papua 1 Desember 1961, menolak New York Agreement 1962, menolak hasil PEPERA 1969, mendesak pengakuan kemerdekaan Papua Barat, dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM, mengutuk Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memanipulasi dan melantarkan nasib bangsa Papua.”
Selanjutnya dalam Resolusi Kongres 2000 rakyat Papua memberikan mandat sepenuhnya kepada Presidium Dewan Papua untuk melaksanakan beberapa hal, seperti: “memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Papua Barat, memperjuangkan pelaksanaan Referendum, mengadakan usaha dana perjuangan, Panel Kongres harus memberikan dukungan perjuangan kepada Presidium Dewan Papua, dan mempertanggungjawabkan hasil perjuangan pada 1 Desember 2000.
Inti dari Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dan Resolusi Kongres 2000 adalah: Papua Barat harus keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mendirikan Negara merdeka dan berdaulat sendiri.”
10.      Setelah Kongres Papua 2000
Perjuangan Papua Barat untuk merdeka mulai menampakkan hasil, namun sejak kematian Theys Hiyo Eluway perjuangan mengalami kemunduran. Hal itu bertahan hingga sekarang. Namun perlu diketahui bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Papua kini sedang mengalami kemajuan yang cukup berarti, terutama atas aksi kaum muda, TPN dan OPM serta beberapa organisasi perjuangan yang walau susah bersatu namun cukup mendatangkan hasil bagi kemerdekaan Papua Barat dikemudian hari.
               
C.  Jenis dan Sikap Mahasiswa Papua

Setelah mengetahui memahami perjalanan panjang aksi penjajahan nation-state lain atas wilayah Papua Barat dan perjuangan kemerdekaan Papua Barat dalam menghadapi penjajahan itu, maka mahasiswa dihadapkan kepada tiga pilihan keberpihakan secara umum. Pertama, memihak kepada penjajah. Kedua, memihak rakyat Papua Barat. Ketiga, tidak memihak apa-apa dan siapa-siapa (netral/tidak tahu apa-apa).


Untuk mengambil sikap, pertama-tama harus mengetahui dan mengevaluasi diri kita masing-masing mengenai “dimana” letak kita sebagai mahasiswa selama ini dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Setelah itu kita akan menentukan sikap kita dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Untuk itu, maka berikut ini dijelaskan jenis-jenis mahasiswa Papua dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat dan sikap yang harus diambil ke depan. 
1.         Jenis Mahasiswa Papua Barat[xli]
Secara umum mahasiswa Papua Barat dikategorikan dalam enam jenis mahasiswa dalam memandang dan menggapai perjuangan kemerdekaan Rakyat Papua Barat untuk merdeka lepas dari NKRI dan pendukungnya (terutama Negara Dunia Pertama). Walaupun sama-sama menyandang titel “mahasiswa” dan walupun sama-sama merasa diri sebagai orang Papua, tetapi mempunyai perbedaan yang cukup tajam antara satu sama lain. Keenam jenis mahasiswa Papua Barat itu adalah:
a.        Jenis Mahasiswa Cari Makan
Jenis mahasiswa Cari Makan adalah mereka yang hanya memikirkan perut mereka. Mereka ini mempunyai banyak urusan dengan negara Indonesia untuk mendatangkan keuntungan bagi mereka, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak para pejabat yang mempunyai kedudukan yang sangat penting di negara Indonesia, atau mempunyai perusahan, LSM dan lainnya. Kebanyakan dari jenis mahasiswa ini selalu mendukung Otonomi Khusus Papua, Pemekaran Propinsi/Kabupaten dan lainnya sebagai “lahan” untuk mencari makan.
b.        Jenis Mahasiswa Malas Tahu
Jenis mahasiswa Malas Tahu adalah jenis mahasiswa yang kalau Papua Barat merdeka mereka terima, kalau tidak merdeka juga mereka tidak mempermasalahkannya. Kebanyakan mereka adalah orang yang mau tahu tentang sekarang, bukan besok (masa depan). Kalau kelompok yang mendukung Otonomi Khusus dan Pemekaran Propinsi/Kabupaten mempengaruhinya, kereka bisa ikut. Sebaliknya kalau kelompok Papua Merdeka yang mempengaruhinya mereka mau ikut juga, tetapi tidak sepenuh hati, hanya sekedar saja.
c.        Jenis Mahasiswa Ikut Ramai (Panas-Panas Tahi Ayam)
Jenis mahasiswa Ikut Ramai adalah mahasiswa yang bersemangat, mereka teriak Merdeka atau Otonomi Khusus atau Pemekaran. Mereka muncul dengan semangat yang membara, malah ada yang bersumpah akan mati demi Papua Barat Merdeka. Tetapi kalau ada Program Otonomi Khusus dan Pemekaran Propinsi/Kabupaten, mereka selalu ajukan permohonan bantuan dalam bentuk apa saja, atau terlibat dalam urusan pemerintah NKRI dengan semangat yang membara pula. Kelompok ini muncul dengan sikap seperti itu karena kurangnya pendidikan politik.
d.        Jenis Mahasiswa Menunggu Uluran Tangan
Jenis mahasiswa Menunggu Uluran Tangan adalah jenis mahasiswa yang selalu menunggu dukungan dari pihak lain. Mereka selalu memasang telinga untuk mendengar berapa orang non-Papua yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, berapa LSM yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, berapa negara yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, dan lainnya. Jika ada dukungan mereka akan bersemangat dan akan menjadikannya sebagai buah bibir, tetapi jika tidak ada dukungan dari pihak lain mereka akan selalu diam. Kelompok ini adalah mahasiswa yang tidak percaya diri dan menggantungkan kemerdekaan Papua Barat kepada pihak lain di luar diri mereka. 
e.        Jenis Mahasiswa Nekad (Membabi-buta)
Jenis mahasiswa Nekad (membabi-buta) adalah mereka yang tidak perduli dengan apapun juga. Yang mereka mau adalah Papua Barat harus merdeka dengan cara apa saja. Mereka cenderung membenci orang Jawa, orang Islam, orang barat dan lainnya yang merugikan hidup mereka atau mengorbankan perjuangan mereka. Perjuangan dengan jalan membabi-buta dan membenci orang lain sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dari pihak lain, karena kecenderugan mereka bukan untuk Papua Barat merdeka, tetapi karena membenci orang, golongan dan negara lain yang mengorbankan kemerdekaan Papua Barat. 
f.         Jenis Mahasiswa Pejuang
Jenis mahasiswa Pejuang adalah mahasiswa yang telah mengetahui dan memahami “masalah Papua Barat”. Mereka matang dalam pendidikan politik, peduli dengan penderitaan rakyat Papua Barat, sadar bahwa mereka dan rakyat mereka sedang dijajah. Mereka ini selalu memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat kapan saja, dimana saja dengan jalan yang efektif dan efisian dengan pemahaman dan pengetahuan yang matang tentang perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka inilah yang secara nyata terlibat dalam barisan rakyat Papua Barat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Mereka mempunyai satu cita-cita dan tujuan bangsa dan rakyatnya, yaitu “Papua Barat Merdeka”, karena itu mereka sangat sulit untuk dipengaruhi oleh musuh, sehingga mereka akan selalu dibenci oleh musuh perjuangan mereka. Inilah mahasiswa Papua Barat yang tulen dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat. 
2.        Sikap Mahasiswa Papua
Sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa Papua Barat adalah orang Papua, berkebangsaan Papua, mempunyai ras Negroid dari rumpun Melanesia dengan ciri fisik berkulit hitam dan berambut keriting. Ini adalah sebuah kenyataan. Mahasiswa Papua Barat juga adalah orang yang mempunyai wilayah sebagai tempat tinggalnya dan hidup di wailayah itu. Ini juga kenyataan. 
Walaupun demikian, tidak semua mahasiswa sadar bahwa mereka adalah orang Papua. Merak tidak sadar bahwa rakyatnya, yaitu orang tua dan sanak-saudarnya sendiri sedang terjajah, dan lebih gawat adalah mereka sendiri sering menggadaikan diri sambil menyangkal bahwa mereka bukan orang Papua. Ini sesuatu yang ironis. 
Untuk itu, agar dapat sadar diri sebagai orang Papua, dan memahami dinamika kehidupan bangsanya dan rakyatnya, maka mahasiswa Papua Barat harus mempunyai sikap yang tegas dalam menanggapi dinamika kehidupan yang terjadi di Papua Barat tanpa harus menjadi  orang munafik. Untuk sampai kepada pengambilan sikap secara tegas dan konsisten dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat, maka beberapa langkah harus dilakukan, yaitu:
a.        Sadar Diri
Pertama-tama harus duduk dan merenung sebentar dan sadarlah bahwa kita adalah orang Papua. Sadarlah bahwa kita tidak sama dengan orang lain. Sadarlah bahwa kita mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dalam segala hal. Setelah itu ambillah kesimpulan bahwa kita mempunyai harga diri, kita mempunyai bangsa, kita berhak menjadi negara merdeka, dan lainnya yang mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa kita mempunyai harga diri sebagai manusia, yaitu manusia Papua yang mempunyai kedudukan yang sama dengan manusia dan bangsa lain di dunia ini. 
b.        Melihat Kondisi Obyektif
Mahasiswa sebagai kaum intelektual, tentu tidak akan terlepas dari cara berpikir secara obyektif, yaitu memandang sebuah masalah secara nyata tanpa memihak apa-apa dan siapa-siapa. Karena itu lihatlah masalah Papua Barat dari sisi obyektifitasnya, lihat pula penjajahan Papua Barat oleh nation-state lain secara obyektif pula. Disana kita bisa menemukan letak kebenaran sebuah persoalan, misalnya letak kebenaran masalah Papua Barat berkaitan dengan tuntutan kemerdekaannya. 
c.        Belajar
Selain harus berpikir dan bertindak secara obyektif, kita juga diharapkan untuk banyak belajar. Belajar tidak harus di kampus (pendidikan formal), tetapi belajarlah di luar kampus, belajarlah untuk memahami realita sosial, belajarlah untuk mendengarkan ratap tangis rakyat Papua Barat, dan belajarlah untuk memetahkan sebuah persoalan secara benar. Pelajaran yang kita butuhkan di luar kampus misalnya adalah pendidikan politik, pelatihan jurnalistik, manajemen sumber daya manusia, latihan kepemimpinan dan lainnya. Di sanalah kita bisa mengambil banyak ilmu dan pengetahuan untuk bekal perjuangan kita ke depan. 
d.        Berjuang
Menjadi pejuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat tidak sulit. Cukupkanlah kita mempunyai kemauan yang sungguh-sungguh bahwa kita mempunyai cita-cita kebenaran di masa depan, bahwa Papua Barat harus merdeka. Sementara mengenai taktik dan strategi perjuangan kita bisa menggunakan banyak cara asalkan kita tahu cara-cara tersebut. Untuk memulai menjadi pejuang kita harus memulai dengan cara kita masing-masing, sedikit demi sedikit, dan dari diri kita masing-masing. Sehingga dengan cara masing-masing, sedikit demi sedikit, dan diri kita sendiri, kita akan menciptakan barisan pejuang yang panjang, banyak cara yang efektif dan akan membawa kemerdekaan Papua Barat itu ke sebuah alam yang nyata, yaitu di atas “tanah tumpah darah Papua Barat yang kita cintai.”


D. Penutup

Suatu ketika, pertengahan bulan Juli 2005, disebuah diskusi aktivis kemerdekaan Papua Barat di Jakarta, waktu itu saya diminta untuk menjadi pembicara. Saya ditanya oleh seseorang begini: kira-kira Papua bisa merdeka atau tidak? Kalau bisa merdeka, kira-kira kapan? Saya cukup terkejut mendengar pertanyaan seperti itu. Maklum, saya bukan seorang peramal yang bisa meramalkan tentang merdeka tidaknya Papua Barat dan waktu merdekanya Papua Barat. Tetapi saya juga sadar bahwa saya harus memberikan jawaban kepada orang tersebut. 
Sebagai jawabannya saya menanyakan kembali kepada orang tersebut: kalau orang Papua berjuang, kira-kira Papua Barat bisa merdeka atau tidak? Kalau perjuangan itu dilakukan secara baik, benar dan sungguh-sungguh kira-kira Papua Barat bisa merdeka atau tidak? Dia cukup bingung mendengar pertanyaan saya. Akhirnya, saya mengatakan bahwa soal Papua Barat merdeka atau tidak itu urusan nanti, persoalan kapan merdekanya juga urusan nanti, yang menjadi masalah sekarang adalah orang Papua harus berjuang untuk merdeka, karena jika waktunya tiba, maka kita akan menikmati hasil perjuangan itu. Bagi saya kemerdekaan Papua Barat hanya soal waktu, karena waktu tidak pernah berdusta kepada siapapun juga!

Selamat Bekerja. ***

Salam Pembebasan!
“Persatuan Tanpa Batas Perjuangan Sampai Menang”

Salam Revolusi!
“Bersama Kebenaran Sejarah Sang Bintang Kejora
Referensi




[i] Alasan ini didasarkan pada Deklarasi Batavia tanggal 1 Maret 1910 yang menyatakan Nederlandsch Nieuw Guinea (Papua Barat) tidak termasuk Hindia Belanda, dan diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland tanggal 24 Agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat).
[ii] Yakobus F. Dumupa, Pemekaran Propinsi Irian Jaya: Dari Manipulasi Aspirasi Sampai Konspirasi Politik (sebuah buku baru yang akan diterbitkan dalam waktu dekat).
[iii] The Liang Gie, Pertumbumbuhan Pemerintahan Propinsi Irian Jaya, Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, 1968. Hal., 10.
[iv] Ibid., hal., 13.
[v] Agus A. Alua, Op.Cit., hal. 68.
[vi] The Liang Gie, Op. Cit., hal. 17-18.
[vii] Tumbuhnya paham “Nasionalisme Papua” di Papua Barat mempunyai sejarah yang panjang dan pahit. Sebelum dan selama perang dunia ke II di Pasifik, nasionalisme secara khas dinyatakan melalui gerakan Millinerian, Mesianic dan “Cargo-Cultis”.
[viii] Pendiri sekolah ini, yaitu J. P. van Eechoud oleh banyak orang Papua dijuluki sebagai “Vader der Papoea’s” (Bapak Orang Papua).
[ix] Yorrys Th. Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, Presidium Dewan Papua, Jayapura, 2002. Hal. 16.
[x] Ibid., 16
[xi] Kemerdekaan Papua Barat sah secara de facto karena kemerdekaan itu benar-benar terjadi secara nyata pada tanggal 1 Desember 1961.
[xii] Sementara sah secara de jure karena kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 dilegalkan oleh berbagai produk hukum. Secara hukum nasional Indonesia termuat dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan ….” . Secara hukum internasional, misalnya Pasal 73 Piagam PBB yang berbunyi “All people have the right to self determination regardless of their state of development” dan berbagai konvensi internasional lainnya.
[xiii] Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat (TRIKORA), Markas Basar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Jakarta, 2000.
[xiv] Ottis Simopiaref, Dasar-dasar Kemerdekaan Papua Barat, sebuah ringkasan dari buku Karkara (tidak diketahui tahun, tempat dan penerbitnya).
[xv] Prof. Dr. Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit, LKiS, Yogyakarta, 2005. Hal. 125.
[xvi] Dr. George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia, Elsam, Jakarta, 2000. Hal. 189-190.
[xvii] Agus A. Alua, Op. Cit., hal. 67.
[xviii] Ibid.: 67.
[xix] Yakobus F. Dumupa, Op. Cit., hal. 22.
[xx] Perjanjian ini diusulkan oleh Amerika Serikat yang dalam teknisnya disiapkan oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker. Perjanjian ini mengatur tatacara penyelesaian sengketa status politik di Papua Barat antara Belanda dan Indonesia lewat tindakan bebas memilih (Act of Free Chice) yang akan dilaksanakan tahun 1969.
[xxi] Agus A. Alua, Op. Cit., hal. 69-73.
[xxii] Ibid.: 72-73.
[xxiii] DEMUS artinya Dewan Musyawarah, yaitu kumpulan 1025 orang wakil rakyat Papua Barat yang ditunjuk dan dipaksa oleh pemerintah dan militer Indonesia untuk memberikan suara dalam PEPERA 1969.
[xxiv] OPM lahir di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965 dengan pemimpin kharismatisnya adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun. Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas.
[xxv] Seth Jafet Rumkorem adalah putra seorang “Pejuang Merah Putih” yang tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Papua Barat dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro.
[xxvi] Jakob Prai kini tinggal di Malmo Swedia. Dia menjabat sebagai Kepala Missi Politik OPM Urusan Luar Negeri (International).
[xxvii] TEPENAL kini telah berubah nama menjadi TPN. Artinya tetap sama, yaitu Tentara Pembebasan Nasional, hanya saja sering digandeng dengan huruf “PB” menjadi TPN-PB artinya Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.
[xxviii] Dr. Georga Junus Aditjondro, Op. Cit., hal. 19-20.
[xxix] Ibid., hal. 21.
[xxx] Yakobus F. Dumupa, Op. Cit., hal. 277.
[xxxi] http//:www.geocities.com/opm-irja, Sejarah Organisasi Papua Merdeka, 30 Agustus 2006.
[xxxii] Intelijen, Keluarga Wanggai Binaan Intel Amerika, 7-20 April 2006.
[xxxiii] Dr. George Junus Aditjondro, Op. Cit., hal. 29.
[xxxiv] Amnesty International adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berkedudukan di London Inggris yang bergerak di bidang penegakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
[xxxv] Yakobus F. Dumupa, Suaka Politik: Perang Diplomasi Indonesia versus Papua Barat dan Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat (sebuah buku baru yang akan diterbitkan dalam waktu dekat).
[xxxvi] Data ini tidak termasuk pelanggaran HAM yang terjadi setelah tahun 2000. Selain itu data ini tidak termasuk semua wilayah Papua Barat. Yorrys Th. Raweyai, Op. Cit., 57.
[xxxvii] Penulis lebih suka menyebut Presiden Soeharto dengan sebutan “raja” menggatikan kata Presiden. Hal ini dikarenakan oleh praktek politik-pemerintahan era Orde Baru yang dijalankan oleh Soeharto dengan mengadopsi “gaya”politik-pemerintahan raja-raja Jawa kuno.
[xxxviii] Yakobus F. Dumupa, Pemekaran Propinsi Irian Jaya: Dari Manipulasi Aspirasi Sampai Konspirasi Politik (sebuah buku baru yang akan diterbitkan dalam waktu dekat).
[xxxix] T-100 adalah istilah yang diberikan oleh Penulis untuk menyebut Tim Seratus. Istilah ini tidak seperti biasanya penulisan dan penyebutan “Tim Seratus” atau “Tim 100” selama ini. Tetapi esensinya sama saja yaitu dalam menunjuk “Tim Seratus”, yang berbeda hanya pada penulisan dan penyebutan.
[xl] Mengenai Resolusi Kongres selengkapnya lihat: Agus A. Alua, Op. Cit., hal. 97
[xli] Sebenarnya menurut Sem Karoba, dkk., ada tujuh jenis orang Papua dalam cara pandang dan cara tindak dalam menempatkan diri terhadap perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Bagian ini diambil dikutip dari pendapat Sem Karoba, dkk. dengan banyak perubahan dalam tulisan ini. Selengkapnya lihat: Sem Karoba, dkk., Masyarakat Adat Menggugat: Mengungkap para Musuh Masyarakat Adat dan Cara Melawan Mereka, Watch Papua, Yogyakarta, 2004. Hal. 74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar