Koordinator Komisi Tindak Kekerasan dan Orang Hilang (KontraS) Papua, Olga Helena Hamadi. Foto: Dok MS |
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Koordinator Komisi Tindak
Kekerasan dan Orang Hilang (KontraS) Papua, Olga Helena Hamadi
mengatakan, pembungkaman kebebasan ekspresi di tanah Papua terus
meningkat, dalam penangkapannya ada 3 pola berdasarkan tahun terjadinya,
dan proses hukum selalu diskriminatif terhadap masyarakat sipil.
"Sejak tahun 2008 eskalasi pembungkanan kebebasan ekspresi meningkat. Jangankan aksi protes, aksi penggalangan dana saja tidak boleh," tutur Pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) pada peringatan 'Hari Internasional bagi Hak atas Kebenaran tentang Pelanggaran-pelanggaran Besar Hak Asasi Manusia dan Martabat para Korban' belum lama ini di halaman Museum Antropologi, Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Papua.
Selain itu, Olga menilai distribusi informasi sangat berbeda antara apa yang terjadi di tanah Papua dengan apa yang diungkapkan oleh Pemerintah di Jakarta.
"Distribusi informasi sangat berbeda, Papua lain Jakarta lain. Contoh konkret soal Tahanan Politik (Tapol:red) Papua. Jakarta mengatakan di Papua tidak ada Tapol, tapi kenyataannya di Papua, Tapol terus meningkat," tuturnya.
Penerima Pengakuan khusus 'Lawayers for Lawyer Award' untuk pengacara HAM di Amsterdam, Belanda pada Mei 2013 itu mengatakan, berdasarkan tahun terjadinya ada 3 pola penangkapan yang merupakan pembungkaman kebebasan ekspresi bagi orang Papua.
"Ada 3 pola pembungkaman kebebasan ekspresi. Pada tahun 2004 ke bawah penangkapan hanya terjadi kepada orang yang membawa bendera Bintang Kejora dan menaikannya. Banyak kasus, salah satunya itu kasus Baik, orang bawa bendera ditangkap," tutur Olga.
Tetapi, kata dia, sejak tahun 2008 polanya berubah. Mereka yang melakukan aksi-aksi protes atas Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua ditangkap. "Banyak yang ditangkap saat aksi penolakan Otsus," tutur Olga.
"Tapi sekarang, ada banyak penemuan amunisi dan lain-lain di mana-mana lalu ditangkap," tuturnya.
Menurut analisis Olga, walaupun polanya berubah, tetapi stigma separatis bagi setiap orang Papua yang menyampaikan protes keras kepada negara tidak pernah berubah.
"Ada satu yang tidak berubah, yaitu stigma," tuturnya singkat.
Soal stigma kata Olga, tidak hanya dialami oleh aktivis gerakan dan mahasiswa serta masyarakat sipil. Tetapi, stigma dialami juga oleh pengacara dan aktivis HAM.
Perempuan pemberani ini menjelaskan, pendekatan yang dilakukan aparat terhadap masyarakat sipil di Papua selama ini adalah pendekatan keamanan dan penangkapan tidak prosedural.
"Banyak aktivis kritis dijebloskan ke penjara. Mereka dikaitkan dengan kasus lain dan dijebak. Pasal yang digunakan untuk menangkap selalu pasal berlapis. Lalu, setelah ditangkap dan dimasukan ke penjara, akses keluarga dan pengacara selalu ditutup. Kami yang dijamin oleh Undang-Undang saja akses ditutup. Saat KNPB aksi kami tidak diberi akses," bebernya.
"Lalu, banyak yang dibunuh atas nama makar, tapi tidak ada kasus yang selesai," kata Alumna Fakultas Hukum, Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura itu.
Olga juga soroti mengenai diskriminasi di depan hukum. "Ada diskriminasi, kalau pelakunya adalah polisi atau TNI, maka proses hukum tidak jalan. Tapi, kalau itu ketika masyarakat sipil ada diskriminasi," tuturnya.
Satu lagi, kata Olga, ada kekerasan yang tidak pernah jelas dilakukan oleh siapa. "Ada kekerasan yang dilakukan oleh unit lain dan periksa oleh unit lain dan kami tidak tahu bagaimana kita dapat informasi. Kita selalu mendapatkan telepon teror dan lainnya." (Yermias Degei/MS)
"Sejak tahun 2008 eskalasi pembungkanan kebebasan ekspresi meningkat. Jangankan aksi protes, aksi penggalangan dana saja tidak boleh," tutur Pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) pada peringatan 'Hari Internasional bagi Hak atas Kebenaran tentang Pelanggaran-pelanggaran Besar Hak Asasi Manusia dan Martabat para Korban' belum lama ini di halaman Museum Antropologi, Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Papua.
Selain itu, Olga menilai distribusi informasi sangat berbeda antara apa yang terjadi di tanah Papua dengan apa yang diungkapkan oleh Pemerintah di Jakarta.
"Distribusi informasi sangat berbeda, Papua lain Jakarta lain. Contoh konkret soal Tahanan Politik (Tapol:red) Papua. Jakarta mengatakan di Papua tidak ada Tapol, tapi kenyataannya di Papua, Tapol terus meningkat," tuturnya.
Penerima Pengakuan khusus 'Lawayers for Lawyer Award' untuk pengacara HAM di Amsterdam, Belanda pada Mei 2013 itu mengatakan, berdasarkan tahun terjadinya ada 3 pola penangkapan yang merupakan pembungkaman kebebasan ekspresi bagi orang Papua.
"Ada 3 pola pembungkaman kebebasan ekspresi. Pada tahun 2004 ke bawah penangkapan hanya terjadi kepada orang yang membawa bendera Bintang Kejora dan menaikannya. Banyak kasus, salah satunya itu kasus Baik, orang bawa bendera ditangkap," tutur Olga.
Tetapi, kata dia, sejak tahun 2008 polanya berubah. Mereka yang melakukan aksi-aksi protes atas Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua ditangkap. "Banyak yang ditangkap saat aksi penolakan Otsus," tutur Olga.
"Tapi sekarang, ada banyak penemuan amunisi dan lain-lain di mana-mana lalu ditangkap," tuturnya.
Menurut analisis Olga, walaupun polanya berubah, tetapi stigma separatis bagi setiap orang Papua yang menyampaikan protes keras kepada negara tidak pernah berubah.
"Ada satu yang tidak berubah, yaitu stigma," tuturnya singkat.
Soal stigma kata Olga, tidak hanya dialami oleh aktivis gerakan dan mahasiswa serta masyarakat sipil. Tetapi, stigma dialami juga oleh pengacara dan aktivis HAM.
Perempuan pemberani ini menjelaskan, pendekatan yang dilakukan aparat terhadap masyarakat sipil di Papua selama ini adalah pendekatan keamanan dan penangkapan tidak prosedural.
"Banyak aktivis kritis dijebloskan ke penjara. Mereka dikaitkan dengan kasus lain dan dijebak. Pasal yang digunakan untuk menangkap selalu pasal berlapis. Lalu, setelah ditangkap dan dimasukan ke penjara, akses keluarga dan pengacara selalu ditutup. Kami yang dijamin oleh Undang-Undang saja akses ditutup. Saat KNPB aksi kami tidak diberi akses," bebernya.
"Lalu, banyak yang dibunuh atas nama makar, tapi tidak ada kasus yang selesai," kata Alumna Fakultas Hukum, Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura itu.
Olga juga soroti mengenai diskriminasi di depan hukum. "Ada diskriminasi, kalau pelakunya adalah polisi atau TNI, maka proses hukum tidak jalan. Tapi, kalau itu ketika masyarakat sipil ada diskriminasi," tuturnya.
Satu lagi, kata Olga, ada kekerasan yang tidak pernah jelas dilakukan oleh siapa. "Ada kekerasan yang dilakukan oleh unit lain dan periksa oleh unit lain dan kami tidak tahu bagaimana kita dapat informasi. Kita selalu mendapatkan telepon teror dan lainnya." (Yermias Degei/MS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar