Suasana menjelang Pepera tahun 1969 (IST) |
Jayapura, 21/12 (Jubi)—Ratusan Pramuka Penggalang dari
Provinsi Timor Timur, pada Jambore Nasional 1977 lalu di Sibolangit,
Sumatera Utara menyanyikan lagu berjudul Integratio Indonesia,
integrasi Indonesia dengan suara lantang dan bersemangat. Ternyata beda
ucapan dengan kenyataan hari ini, seluruh rakyat Timor Timur memutuskan
mendirikan Negara Timor Leste. Bagaimana dengan Tanah Papua?
Tanah Papua termasuk salah satu wilayah berkebudayaan Melanesia yang
kemudian diIndonesiakan menjadi Provinsi Irian Barat, melalui sebuah
proses panjang. Mulai dari Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 yaitu Agreement beetwen the Republic Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea/ West Irian.
Pemerintahan UNTEA, 1963 dan pelaksanaan PEPERA 14 Juli-2 Agustus
1969, hingga akhirnya wilayah Papua menjadi sebuah daerah Otonom bernama
Provinsi Irian Barat.
Sayangnya proses masuknya Irian Barat ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia masih saja terjadi perdebatan hingga saat
ini. Bahkan selama kekuasaan rezim Orde Baru masalah Papua belum saja
selesai. Atau meminjam istilah Profesor Nazaruddin Sjamsuddin integrasi
politik di Bumi Papua masih belum juga selesai.
Nazaruddin Sjamsuddin berpendapat, masalah Integrasi yang menonjol di Indonesia dalam bukunya berjudul Integrasi Politik di Indonesia,
adalah masalah integrasi politik di daerah lain lebih menonjolkan dua
dimensi integrasi yakni horizontal (perbedaan teritorial) dan vertikal
(perbedaan elit massa), secara sekaligus.
Menurut Sjamsuddin masalah integrasi di Irian Jaya
lebih banyak diwarnai oleh dimensi horizontal. Proses integrasi di
Irian Jaya dihadang oleh gerakan-gerakan yang bersifat separatis dan
bukan dalam bentuk gerakan protes dengan daerah lain. Walau demikian di
awal reformasi banyak daerah di Indonesia termasuk Provinsi Riau juga
pernah minta merdeka.
Provinsi Papua akhirnya mendapat UU Otsus 2001 yang sampai sekarang
dianggap tidak tepat sasaran. Bahkan kini ditambah lagi dengan kata-kata
“Otonomi Khusus Plus.” Tampaknya perubahan-perubahan ini disesuaikan
dengan kemauan Jakarta alias
basa-basi politik. Lahirnya UU Otsus Papua karena akar permasalahan di
Papua meliputi pelanggaran HAM, Rekonsialiasi, Pelurusan Sejarah Papua
dan Pengadilan HAM serta pembentukan partai-partai politik lokal.
Sayangnya UU Otsus masih saja mendapat pertentangan mulai dari
pemekaran Irian Jaya Barat dan pelarangan simbol-simbol yang dianggap
separatisme dalam bendera
daerah. Belakangan tawaran dari berbagai pihak terutama aktivis
kemanusiaan tentang Dialog Papua atau lebih tepatnya Mari Kitorang
Bicara Soal Papua. Bagi Neles Tebay salah satu tokoh dialog Papua
menyarankan semua pihak untuk dialog. Dia juga memesan agar sebelum
masuk dalam ruang dialog sebaiknya melepaskan kasut masing-masing
peserta dialog untuk menanggalkan isi hati meliputi Papua Merdeka harga
mati dan NKRI harga mati.
Yang jelas proses penyelesaian masalah Papua sudah tidak lagi memakai
cara-cara konvesional dengan kekerasan militer. Faktanya sampai
sekarang, aparat masih tetap membungkam demokrasi dan kebebasan
berkekspresi di Bumi Papua.
Letjend(Purn) Kiki Syahnakri dalam bukunya berjudul Timor Timur Untold Story memberikan catatan mengapa Indonesia akhirnya tak mampu merebut hati rakyat Timor Timur.
Kiki mengakui telah terjadi kekeliruan. Gerilya yang dilakukan hampir
selalu fokus pada ukuran keberhasilan kuantitatif, seperti berapa
senjata musuh yang telah disita. Padahal kunci keberhasilan gerilya
adalah merebut hati rakyat. Begitu pula ada perilaku oknum aparat yang
tidak baik.
Di sisi pembangunan di bekas Provinsi ke 27 di Indonesia Timor Timur
ternyata dinilai tidak berhasil merebut hati rakyat karena mengabaikan
budaya dan adat istiadat mereka. CElakanya struktur adat yang pernah
hidup di Timor Timur sebelum 1975 tidak dipelihara dengan baik.
Pendekatan pembangunan yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan
kekhasan lokal (adat istiadat, budaya) akan berdampak serius. Ini akan
menjadi penyebab gangguan keamanan yang sulit diatasi. Malahan
memperburuk proses integrasi yang selama ini sedang gencar-gencarnya
dibangun di Bumi Papua. Biarkanlah proses integrasi politik itu lahir
dari hati masyarakat Papua itu sendiri tanpa adanya sebuah rekayasa. (Jubi/Dominggus a mampioper)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar