Ilustrasi/Foto: Facebook |
Kenyataan ini sejatinya tidak dipahami oleh perempuan Papua, umumnya hanya dapat menerima kondisi ini sebagai suatu takdir yang diperuntukan secara turun-temurun, sehingga kebanyakan dari kaum perempuan Papua selalu pasrah dan menerima apa adanya status dan kedudukannya hanya sebagai pelengkap dan pendamping laki-laki.
Budaya
pasrah dan selalu menerima kodratnya sebagai perempuan yang hanya sekedar
sebagai pelengkap bagi laki-laki telah mendarah daging dalam diri perempuan
Papua melalui ajaran-ajaran adat juga pandangan-pandangan religius yang
menengelamkan batin perempuan Papua pada harapan-harapan subyektif akan
kehidupan yang lebih baik dalam kesetaraan didunia akhirat. Sehingga
perjuangan-perjuangan kongkrit bagi pembebasan perempuan Papua saat ini menjadi
terabaikan.
Telah
banyak organisasi perempuan yang saat ini berdiri di Papua, disatu sisi banyak
perempuan Papua telah dapat berkarya dalam dunia kerja dan banyak pula
perempuan Papua yang menduduki peran-peran penting dalam birokrasi (eksekutif
dan legislative), serta posisi penting lainnya dalam dunia kerja seperti
menjadi ketua partai, tapi apa dengan demikian telah dapat membebaskan
perempuan Papua secara keseluruhan? Banyak diantara perempuan Papua yang tidak
dapat menikmati pendidikan hingga jenjang tinggi atau bahkan tertinggi
sekalipun, hal ini hanya dikarenakan pandangan-pandangan lama yang tercipta
dalam masyarakat kita, yang selalu memandang perempuan bukan sebagai
penyokong/penopang keluarga, sehingga mengakibatkan kita semakin terpinggirkan.
Pada
masa kini, kita selalu mendengar “emansipasi dan pemberdayaan perempuan dalam
pembangunan” yang diturunkan kepada perempuan Papua. Di Papua, gerakan
emansipasi perempuan telah berkembang oleh berdirinya organisasi dan
kelompok-kelompok perempuan yang umumnya diikuti oleh kaum perempuan yang
berada pada kelas menengah keatas, misalnya organisasi-organisasi yang
dibentuk oleh instansi-instansi
pemerintah. Umumya mereka adalah kelompok perempuan yang suaminya merupakan
pegawai dalam instansi tersebut, dengan demikian secara otomatis status
keanggotaanya mengikuti posisi dan jabatan suaminya. Salah satunya PKK tingkat
Kabupaten, kedudukan pimpinan organisasi secara otomatis adalah istri bupati,
tanpa harus dipilih dan diangkat secara demokratis oleh anggota, juga tanpa
pernah dipertimbangkan apakah dia mampu dan berpengalaman dalam menjalankan
program-rogram organisasi atau tidak? Organisasi yang demikian, dan berbagai
organisasi lain yang dibentuk oleh lembaga-lembaga pemerintah, agama dan
lembaga-lembaga lainnya pada dasarnya berjalan mengikuti hirarki kepemimpinan
lembaganya yang didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga pada prakteknya
perempuan tetap diikat pada perannya sebagai pelengkap, tanpa dapat mewujudkan
program-program pokok bagi pembebasan perempuan untuk keluar dari
keterikatannya pada kerja-kerja domestik sebagai ibu rumah tangga ( buruh tak
berupah).
Menyadari
akan pentingnya perjuangan pembebasan perempuan Papua dari ketertindasan dan
diskriminasi yang diwujudkan dalam praktek birokrasi kapitalistik saat ini di
Papua, adalah penting bagi lahirnya kesadaran kelas perempuan Papua untuk
mewujudkan kesederajatan dari peminggiran terhadap hak-hak perempuan Papua
sebagai bagian dari sektor kelas tertindas rakyat Papua lainnya. Hal ini
terlebih dahulu harus melalui investigasi dan analisis kita yang mendalam,
tepat dan jelas tentang tahapan perkembangan masyarakat Papua, sehingga
kondisi-kondisi yang memungkinkan tentang kesetaraan hak-hak perempuan yang
masih tertanam dalam masyarakat kita dapat menjadi pijakan kita bagi
perjuangan-perjuangan pembebasan perempuan Papua kedepan.
Di
sinilah kita dapat menarik satu kesimpulan: “perjuangan pembebasan
perempuan Papua akan tercapai jika disatukan
dengan perjuangan untuk mencapai terciptanya Pembebasan Sejati Rakyat Papua.
Dan sebaliknya, perjuangan untuk mencapai
terciptanya Pembebasan rakyat Papua akan tercapai jika perjuangan ini
menempatkan Pembebasan Perempuan Papua sebagai salah satu tujuan utamanya”.
Kedua perjuangan ini tidak boleh dipisahkan, atau yang satu didahulukan
daripada yang lain. Keduanya harus berjalan bersamaan dan saling mengisi dengan
menghilangkan pandangan-pandangan lama, bahwa kepemimpinan politik perjuangan
revolusi demokratik rakyat Papua dapat pula dipimpin oleh kelas perempuan Papua
bersama-sama sektor masyarakat lain ; Masyarakat Adat, Tani, Buruh, Kaum Miskin
Kota, dan Pemuda/Mahasiswa yang ada di Papua saat ini.
Hanya
dengan demikianlah kaum perempuan akan dapat dikembalikan pada posisi terhormat
dalam masyarakat - sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan:
ekonomi, sosial, politik dan budaya, sebagai tahapan menuju terciptanya tahapan
masyarakat Papua yang Demokratis Secara Politik, Adil Secara Sosial,
Sejahtera Secara Ekonomi dan Partisipatif Secara Budaya.
Sumbernya: Ringkasan Materi Dikpol Aliansi Mahasiswa Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar